“Kriiiiiing kriiiiing kriiiiing”, bunyi alarm memecah keheningan di kamar Pak Aryo dan Bu Shita. Mesin waktu telah menunjukkan pukul 5.30 pagi. Sang Raja Siang mulai menampakkan wajahnya perlahan-lahan. Pesona hangatnya, kini mengenai rumah berdinding hijau yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta itu. Bu Shita beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela kamarnya. Sinar mentari pun melewati celah-celah jendela, memberikan kehangatan pada awak pagi, sekaligus mencairkan bongkahan embun yang beku karena kedinginan semalam. Ya, hari baru telah tiba. Saatnya memulai aktivitas.
“Pa, ayo bangun, ini sudah pagi.”, kata Bu Shita.
“Hmm.. ya, Ma, ya!”, jawab Pak Aryo masih mengantuk.
“Anak-anak sudah dibangunkan, Ma?”, lanjut Pak Aryo.
“Belum, Pa! ini Mama mau ke kamar anak-anak. Papa mandi duluan saja sana”, jawab Bu Shita.
Bu Shita langsung ke kamar putra putrinya, Dika dan Dinda. Seperti biasa, mereka masih tertidur pulas. Bu Shita hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tidak heran karena mereka masih anak-anak. Dika kelas satu SMP, sementara Dinda masih kelas lima SD. Bu Shita segera membuka jendela kamar mereka. Secara bersamaan, sinar mentari mengenai wajah Dika dan Dinda.
“Anak-anak mama, ayo bangun, Sayang! Sudah pagi.”, kata Bu Shita.
“Silau, Ma! Tolong tutupkan lagi jendelanya ya, Ma!”, pinta Dinda.
“Tidak bisa, Sayang! Ini sudah pagi. Ayo bangun, katanya kalian mau berlibur ke rumah Paman Hendra dan Tante Lusi!”, jawab Bu Shita.
“Oh ya, ya, Ma! Hampir saja kami lupa. Ya deh, kami bangun!”, jawab Dika.
“Pintar anak-anak mama. Ya sudah, kalian langsung mandi sana! tapi tunggu Papa kalian dulu. Ingat, kalian tidak boleh rebutan. Sekarang mama mau merapikan kamar kalian dulu.”, nasihat Bu Shita.