Mohon tunggu...
Ibe Karyanto
Ibe Karyanto Mohon Tunggu... -

developing better educational mode for better live

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghormati Hak Anak, Memuliakan Kehidupan

23 Juli 2015   10:17 Diperbarui: 23 Juli 2015   10:17 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Kutulis ini di awal tahun 2000, ketika aku mencoba memahami arti air mata yang berlinang di antara senyum bahagia saudara-saudaraku setiap kali menghantarkan anaknya menuju kedewasaan)

Kelahiranmu, anakku, adalah tanda yang menyatakan kerahimanNya pada kehidupan. Kelahiranmu, anakku, adalah buah dari pohon cinta yang dirawat dan dijaga oleh seorang perempuan yang kelak kau panggil ibu dan seorang laki-laki yang kelak kau panggil bapak. Pada kelahiranmu, anakku, nampak semakin nyata antara ibu dan bapak bukan lagi dua melainkan satu. Dua pribadi dalam satu jiwa ini tak henti-hentinya melambungkan pujian dan syukur atas kelahiranmu yang memberi arti baru bagi kehidupan kami. Kelahiranmu, anakku, adalah mistik kehidupan yang membuat kami tak mampu lagi menyangsikan mahakarya sang cinta.

Seperti kelopak bunga perlahan membuka wujud kuncupnya untuk memberi kesegaran angin kehidupan pada batang sari dan putik-putiknya, demikian pun kamu, anakku, semakin hari semakin terbuka pada dunia di sekitarmu. Aku menyaksikan dengan linangan air mata kekaguman ketika kamu, anakku, dengan susah payah tanpa menyerah mencoba menapakkan telapak kakimu pertama di atas tanah, tak ada kegamangan sedikit pun ketika sepasang kaki kecilmu itu mulai melangkah. Aku bangga anakku, karena dengan langkah itu kamu akan menjelajah.

Perempuan manakah yang tidak akan bersukacita ketika anak yang lahir dari rahimnya untuk pertama kalinya dengan terbata-bata menyapa, “I…bu.” Ya, aku ingat saat itu anakku, ketika pertama kali kau sebut nama itu gejolak suka cita itu tak tertahankan. Dengan sukacita pula aku bersorak kepada seluruh bumi, “Lihat, cinta itu begitu sempurna!”

Pada tubuhmu yang selembut kapas itu aku ingat kata-kata Pujangga besar Chile, Gabriella Mistral, “Hari ini, tulang dan otot anak dibentuk. Darahnya diproduksi. Kemampuannya berpikir sebagai manusia dipupuk dan dikembangkan. Karena itu tubuh dan jiwanya membutuhkan semuanya: makanan bergizi, air bersih, pelayanan, pendidikan, perlindungan dan di atas segalanya … kasih sayang. Untuk mereka kita tidak bisa berkata '‘esok'’ Nama anak-anak itu adalah '‘hari ini.”  Untuk kelahiranmu aku bekerja dan aku hidup, anakku.

Tak jauh dari masa itu anakku, kau pun ingin tahu tentang dirimu. Aku masih ingat ketika kau bertanya tentang kelahiranmu. Sambil mengulur jemarimu yang mungil lembut aku tunjukkan kalender dan mengingatkan tanggal ------- sebagai peringatan kelahiranmu. Kau pun girang seolah mengingat saat awal persahabtanmu dengan bumi yang membantu memberimu kehidupan. Ya, aku pun melihat sorot matamu bening berbinar ketika aku jelaskan harapan kedua orang tuamu yang tersimpan di balik nama yang kau sandang.

Aku bisikkan pada daun telingamu yang masih selembut kelopak kamboja, “supaya kau, anakku, menjadi anak manusia yang tetap tegar berdiri sekalipun bumi yang kamu injak diguncang kepongahan. Supaya kamu, anakku, senantiasa mampu menebarkan wangi kembang di tengah jagad hidup  yang tak jarang menawarkan udara pengab kejahatan.”

Pada saatnya kita akan sering bicara bersama tentang hidup yang bergerak dan berubah dari waktu ke waktu. Ada yang harus ditinggalkan. Ada juga yang harus kita terima, sekalipun kadang terasa sakit. Pada saatnya kita akan tahu, sekai pun kita tidak menghendaki, sakit menjadi bagian dari perjalanan waktu yang harus kita tanggung.

Aku tahu pada saatnya sakit itu akan tiba ketika kau memberi isyarat untuk berjalan dengan kakimu sendiri, berpikir dengan otakmu sendiri, merasa dengan hatimu sendiri, berkata-kata dari mulutmu sendiri. Hasratmu adalah isyarat yang mengingatkan aku pada syair pujangga Kahlil Gibran,” “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, tapi tidak dari engkau…”

Ya, saat yang kau tentukan ini adalah isyarat yang mengingatkan bahwa pada saatnya kau, anakku, akan melesat bagai anak panah meninggalkan busurnya melesat entah kemana. Pada saatnya aku tidak akan tahu lagi kemana kau bergerak, tapi aku akan tetap merasakan ketika kau sedang jatuh atau kau sedang bangun untuk melangkah. Melangkahlah anakku, kalau memang kau ingin melangkah. Karena sekalipun mata ini  tak lagi bisa melihat dimana kau ada, tapi kekuatan jiwa ini tak akan pernah berhenti menembus segala batas untuk tetap menyertai langkahmu. Teruslah menjelajah anakku, sejauh yang kau mau. Karena kemauan adalah tongkat yang akan menguatkan langkahmu untuk terus menjelajah ke batas dunia yang kau tentukan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun