Mohon tunggu...
Thomas Utomo
Thomas Utomo Mohon Tunggu... -

Guru di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. \r\nMenulis di Story, Potret, Suara Muhammadiyah, Annida, Radar Banyumas, Satelit Post, Nikah, Fatawa, dll.\r\nKontributor buku Creative Writing (STAIN Press, 2013) bersama Abdul Wachid BS, dkk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Serba-Serbi Jatuh Cinta dan Patah Hati

23 Februari 2015   15:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424655034815886339

Judul:Kitab Cinta dan Patah Hati

Penulis:Sinta Yudisia

Penerbit:Indiva Media Kreasi

Cetakan:Pertama, Juni 2013

Tebal:384 halaman

ISBN:978-602-8277-99-0

Peresensi:Thomas Utomo

Para psikolog sosial merumuskan beberapa bentuk emosi yang termasuk dalam interpersonal attraction atau ketertarikan antarpribadi, yaitu perasaan suka, persahabatan, kekaguman, nafsu, dan cinta. Cinta sendiri dapat dipahami sebagai perasaan positif yang timbul dalam diri terhadap orang lain, baik sejenis maupun lawan jenis, dengan usia sama, lebih tua, atau lebih muda (hal. 23).

Perilaku yang melambangkan cinta tak selalu romantis dan didasari sikap saling melindungi. Banyak pihak justru membuktikan cinta dengan berperilaku sebaliknya: bersikap posesif, sadistis, masokis, dan menindas untuk menunjukkan superioritas.

Tetapi mengapa manusia yang memiliki otak, susunan saraf, neurotransmiter, fisik, dan panca indra yang sama; bisa berlainan perilaku tatkala mencintai sesuatu atau seseorang?

Sebetulnya, perilaku merupakan penampakan dari kondisi psikologis sesesorang. Secara sederhana, perilaku memperlihatkan jeroan seseorang. Dalam keadaan tenang, orang akan dapat makan-minum, berbicara, berjalan, dan beraktivitas lainnya dengan tenang pula. Sedang dalam keadaan gelisah atau marah, orang akan cenderung beraktivitas dengan buru-buru.

Perilaku seseorang—termasuk perilaku cinta—dipengaruhi oleh empat hal yakni multisebab, warisan budaya, genetik dan lingkungan, dan pengalaman hidup. Perilaku cinta masing-masing orang tidak timbul hanya karena satu sebab belaka. Banyak faktor lain yang mendukung terjadinya perbedaan, sebagaimana faktor pencetus perilaku yang berikutnya (hal. 106).

Budaya mencintai dan mengekspresikan cinta sendiri sekarang ini jauh lebih gampang, cepat, dan terbuka dibandingkan zaman dulu. Hal ini karena teknologi berkembang semakin canggih, sehingga manusia semakin ekspresif mengungkapkan isi hatinya, baik lewat handphone atau media sosial seperti facebook dan twitter. Jatuh cinta, patah hati, bahkan marah dan caci-maki, dapat leluasa dilakukan di ruang terbuka—media sosial—tanpa kekhawatiran akan menyinggung pihak lain (hal. 108).

Di samping itu—seperti dikemukan di atas; bahwa—perilaku cinta juga sangat dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan pembentuk. Secara genetik, manusia akan terpola dari leluhurnya. Dia akan berperilaku anggun mempesona, termasuk dalam mengungkapkan cinta—bila secara genetik diwariskan sifat-sifat itu. Sementara lingkungan merupakan elemen yang dapat menyempurnakan, menyembuhkan, atau malah memperparah dan memperburuk berkali lipat. Bila secara genetik bapak-ibu memiliki sifat keras, kasar, dan gemar mencaci-maki, maka sempurnalah genetik dan lingkungan menjadi pembentuk watak manusia yang bersifat sekeras batu. Kelak, dia pun akan kesulitan menunjukkan perasaan cintanya pada pasangan dengan cara yang indah; kecuali bila sebagai individu menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik (hal. 111).

