Mohon tunggu...
Ibe Karyanto
Ibe Karyanto Mohon Tunggu... -

developing better educational mode for better live

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bijak Memilih Calon Bijak

22 Juni 2014   08:16 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:51 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari itu, tanggal 9 Juli rakyat Indonesia, yang punya hak pilih tentunya, berduyun-duyun mendatangi tempat pemungutan suara. Tak ada dua menit rakyat menjadi aktor utama untuk memilih pilihan terbaik masing-masing. Tak genap satu hari selesai sudah proses rakyat Indonesia mempertaruhkan kehidupan bangsa dan negara lima tahun ke depan pada salah satu dari dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu rakyat, rakyat pemilih, yang baik sudah tentu akan menggunakan hak pilihnya sebaik-baiknya.

Rakyat pemilih yang baik bisa ada dimana-mana. Bisa jadi rakyat pemilih yang baik ada juga di antara warga yang memilih untuk tidak memilih alias Golput. Barangkali warga pemilih yang baik ada juga di antara pemilih yang menentukan pilihannya pada calon presiden yang mempesona tampilan fisiknya atau punya kemampuan cara bicara yang menggoda. Pilihan seperti itu boleh saja dianggap baik, tapi pilihan seperti itu sebenarnya cenderung meremehkan wibawa kedudukan presiden, sebagai pemimpin sebuah bangsa yang besar. Kepemimpinan itu perkara kombinasi integritas, kecerdasan dan sedikit karisma. Tidak ada hubungannya ketampanan fisik atau kekayaan dengan kepemimpinan.

Pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini, sebenarnya juga setiap kali pemilihan, merupakan momentum perubahan nyata (change), bukan sekadar perubahan bentuk (re-form). Karena itu dibutuhkan putra-putri bangsa Indonesia yang terbaik untuk melakukan perubahan. Ketentuan normatif mengenai putra-putri terbaik yang berhak menjadi calon presiden sudah ditetapkan dalam pasal 6 dan 6a (perubahan) UUD 1945 dan UU NO 42 tahun 2008, khususnya pasal 5. Konstitusi dan Undang-undang itu menjadi dasar hukum bagi Komisi Pemilihan Umum(KPU)  untuk memastikan hanya rakyat yang memenuhi ketentuan yang berlaku yang  berhak maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

Ketentuan itu juga dimaksudkan untuk memastikan kepada rakyat pemilih bahwa calon yang sudah ditetapkan KPU adalah putra-putra terbaik bangsa Indonesia. Barangkali para calon yang sudah ditetapkan KPU itu memang baik atau setidaknya claim dirinya adalah calon yang baik. Kalau keduanya sama baik, lumrah kalau kemudian rakyat pemilih bingung menentukan satu yang terbaik.

Calon Presiden Yang Bijak

Karena itu untuk mengurangi kebingungan atau, malah, memastikan mana calon yang pantas pilih, perlu menambahkan ketentuan lain. Salah satunya adalah menambahkan ketentuan ‘bijak’ sebagai kriteria untuk menilai apakah calon itu pantas atau tidak memimpin. Banyak cerdik pandai menuliskan penjelasan arti bijak. Namun bisa jadi penulis yang menuliskan arti bijak belum tentu orang yang bijak.  Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ‘bijak’ artinya ‘selalu menggunaan akal budi’. Dalam praksis keseharian makan bijak secara nyata bisa dilihat dari kehidupan tokoh yang memiliki integritas, yaitu tokoh yang mengejawantahkan satunya kata, rasa, pikir ke dalam tindakan nyata.

Tidak sulit mengenal calon yang bijak atau tidak bijak. Lihat saja apakah omongannya semasa kampanye, pun juga di luar kampanye, sinkron alias nyambung dengan kemampuan rasa-perasaan dan tindakannya. Penilaian itu bisa dilakukan dengan cara cross-check antara omongan dengan data atau ketentuan yang berlaku. Calon pemimpin yang bijak di masyarakat demokratis adalah calon yang melihat jabatan atau kedudukan sebagai amanah, pertanda kepercayaan rakyat. Karena itu calon yang bijak tidak akan bernafsu memburu kedudukan. Calon pemimpin yang bijak adalah calon yang tidak claim dirinya baik, tapi karena obyektif memang baik. Setidaknya calon benar-benar bersih dari tanggungan beban masa lalu baik secara individu maupun sebagai badan hukum, baik berupa tanggungan hutang maupun perbuatan tercela yang punya konsekuensi hukum. Calon yang bijak adalah calon yang kejujurannya teruji dari kebijakan dan keputusannya yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa dari pada kepentingan kelompok, apalagi, kepentingan diri pribadi.

Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang amanah. Padanya tak ada hasrat untuk berkuasa, selain hanya tekun mendengarkan suara rintih duka dan pengharapan rakyat. Padanya tak ada keinginan untuk memperkaya diri, selain memberikan diri untuk bekerja mewujudkan perubahan terbaik yang dikehendaki rakyat. Padanya tak ada maksud untuk pencitraan, selain memang tulus, jujur bekerja untuk perubahan mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.

Pemilih Yang Bijak

Sekali pun calonnya bijak, namun kalau pemiihnya tidak bijak juga akan beresiko bagi kehidupan bangsa ke depan. Karena itu demi perubahan kehidupan bangsa Indonesia yang lebih adil, makmur dan sejahtera dibutuhkan rakyat pemilih yang bijak pula. Setidaknya tiga penanda subyektif bagi setiap pemilih untuk mengenali apakah  dirinya termasuk pemilih yang bijak atau bukan. Pertama, pemilih yang bijak adalah pemilih yang otonom, merdeka, yakin pada pilihannya sendiri, tidak berada di bawah pengaruh tekanan pihak lain. Dalam hal pemilihan, rakyat yang merdeka adalah rakyat bergeming pada intimidasi dalam bentuk apa pun.  Rakyat pemilih yang merdeka adalah pribadi yang tidak mengkhianati hukumnya sendiri (otonom) yaitu suara bathin.

Kedua, rakyat pemilih yang bijak adalah rakyat yang lebih mengedepankan pertimbangan rasional dari pada pertimbangan emosional. Emosi lebih mudah mengecoh, karena cenderung sifatnya subyektif, personal. Tak jarang ada yang memilih karena merasa dekat sebagai teman. Ada juga yang memutuskan karena secara emosional terpesona pada kecakapan lahiriah calon. Bisa juga memilih karena empati, tepatnya, iba atau berbelas kasih pada yang dipilih. Pilihan itu barangkali baik, tapi tidak bijak. Pilihan menjadi bijak kalau rasio atau akal sehat mampu melakukan intervensi.

Rasionalitas rakyat pemilih barangkali tidak sama dengan cara berpikir para akademisi, apalagi yang sudah dibeli sebagai ‘konsultan’. Barangkali rakyat pemilih yang cerdas tak perlu berpusing-pusing menurunkan teori dari langit untuk bisa dengan bijak mengenali siapakah calon Presiden yang pantas dipilih untuk memimpin bangsa ini. Cukup menggunakan akal sehat dan hati jernih untuk melihat bagaimana rekam jejak atau sejarah kepemimpinan setiap calon. Akal sehat akan menuntun setiap pemilih untuk melihat secara obyektif sikap dan tindakan para calon calon presiden. Ukuran obyektifnya jelas, apakah calon selama ini menunjukkan prestasi nyata untuk rakyat banyak, setidaknya tindakan calon membawa perubahan yang lebih baik yang dirasakan langsung oleh rakyat.

Di tanggal 9 Juli kehidupan bangsa dan negara Indonesia ke depan ditentukan di tangan rakyat pemilih. Perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dimulai dari pilihan rakyat. Pilihan rakyat adalah kepercayaan yang dipertaruhkan pada calon pilihannya. Pilihan bijak pada calon yang bijak bisa dipastikan akan membawa perubahan, setidaknya perbaikan di berbagai aspek kehidupan demokrasi. Karena pemilih bijak adalah pemilih yang belajar dari pengalaman pahit masa lalu semasa rakyat lebih dari 30 tahun hidup di bawah penindasan rejim otoritarian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun