I
Masih banyak pengambilan kebijakan di negara berkembang dalam mengatasi kemiskinan sebagai hasil pilihan politis, tarik-menarik atau negotiated interest antara berbagai aktor kepentingan yang terkait dengan model inti kebijakkan strategi pertumbuhan ekonomi,dengan harapan bahwa masalah kemiskinan secara gradual dapat dikurangi. Diyakini juga bahwa dengan strategi ini, maka akan terjadi mekanisme tetesan kebawah (trickle down effect) dari golongan kelas menengah kepada golongan lapisan bawah. Konsekuensi dari strategi kebijakkan semacam ini adalah kesenjangan pendapatan antar golongan ekonomi tidak mungkin dihindari (Heru Nugroho,1998). Meski pun, banyak para pengambil kebijakan telah menyadari model demikian tidak banyak mengatasi kemiskinan.Karena menyadari, misalnya menunjuk fenomena krisis ekonomi tahun 1998 yang menimpa Indonesia, menjadi pertanda bahwa apa yang diasumsikan oleh pakar ekonomi tidaklah berlaku.
Dampak dari krisis itu justru menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan yang tidak hanya terjadi antar lapisan golongan dalam masyarakat, tetapi juga antara daerah; pedesaan dan perkotaan, serta antar sektoral ekonomi (Revrisond Baswir,1998). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa strategi pembangunan dengan orientasi pertumbuhan secara signifikan tidak mampu mengatasi kemiskinan.
Realitas kemiskinan yang semakin membengkak, menyadarkan banyak analis bahwa, kemiskinan bukan hanya merupakan permasalahan ekonomis semata, tetapi juga lebih merupakan permasalahan struktural sosial-politik dan social-ekonomi yang ada di masyarakat. Struktur ini menentukan alokasi atau penguasaan sumber daya ekonomi oleh aktor sosial dalam percaturan ekonomi-politik. Dikatakan bahwa struktur sosial politik, dalam hal ini menyangkut hubungan masyarakat – Negara. Struktur politik yang sentralistis pada masa ini lebih menyokong strategi pertumbuhan ekonomi ketimbang pemberdayaan terhadap rakyat. Upaya ini di topang oleh sistem birokrasi Negara yang sentralistis. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat “akar rumput” tidak dapat secara leluasa mengembangkan organisasi mereka sendiri.
Dalam realitas lain, keberadaan antara kepentinganperusahaan (profit oriented) di satu pihak, dan kepentingan pemberdayaan masyarakat lokal di pihak lain, nampak semakin kontradiktif dan tidak konstruktif. Kebijakan investasi yang disetujui pemerintah di suatu daerah diputuskan secara sepihak oleh pemerintah pusat dan investor tanpa memperhitungkan kepentingan pemberdayaan masyarakat lokal. Investasi yang dilakukan perusahaan tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Padahal, masyarakat lokal memiliki hak sosial, budaya, politik dan ekonomi atas semua sumberdaya yang ada. Disamping itu, masyarakat lokal juga mempunyai mekanisme mengenai bagaimana sumber daya alam mereka dimanfaatkan,yang sudah diatur dalam sistem dan struktur sosial lokal.
II
Menurut Michael Hopkins, bahwa CSR (Social Responsibility Corporate/ tanggungjawab sosial perusahaan) adalah sebagai salah satu jawaban terhadap permasalahan ini. CSR memberikan pesan bahwa tujuan utama bisnis adalah mencari keuntungan yang bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingan. Perilaku tanggungjawab sosial perusahaan bukan hanya mencari keuntungan,tetapi juga dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, perusahaan di pandang sebagai entitas atau aktor sosial, di mana aktivitasnya dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Korporasi bisnis dalam hal ini harus mengindahkan prinsip “Perusahaan yang baik berbasis kewargaan”, di mana efek aktivitasnya dapat memberi dampak positif terhadap masyarakat. Dengan mengindahkan prinsip ini, Korporasi bisnis seharusnya dapat melaksanakan peran tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat.
Dengan melihat semakin signifikannya hubungan antara praktek bisnis dengan etik yang baikdan aspek pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan dalam rangka pembangunan berkelanjutan, maka pada tahun 2000 United Nations (PBB) mengundang para pemimpin Negara/politisi,CEO, dan masyarakat sipil lainnya yang kemudian melahirkan komitmen pembangunan Millenium atau yang disebut Millennium Development Goals(MDGs) . Beberapa agenda tersebut adalah seperti mengatasi masalah kemiskinan, lingkungan,dan menggalang kerja sama internasional dalam rangka pembangunan berkelanjutan.
Hal terpenting dari deklarasi MDGs adalah adanya kesepakatan dari semua pihak untuk kerja sama dalam rangka mengatasi kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan (Global partnership for sustainable development ). Komitment global semacam ini tentu sangat penting karena berhasil tidaknya tujuan pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan oleh bagaimana implementasi atau operasionalnya di tingkat nasional dan lokal (1999 Ltd.). Dengan demikian, upaya pengentasan kemiskinan,dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, tidak linear-sektoral, tetapi sistematis berkelanjutan.
Pada pihak lain, agar perusahaan bisnis semakin berkelanjutan dan kompetitif dalam perekonomian global, John Elkington(1997) menyatakan pentingnya bagi perusahaan untuk memperhatikan prinsip “tiga serangkai dari bawah” oleh perusahaan yang meliputi aspek ekonomi,sosial,dan lingkungan dalam praktek bisnisnya sehari-hari. Menurut Jane Nelson, dengan memperhatikan aspek CSR dalam kegiatan operasional bisnisnya, maka perusahaan bisnis akan dapat meningkatkan reputasi perusahaan, kompetitif berkembang, dll.Dengan demikian, CSR seharusnya dapat memberi kontribusi positif, baik terhadap perusahaan maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang didefinisikan World Bank e-conference tentang CSR sebagai komitment atau kontribusi pihak swasta terhadap pembangunan berkelanjutan,di mana hal itu membawa keuntungan, baik bagi perusahaan maupun untuk masyarakat. Kondisi ini seharusnya dapat memberikan dampak positif terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tom Fox (2003) menganjurkan perlunya kerja sama antara swasta, masyarakat, dan pemerintah agar CSR dapat memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat, baik di tingkat lokal dan nasional.
III
Pemikiran di atas, sejalan dengan misi dan semangat upaya Community Development (CD) dewasa ini. John friedman mengusulkan sebuah pendekatan “pembangunan empowerment “ terhadap masyarakat. Poin utama CD sebagai paradigma pembangunan alternatif adalah berusahamemahami masalah pembangunan dari perspektif mikro atau aktor sosial dan lingkungannya, dan bukan berdasarkan perspektif variabel makro seperti produksi dan profit (Friedmann,1992:31). CD dapat didekati dengan memasukkan aspek pemberdayaan (empowerment ) di dalamnya. Mendorong upaya lokal agar semakin mandiri (self-reliance).
Pada sisi lain, bahwa sasaran pemberdayaan yang dilakukan adalah untuk meredefinisikan kembali peran regulator pemerintah dan masyarakt sipil, maupun perusahaan dalam partisipasi publik ; pengambilan kebijakkan publik, perencanaan dan manajemen sumber daya alam,dan organisasi ekonomi. Namun lebih jauh , tujuannya adalah me-reorganisasi struktur sosial –kulturaldan struktur kekuasaan dalam masyarakat dengan membuat pemerintah lebih akuntable terhadap publik, menguatkan keberadaan atau posisi tawar civil society, dan meminta pertanggungjawaban perusahaan dalam aktivitasoperasi bisnisnya (socially responsible). Dengan demikian, masyarakat di beri kesempatan untuk berkreativitas sehingga mereka semakin mandiri dan diberdayakan. Friedman(1992:1-13 ) mengatakan bahwa pendekatan pemberdayaan bertujuan mengentas atau memerangi kemiskinan dengan cara menghilangkan hambatan struktural sehingga memungkinkan akses otonomi sosial,ekonomi dan kultural masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H