Pendahuluan
Bola salju momentum reformasi tahun 1997 telah menjadi sebuah arus besar era reformasi Indonesia yang menggelinding hingga ke tingkat lokal (daerah). Momentum "menurunkan" Presiden Soeharto, berimplikasi kepada keinginan menghilangkan semua elemen dan kekuatan sebuah rezim Soeharto. Kekuatan elemen rezim itu, monopoli dan oligopoli kegiatan ekonomi, membangun militer sebagai alat politik, penunggangan partai Golongan Karya di satu sisi dan penekanan aspirasi politik PDI dan PPP di sisi lain saat itu. Pemaksaan penyeragaman pandangan ideologi Pancasila dengan membangun image pengkultusan Soeharto. Penunggalan organisasi masyarakat dalam rangka pengendalian kekuatan massa sekaligus menciptakan monoloyalitas pimpinannya kepada rezim. Rezim yang memakai instrumen refresif untuk menghambataspirasi , potensi dan kekuatan oposisi.
Masyarakat lokal (daerah luar pulau Jawa) bahkan membangun pandangan, tidak saja kekuatan elemen di atas sebagai faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terhambatnya demokratisasi dan krisis ekenomi nasional, tetapi juga lemahnya posisi masyarakat lokal sebagai akibat ketidak-adilan ekonomi dan politik serta dominasi etnis mayoritas atas etnis lokal minoritas. Ketidak-berdayaan etnis lokal, dalam persepsi lokalisme, bukan etos kerja yang lemah, tetapi kesempatan dan fasilitas yang diberikan pemerintah "Jakarta" untuk kegiatan ekonomi lokal misalnya, tidak sebagus yang diberikan kepada sekitar lingkaran pelaku ekonomi "Jakarta" (termasuk satelitnya).
Beberapa peristiwa masyarakat lokal yang telah dan sedang berlangsung sebagai akibat arus besar itu misalnya, memorandum Timor - Timur yang menghasilkan kesempatan konsolidasi kekuatan internasional dengan kekuatan lokalisme untuk melepaskan wilayah tersebut dari bagian wilayah integrasi Indonesia ; Tuntutan dan gerakan "kemerdekaan" kelompok masyarakat Aceh, Irian Jaya ( Papua) Riau maupun Dayak Kalimatan Tengah merupakan bentuk konsolidasi lain, untuk merebut kembali hak-hak ulayat dan atau primodial, relokasi kewenangan dalam pemerintahan ( politik)maupun kemandirian pengelolaan dan penguasaan hasil sumber daya alam (ekonomi) dari tangan otoritas segelintir elit nasional dan atau dari (elit ) komunitas lainnya ( lihat : Gerry Van Klinken; 2001) ; Demikian juga Konflik sosial di Maluku menyusul konflik di Ambon yang (salah satu penyebabnya) yaituperubahan interprestasi dengan perspektif etnisity dan agama, antar elit lokal terhadap kepemimpinan birokrasi pemerintahan daerah yang di bangun masa orde otoritarianisme "Soeharto".( lihat : Kusuma SP; 2000 )
Realitas sosial di atas, menyusul interprestasi lokal terhadap era reformasi, yang merefleksikan orientasi dan perilaku militerisme seperti,tindakan kekerasan fisik (lihat dalam:Martin Shaw; 2001) dengan menggunakan senjata tajam karenanya tidak taat (percaya) supremasi hukum atau " main hakim sendiri", berorientasi pada uniform satu etnis, etnosentrisme, hingga bangkitnya lokalisme oleh elit lokal. Dengan kata lain, masyarakat lokal mengarah penguatan kekerasan lokalisme dan regionalisme melalui elit lokal yang berkonsolidasi dgn etnosentrisme ;dan relegion institusionalism pada kalangan masyarakat sipil.
Realitas sosial demikian, menunjukan anti pluralisme sebagaimana yang terjadi pada doktrin uniform pada kalangan militer; hilangnya kemampuan manajemen konflik dan atau resolusi konflik dengan damai dan tanpa kekerasan, sehingga realitas komunitas lain diposisikan sebagai musuh dalam perang dengan pilihan "saya yang mati atau lawan yang mati".Realitas demikian jauh dari demokratisasi yang sangat mengandalkan kooperatif, akomodatif, toleransi, dialogis dan penegakan supremasi hukum dalam rangka menumbuhkan kultur dan struktur masyarakat yang adil dan egaliter. Realitas itu ranah reproduksi militerisme yang masuk melalui orientasi kultur di kalangan sipil yang, tentu saja, kontra produktif terhadap proses dan penegakan demokrasi dan Hak – Hak Azasi Manusia ( HAM).
Realitas sosial di atas menyadarkan kita bahwa, saat ini sedang menggeliat 4 konsolidasi pada kalangan masyarakat sipil yaitu, pertama potensi lokalisme dan regionalisme; kedua, potensi etnosentrisme dan relegion institusionalism; ketiga, potensi kebangkitan elit lokal (baru) dan keempat,bahwa 3 potensi di atas digerakan dan disikapioleh masyarakat lokal dengan model militeristik. Manakala 4 potensi konsolidasi ini semakin mengeras maka, di duga semakin mengeras pula tindakan model militeristik dan karenanya semakin jauhjuga demokratisasi yang berakar dari penguatanmasyarakat warga ( civil society).
Permasalah yang dapat diusulkan untuk didiskusikan adalah Proses apakah yang patut dilalui oleh masyarakat lokal agar konsolidasi lokalisme, etnosentrisme, religion institusisme dan elit lokaltidak jatuh pada pilihan koridor militerisme ?. Dan bagaimanakah tiga potensi pertama konsolidasi itu, agar dapat menjadi kekuatan pluralisme ?
Alternatif perspektif untuk menganalisi permasalahan di atas,dengan terlebih dahulu mendiskusikan perspektif civic education ( CE). Diskusi ini secara berurutan akan mendiskusikan perkembangan CE, Konsepsi CE dan kemungkinan implementasi CE.
Eksistensi & Perkembangan CE
Menurut catatanCharles N. Quigley (2000), Executive Director Center for Civic Education, yang dipresentasikan pada seminar " The need for New Indonesian Civic Education (CE), di Bandung bahwa, sejak tahun 1990-an telah menjamur dengan cepat di beberapa belahan dunia pengembangan dan penerapan program pendidikan yang berkaitan dengan CE. Suatu konstruksi program yang ditujukan pada generasi muda untuk berperan, berkompeten dan bertanggungjawab sebagai warga negara terhadap sistem politik yang demokratis.
Sekedar menyebut beberapa institusi yang konsen denga CE misalnya, di Eropah, German Federal Center for Civic Education yang mengelola promisi program pendidikan dalam rangka mendukung negara demokrasi German Barat menyusul runtuhnya German Timur. Di Amerika, ada prorgram"Civitas" : An International Civic Education Exchange Program yang didirikan oleh U.S. Department of Education. Para pendidik, di Amerika selama dua dekadetelah ambil bagian dalam kerjasama program CE yang di dukung oleh Center for Civic Education (Center) dan National Assessment of Educational Progress (NAEP). Selian itu, International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), sebuah konsorsium lembaga penelitian pendidikan yang ada di 53 negara dan berkantor pusat di Amsterdam. Lembaga-lembagainternasional lain yang turut memberikan dukungan CE misalnya,Council of Europe, United States Agency for International Development (USAID) maupunWorld Bank dan UNDP. Pada tahun 1995 United States Information Agency (USIA), menyelenggarakan pertemuan internasional para pendidikcivic yang diikuti oleh lebih dari 450 utusan dan para pimpinansektor publikdari 52 negara yang menghasilkan kesepakatan penting yaitu, kerjasama program CEyang berkantor pusat diStrasbourg, Francis dan kini memiliki 90 pusat program CE pada beberapa negara.
Menjamurnya program CE ini, secara substansial bahwa, masyarakat atau generasi mendatang ( juga saat ini ) masih rentan terhadap ancaman keberlanjutan dan atau tegaknya otoritarianisme pada sebuah sistem politik negara. Beberapa negara yang membangun otoritarianisme, dapat berlindung di balik"mitos"klaim konstitusi yang demokratis, tetapi dalamday to day politic menghadang masyarakat untuk kebebasan berserikat, berbicara, deskriminasi rasial, etnik maupun komunitas agama, kebebasan informasi dan jurnalistik serta penghadangan dengan represif terhadap hak-hak azasi manusia dan sipil, bahkan antar elemen masyarkat dapat dengan mudah terjebakpada tindakan irasionalkonflik yangberimajinasi etnik, ras dan agama.
CE dalam perspektif demokrasi merupakan pendidikan untukpemerintahan dan masyarakat yang bermakna bahwa, aktivitas warga masyarakat meliputi rasa tanggungjawabterhadappemerintahan yang demokratis.CE memformulasikan bahwa realitas warga masyarakat adalah komunitaspolitik darikepemerintahan, warga yang partisipatif.Warga yang memilikikemauan untuk memberikan refleksi kritis atas jalannya pemerintahan ; Memiliki pengertian dan rasa tanggungjawab bahwa lingkungannya dikelola dengan bersama-sama warga masyarakat lainnya, tanpa dibatasi perbedaan etnik, ras, kelas ekonomi, perbedaan orientasi politik apalagi hanya perbedaan lembaga keagamaan. Warga masyarakat harus merasa dan rasionaluntuk memperjuangkan dan memiliki sistem pemerintahan dan masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, CEberorientasi bahwa demokratisasi tidak hanya terletak dari pasal ke pasal sebuah konstitusi tetapi, demokrasi adalah hal yang realistik, daya toda politic. Demokrasi tidak berarti bahwa,seorang atau sekelompok warga hanya mengukur dengan menang atau kalah, diuntungkanatau dirugikan. Warga masyarakat, harus memiliki pengetahuan dan rasionalitasatas realitas kekalahan dan kerugian yang dideritanya karena, atas imbalan penegakan (supremasi) hukum atau peraturan.
Keniscayaan pemahaman pembagian ( sharing) dapat merupakan bagian penting dari suatu masyarakat demokratis, khusus mengenai kekuasaan, sumber daya, dan tanggungjawab. Pembagian itu hanya hadir bila warga masyarakat memiliki pengetahuan, keahlian dan kebutuhan sebagai warga masyarakat (civic) untuk berdemokrasi.Aristoteles berujar "If liberty and equality, as is thought by some, are chiefly to be found in democracy, they will be attained when all persons alike share in the government to the utmost."( dalam :Charles N. Quigley ;2000),
Sebuah hasil penelitian dari beberapa negaramenunjukan bahwa, pelajar yang berpartisipasi dalam CE mempunyai pengertian yang baik mengenai dasar nilai-nilai dan prinsif-prinsif tradisi masyarakatnya serta relevansi dan aktuliasasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Merekamemiliki toleransi yang tinggi, membela dan mendukung hak- haktidak saja untuk dirinya sendiri, juga hak- hak orang lain yang berbeda dengan dirinya. Mereka merasakanmakna partisipasi dalam kehidupan politik. Merekajuga sekaligus lebih kritisdalam banyak hal terhadap kehidupan bernegaraatauuntuk beberapa kebijakan pemerintah. Meskipun demikian, mereka tidak menjadi warga yang berpikiran picik dalam melihat realitas jarak antara cita-cita dengan kenyataan. Mereka kritis, sadar dan berpikiran solutif atas kenyataan. Mereka adalah warga masyarakatyang dibutuhkan oleh masyarakat demokratissekaligus penjaga dan penerus demokratisasi. (dalam : Judith Torney Purta, -ed- ; 1999) .
Konsepsi CE
Pada sebuah pertemuan internasionaltahun 1994 yang melibatkanlebih dari 3000 peserta dari beragamunsur masyarakat yang diprakarsai olehNational Standards for Civics and Government, memandang bahwa3elemen konseptual pentingCE yaitu, pengetahuan kewarganegaraan(civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skills) dan watak kewarganegaraan (civic dispositions). Di samping itu kelompok "Civitas"menambahkan perlunya komitmen kewarganegaraan (civic commitments). ( (Dalam : Branson Margaret S.; 1999 dan Charles N. Quigley ; 2000)
Civic Knowledge yaitu tingkat pengetahuan dan komitmen warga negara dalam hal normatif kenegaraan yang meliputi:
1.Warga yang berpengetahuan terhadap eksistensi dan fungsi lembaga negara seperti : parlemen ; kepresidenan; peradilan; ; parpol; politik lokal ; dan judicial system.
2.Warga yang mengetahui dan menyadari eksistensi, tidak saja haknya tetapi juga tanggungjawabnyasebagai warganegara; termasuk memahami dan mengakui hak-hak politik dan ekonomi warga dengan acuan menjalankan hak-hak azasi manusia.
3.Warga yang berpengetahuan dan mampu mengemukakan kritik konstruktif terhadap input politik , proses politik dan output politik.
4.Konsen terhadap proses keadilan maupun kesetaraan politik maupun ekonomi dan budaya.
5.Warga yang memahami dan mendukung peranan kebebasan : pers; kelompok oposisi dan lembaga non pemerintah ( NGOs).
Civic Skills yaitu : Tingkat kemampuan intellectual and Participatory warga negara yang mencakup :
1.Warga yang terlibat dalam partisipasi institusi politik harus memiliki ketrampilan intelektual, baik kemampuan analisis secara verbalis, maupun menulis konspetual bahkan ketrampilan berpikir krikitkal (critical thinking skills.)
2.Warga yang menyadari akan kemampuan intelektualnyadan derajat pendidikannya dalam melibatkan diri dengan urusan publik.
3.Warga yang memiliki ketrampilan untuk agenda publik, yang harus dibedakan dengan agenda pribadi. Untuk itu dibutuhkan ketrampilan memahami aspirasi orang lain dan mendiskusikannya.
4.Memiliki ketrampilan dalam membuat koalisi dalam urusan publik sekaligus mengelola konflik yang timbul dengan orientasi penyelesaian tanpa kekerasan.
5.Ketrampilan warga yang mampu memberikan pengaruh kepada proses politik , baik formal maupun informal, khususnya pada komunitasnnya.
6.Akan lebih baik, jika juga memiliki ketrampilan dalam meneliti issu-issu publik melalui berbagai media massa.
Civic dispositions yaitu tingkat kematangan watak sebagai warga negara yang berkaitan dengan hal :
1.Sikap dan tingkah lakuwarga yang kondusif bagi fungsi kesejahteraan dan kemauan bersama menjalankan sistem demokrasi.
2.Rasa tanggungjawab ( sense of belongingness) untuk dirinya sendiri dan menerima segala kosekuensi atas tindakannya sendiri.
3.Disiplin diri yang kuat serta mampu menjaga dasar konstitusi negara, meskipun tidak memiliki kewenanganotoritas institusi.
4.Pikiran dan kemauan meletakan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadinya.
5.Kemauan ( willingness) pikiran terbuka, termasuk terhadap perasaan akan keraguan, dan terbuka atas ambisi / cita-cita dalam realitas sosial politik.
6.Warga yang harus memiliki kemauan berkompromi; realitis dalam menghadapi konflik antara nilai dan prinsif; toleransi atas keberagaman budaya; memiliki daya tahan kesabaran yang tinggi atas perlawanan dalam mencapai tujuan-tujuan bersama.
Civic commitments yaitu warga yang memiliki kemauan untuk memegang teguh dalam hal :
1.kebebasan setiap warga merasionalkan nilai-nilai dan prinsif-prinsif konstitusi negara demokratis.
2.Melalui proses politik,mmpromosikan kemauan bersama mengenai, ide dasar sistem negara demokratis, termasuk melindungi hak-hak azasi warga lainnya.
3.Menegakan kedaulatan peranan hukum; pembagian kekuasaan; check and balances ; dan pengakuan hak-hak minoritas.
4.Mempromosikan pengendalian sipil terhadap militer melalui peraturan yang ditetapkan oleh kedaulatan dan kewenangan masyarakat / warganegara.
CE : Masyarakat "tanpa Pertikaian".
Di depan mata kita, kalangan masyarakat lokal mempertontonkanfenomena konsolidasi antara lokalisme, etnosentrisme, relegion institusionalism; dan kebangkitan elit lokal (baru) yang disikapi dengan model militeristik, bukan saja merupakan ancaman adanya gurita kekerasan (militersime) yang fragmentatif, tetapi dapat menjadi disintegrasi sosial bertipel horizontal.Implikasi tipel ini, bisa menjadi konflik tanpa akhir ; dendam tidak berujung dan mendalam; maupunhadirnya imaginasiunidentificated enimies.
Konsolidasi sepanjang garis horizontal ini, dapat secara effektif menjadi rangkaian solidaritas sosial antar komunitas, berhadapan dengan komunitas lainnya. Pertikaian antar etnis yang terkonsolidasi dengan pemilahan antar pemeluk agama pada daerah tertentu, dapat memicu pertikaian antar pemeluk agama pada daerah lain, meskipun dengan etnis yang sama. Atau, menjadi pertikaian antar etnis, yang mereduksir peran integratif pemeluk agama pada wilayah tertentu.
Memahami ancaman potensi garis horizontal masyarakat demikian, masyarakat lokal bukan saja berpotensi sebagai ladang pertikaian, tetapi sekaligus kunci berpotensi menyumbangkan integrasi sosial. Potensi yang terakhir demikian dapat bergerak, dengan memenuhi salah satu syaratnya, menempatkan kekuatan sepanjang garis horizontal masyarakat itu menjadi konsolidasipluralisme dan demiliterisme melalui CE. Dus, mengembangkan lokalisme, etnosentrisme, relegion institusionalism; sebagai Kekuatan integratif, tidak bisa dikelola dengan pengingkaran eksistensi, apalagi penghapusan eksistensinya. Karena lokalisme, etnosentrisme, relegion institusionalism bersifat permanen primodialis.
CE, baik dalam konteks gerakan institusimaupun kultural, merupakan alternatifuntuk mencuatkan konsolidasi pluralisme dan demiliterisme. Secara instusional ada beberapa langkah utama yang harus dilalui yaitu : Pertama men-set up beberapa kelompok masyarakat lokal untuk mendapatkan gambaran identifikasi pluralis lingkungannya dan fenomena militeristik. Sehingga, kelompok masyarakat lokal itu mengetahui danmenyadari pluralis lingkungannya yang selalu diintip oleh potensi kekerasan. Penyadaran demikian pada gilirannya menumbuhkan kebutuhan ketepatan pengelolaan lokalisme, etnosentrisme, dan relegion institusionalism yang dapat dipermainkan oleh elit baru. Kedua mengenalkan pengetahuan dan ketrampilan CE sebagai jawaban atas kebutuhan pengelolaan masyarakat yang pluralis dalammembuatprogram aktivitas kampanye CE. Gerakan demikian membangun simpul-simpul partisipan dan bahkan generasi yang melek CE. Ketiga, mencari berbagai kemungkinan penggalian pengetahuan lokal maupun lembaga-lembaga agama, untuk memberikan justifikasi pengetahuan dan ketrampilan CE. Sebab, pastilah terdapat kearifan dalam lokal jenius yang memberikan penghargaan terhadap kemanusian.
Dalam konteks gerakan kultural maka CE diadopsi oleh berbagai institusi lokal yang telah eksis. Beberapa institusi lokal yang berperan penting, dapat dikategorikan ke dalam aspek sbb : Organisasi sosial keagamaan; Partai Politik; lembaga sekolah dan prasekolah ; organisasi kepemudaan; lembaga pemerintahan dan swasta. Setiap institusi lokalharus menjadikan CE sebagai orientasi dan bahkan norma dalam setiap pengambilan kebijakan organisasi. Beberapa peluang pengembangan CE pada institusi lokal yaitu : Pertama, menjadikanpengetahuan dan ketrampilan CE yang utama bagi setiap kader atau partisipan pada setiap institusi lokal. Sehubungan dengan itu, institusi yang berperan besar dalam memposisikan person untuk menjadi elit lokal baru, maka pengetahuan dan ketrampilan CE sebuah keniscayaan yang secara sadar dan bisa diterima oleh akan sehat kader. Misalnya, program penerimaan pegawai negeri sipil ( PNS) lokalharus menempatkan pengetahuan dan ketrampilan CE sebagai bagian prioritas. Kedua, CE sebagai bagian norma prestasi kerja pada setiap institusi lokal. Promosi jabatan berbagai institusi negara maupun swasta misalnya , maka CE dapat dijadikan instrumen penilaian promosi jabatan. Ketiga, mengenalkan pengetahuan dan ketrampilan CE kepada elit-elit lokal dengan media yang telah eksis di lingkungan mereka. Misalnya, dengan media majelis-majelis Tak'lim maupun perkumpulan jamaat gereja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H