Hidupku tak pernah sedatar itu dengan warna. Sejak kecil selalu bahagia melihat pelangi yang bersemburat di langit usai hujan. Hujan yang membasahi tanah, tanah yang mengeluarkan aroma begitu tetes-tetes air jatuh membasahinya. Aroma itu terasa hangat dan sendu. Belum lagi ditambah suara rintik hujan yang menenangkan. Dari balik jendela, tetesan-tetesan itu merembes lewat kaca dan jatuh ke bawah.
Kampung Warna Jodipan jadi oasis di Malang
Begitu menginjakkan kaki di Kampung Warna Warni Jodipan dan Kampung Tridi, hal pertama yang terlintas adalah warna pelangi. Ada banyak warna, ada keceriaan, ada rasa manis, ada sendu, ada teduh, ada gelisah, ada banyak sekali kombinasi perasaan di sana.
Mungkin beberapa orang jadi anti dengan pelangi karena diasosiasikan dengan LGBTQ, tapi tak bisa dipungkiri warna-warni itu dipakai dalam banyak hal, di kue misalnya.Â
Lagipula apakah kita, manusia, bisa menyelahkan keberadaan warna itu? Padahal alam sendiri yang menghadirkan pelangi setelah badai datang, di antara kesesakan hidup, dan lain-lain.
Ada banyak warna di dalamnya yang mana satu sama lain terpisah sekaligus menyatu dalam kombinasi yang unik. Bayangkan saja kita sedang ada di gurun pasir kemudian di depan ada sumber air.
Pelangi juga menggambarkan aneka ragam perbedaan yang menjadi kesatuan utuh tapi tidak kehilangan esensinya. Tidak salah sih kalau pelangi diadopsi jadi simbol banyak kelompok atau demografi yang mengejar kesetaraan dan keberagaman.
Ragam warna itu menjadi simbol perdamaian dan ketenangan