Hari itu cerah, tidak ada mendung sama sekali. Hujan deras dan angin kencang yang akhir-akhir ini menjadi sahabat kota Solo juga tidak terlihat.
Tidak ada yang istimewa di kantor. Tugas-tugas seperti biasa, berkas-berkas, laporan kegiatan dan lain-lain. Mendekati akhir tahun kesibukan kantor bertambah, tapi tidak buatku. Tugas-tugas penting sudah aku selesaikan semua di awal tahun, hanya tugas-tugas minor saja yang tersisa.
Dari lantai dua, di tepi meja kerjaku, seharian ini Aku lebih banyak melamun. Lewat jendela, aku bisa melihat orang lalu lalang di jalanan dengan kesibukannya sendiri. Seperti aku yang sedang sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala.
Dua hari lalu Masa menemukan flek merah di pakaian dalamnya. Aku bingung, ini kehamilan pertamanya dan Masa teramat bahagia karenanya. Aku ingat pada suatu sore kudapati Masa sedang berbicara dengan perutnya, “Baru belasan minggu saja sudah sayang banget, gimana nanti kamu lahir ya?”
Kami benar-benar tidak tahu apapun tentang apapun tentang tanda kehamilan yang baik maupun yang tidak. Aku mencari artikel di internet tentang flek di masa kehamilan muda, dan mengejutkan. Sebagian besar artikel yang aku baca tentangnya mengarah pada kemungkinan keguguran. Bukan sebagian besar lagi aku rasa, semua artikel itu berkata demikian.
Bahkan saat aku mencari artikel pembenaran dengan keyword semacam “flek saat kehamilan gejala normal” atau semacamnya, aku tidak bisa menemukan artikel yang aku cari. Flek yang dialami Masa bukan seperti deskripsi artikel-artikel pembenaran itu, Masa beberapa kali mengalami kram sebelum muncul flek-flek itu. Bahkan menurut beberapa artikel menyatakan jika gejala-gejala itu berlanjut hingga hari ke tiga, pasti itu keguguran.
Perasaanku sangat tidak enak malam itu.
Pada hari ke tiga, hari ini, perasaan itu belum membaik. Aku tau Masa juga memikirkan hal ini. Tapi ada semacam tuntutan buatku bahwa Masa harus selalu tersenyum. Beban pikiran sedikit banyak pasti mempengaruhi kondisinya. Kalaupun bisa aku ingin Masa tidak tahu apapun tentang tanda-tanda ini. Tapi tidak mungkin, bagaimanapun ia sendiri yang mengalaminya.
**
Jam pulang kantor aku langsung pulang. Di jalan aku tidak bisa berhenti berfikir mencari pembenaran-pembenaran yang bisa aku gunakan untuk menghibur Masa. Aku takut pulang, takut terlihat bingung. Aku kendarai motorku pelan-pelan
Sampai di komplek perumahan, aku lambatkan lagi motorku. Menyiapkan muka ceria, minimal muka datar. Tidak sedih.
Sore ini sangat berat buatku.
Pak Yadi seperti biasa menyapaku yang melintas di depan warung hik miliknya, “Mas ...”
Aku membuka kaca helm, “Nuwun sewu Paaak ..” mencoba senyum.
“Monggo!” nada khas Solo Pak Yadi yang ramah bikin hatiku agak tenang.
Aku buka pagar rumah, tidak seperti biasanya garasi rumah masih tertutup. Mungkin Masa sedang tidur pikirku, lalu aku parkirkan motor di teras.
Waktu seakan lambat sore itu, aku bisa mengingat semua detail yang terjadi. Tetangga samping lewat dengan terburu-buru di depan rumah tanpa menyapa. Mas-mas pengurus masjid mulai membuka jendela-jendela masjid di depan rumah, bersiap untuk adzan. Waktu itu hampir mendekati waktu maghrib.
Belum sempat aku mengetuk pintu, Masa sudah membukakan pintu.
“Assalamualaikum” aku melepas sepatu.
“Waalaikum salam” Masa menyambut sambil tersenyum ringan.
aku tidak bisa menebak apa di balik senyuman ringan itu, dia terlihat biasa saja. Terlalu biasa bahkan. Lalu saat Aku melangkah masuk rumah, Masa berkata, “Ayah, tadikeluar darah lagi.”
Aku berusaha tidak terkejut, “Ohya?
“Ya.” Masa menutup pintu. Masih sambil tersenyum.
“Kalau gitu ke Bu Dokter lagi yuk nanti malam.”
“Iya.”
aku, meletakkan tas, mengganti baju, lalu makan. Hatiku hancur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H