Mohon tunggu...
Miftahul Jannati Rahmah
Miftahul Jannati Rahmah Mohon Tunggu... -

saya hanyalah manusia biasa.. yang haus akan ilmu, dan ingin menyampaikan apa yang saya tau.. dan berdiskusi....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Pemilihan Rektor Benarkah Demokratis ???

4 Juni 2010   12:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini saya menghadiri debat calon Rektor UNDIP yang diadakan oleh BEM KM UNDIP yang diharapkan nantinya dengan diadakannya debat calon rektor ini, mahasiswa akan semakin mengenal rektornya. Namun, bukan saya bermaksud pesimistis atau bagaimana, namun agenda Debat ini hanya akan sia-sia belaka. Karena, aspirasi dari mahasiswa hanya akan dianggap sebagai pelengkap dan pencitraan sementara saja. Terlihat dengan tidak hadirnya para guru besar yang menurut Undang-Undang sebagai Wali Amanat yang merupakan pemilih langsung calon Rektor. Yah, semoga apa yang saya takutkan itu tidaklah menjadi kenyataan.

Kalau kita cermati, selama ini perguruan tinggi di mata masyarakat dipandang sebagai organisasi yang dinilai sudah mengangkat nilai-nilai demokratis. Tampak dari berbagai macam aksi mahasiswa yang seolah-olah menyuarakan amanat rakyat. Kalau kita melihat dari perspektif keaktivan mahasiswa ditataran masyarakat memang terlihat betapa demokratisnya dunia perguruan tinggi. Di mata sejarah pun, area perguruan tinggi sangat erat kaitanyya dengan pemerdekaan negara ini dari kaum otoriter. Sehingga tidak salah jika perguruan tinggi layak disebut sebagai “benteng demokrasi”

Namun, apakah benar iklim perguruan tinggi benar-benar mencerminkan bentuk demokrasi? Kita ambil saja dalam tataran ini adalah pola pemilihan Rektor. Subjektivitas saya sebagai mahasiswa ini, menganggap bahwa penerapan pola pemilihan Rektor di beberapa Universitas masih sangat tidak demokratis. Bagaimana tidak? Rektor dipilih oleh orang-orang yang berpengaruh saja yang sering disebut sebagai Wali Amanat dimana didalamnya terdapat guru-guru besar yang sangat dihormati. Pertanyaannya? sebenarnya siapakah yang nantinya akan menjadi objek kebijakan para Rektor? apakah Para Guru Besar? tidak tentunya. Karena, kalau kita tilik lebih dalam, para Guru Besar sebagian adalah beliau – beliau yang sudah jarang sekali berada di wilayah kampus. Jadi pihak yang merasakan kebijakan tersebut, mayoritas adalah mahasiswa, baru kemudian karyawan dan dosen-dosen fakultas. Namun, apakah mereka dilibatkan dalam pemilihan Rektor? TIDAK..!!

Ketidakdemokratisan tersebut lebih tampak lagi hari ini (Saya berbicara di tataran kampus UNDIP),  paling tidak, walaupun mahasiswa bukanlah pemilih langsung, tetapi mahasiswa adalah masyarakat terbanyak yang nantinya akan merasakan kebijakan para Rektor, dan keinginan mahasiswa juga harus didengarkan terutama bagi para Pemilih langsung hal ini bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih para calon Rektor, dilihat dari paling tidak statemen yang mereka sampaikan. Nah pertanyaan berikutnya? Berapa dari ke 120 Guru Besar (red : di UNDIP senat Universitas terdiri dari 120 orang yang terdiri Guru Besar dan wakil Fakultas) yang datang saat Debat Calon Rektor dan Public Hearing? Bisa dihitung dengan jari.

Melihat fenomena seperti itu, masih pantaskah Perguruan Tinggi dianggap sebagai benteng demokrasi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun