2012dibuka dengan berita sandal jepit. Kasus yang melibatkan antara AAL vs Briptu Ahmad Rusdi Harahap menjadi issu utama media massa. Bukan hanya media massa nasional, Media massa luar negeri turut memberitakan kisah sandal jepit ini seperti The Washington Post, Boston Globe, Al Jazeera, BBC , juga situs The New Zealand Herald dengan judul berita ” Indonesia’s new symbol for injustice : Sandal’s”.
Kasus ini mengingatkan pada kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Kisah AAL bermula November 2010 ketika ia bersama temannya lewat Jalan Zebra Palu di depan rumah kos Briptu Ahmad Rusdi. Melihat ada sandal, ia mengambilnya. Mei 2011 polisi itu memanggil dia dan temannya. Selain menginterogasi, polisi itu memukulnya dengan tangan kosong dan benda tumpul hingga korban melapor ke provos.
Atas laporan itu Polda Sulteng menjatuhkan sanksi tahanan 7 hari kepada Ahmad Rusdi, dan rekannya yang ikut menganiaya, Briptu Simson J Sipayung ditahan 21 hari. Dalam putusan, hakim tak menyebut AAL bersalah mencuri sandal Briptu Rusdi. Namun, AAL divonis bersalah karena telah mengambil milik orang lain. Hakim memvonis AAL dikembalikan ke orangtuanya.
Dengan hadirnya kasus AAL dan nenek mirah, banyak yang membandingkanya dengan kasus rekening gendut Polri atau kasus Gayus Tambunan. Arogansi aparat Polri terlihat dalam penganiayaan yang dilakukan Briptu Ahmad ketika menginterogasi. Pertama; AAL anak di bawah umur yang mestinya cukup diberi pembinaan. Kedua; kasusnya tergolong sepele, pencurian sandal jepit senilai Rp 30 ribu.
Ketiga; AAL sudah mendapatkan ''hadiah setimpal'' saat dianiaya dua anggota Polri tersebut, dan yang lebih berat adalah stigma sebagai pencuri. Keempat; saat ini Polri melalui SK Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 menggalakkan program Polmas, yang mewajibkan tiap anggota polisi memperlakukan anggota masyarakat sebagai mitra setara untuk memecahkan persoalan di masyarakat.
Jika untuk kasus sandal jepit saja ada penganiayaan dan pemidanaan, publik pantas bertanya apa manfaat program Polmas? Kelima; tuntutan hukuman 5 tahun penjara bagi AAL kian terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan tuntutan terhadap koruptor yang banyak dituntut dengan hukuman di bawah 5 tahun penjara.
Aksi 1000 sandal jepit itu kini telah usai. Aksi yang diawali oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai bentuk protes agar AAL tidak ditempatkan dalam penjara telah berubah menjadi bentuk kemarahan masyarakat terhadap polisi.
Kini, aksi 1000 sandal jepit itu telah menjadi sejarah protes masyarakat. Aksi protes spontan masyarakat sipil terhadap aparat. Yang ada tinggal apakah institusi kepolisian mau instropeksi, mengevaluasi atas kinerja dan perilaku anggotanya yang arogan dan sok jagoan. Atau, malah sibuk berbohong memutarbalikkan fakta, sibuk membela diri. Kalau yang terakhir yang dipilih, yakinlah bahwa perlawanan masyarakat pada institusi kepolisian akan semakin besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H