Akan tetapi, bisa jadi secara kultur, genetik, dan lingkungan seseorang dididik sangat keras sehingga senantiasa kasar kepada orang lain. Tapi pengalaman hidup yang memperkaya batin—entah di titik mana—menjadikannya manusia yang berbeda: menjadi welas asih pada sesama, terutama pada pasangan. Barangkali saat kecil sering melihat bapak menganiaya ibu, sehingga saat dewasa dia tidak ingin hal itu terulang pada pasangannya. Ataupun juga dia malah mengulang perilaku yang sama. Hal-hal itu tergantung kekayaan pengalaman yang dialami, dipahami, direnungkan, dan diperoleh sepanjang masa hidup (hal. 114).

Oleh karena itulah, cinta bagi sebagian orang dapat menguatkan, sementara bagi sebagian yang lain justru dapat sangat merusak dan menghancurkan—baik diri sendiri maupun pasangan.

Sebagai bagian dari satu paket afeksi, patah hati adalah sisi lain yang sangat mungkin terjadi pada pasangan yang sebelumnya saling mencintai—baik karena terpisah oleh maut atau memang berpisah karena satu dan alasan lain; putus, bercerai, dan sebagainya. Patah hati sendiri dapat diartikan sebagai kondisi emosi dan mental seseorang yang tidak lagi memiliki semangat dan kemauan untuk melakukan suatu hal—terutama yang terkait percintaan—karena rasa kecewa, perasaan tidak suka yang muncul akibat peristiwa-peristiwa tak menyenangkan dengan pasangan. (halaman 284).

Patah hati tidak selalu berkaitan dengan adanya orang ketiga yang bermakna perselingkuhan. Bukan sekadar bosan dengan pasangan, lalu meninggalkannya. Hati terluka, patah pada akhirnya, dapat diakibatkan ketidakmampuan menanggung peristiwa-peristiwa buruk yang mendera selama perjalanan cinta berlangsung. Ujian demi ujian yang mendera sepasang insan yang saling mencinta pada awalnya, boleh jadi memperkokoh ikatan atau malah merapuhkannya.

Sebagian orang menjadikan patah hati sebagai titik kehancuran, karena harapan seperti musnah, tidak ada lagi nyala yang tersisa di bumi. Sebagian lainnya justru menjadikan patah hati sebagai titik balik. Kata Oscar Wilde; hearts live by being wounded—terkadang, hati menjadi lebih hidup usai terluka. Rasa sakit karena hati yang terluka, dapat memicu semangat defense mechanism—keinginan mempertahankan diri dari rasa sakit dan kejatuhan yang lebih parah. Orang yang berhasil menghimpun rasa percaya diri dengan segera, menjadikan patah hati sebagai energi psikis untuk membuktikan bahwa prestasi tetap dapat diraih. Patah hati bukan akhir dunia, bukan berarti diri tak berharga, tak memiliki arti. (halaman 285-286).

Patah hati—bagi penulis buku ini—dapat diobati misalnya dengan mengubah persepsi mengenai kebahagiaan; bahwa patah hati tidak berarti dukalara, kepergian pasangan bukan berarti kebahagian terenggut. Seumpama saat kekasih berpaling pada orang lain, itu berarti cintanya tidak cukup kokoh. Bagaimana setelah menikah nanti? Memiliki kekasih yang belum terikat pernikahan, tak ada keharusan mempertahankan ikatan bila salah satu berkhianat. Mengapa tidak memilih orang lain dengan perilaku yang lebih matang dan lebih baik sebagai pasangan seumur hidup? Kecuali bila telah menikah, tentu perlu dicari jalan keluar yang lebih bijak bila salah satu berkhianat. (halaman 313-314).

Upaya mengobati patah hati juga dapat dilakukan dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan melalui salat wajib, salat sunah, dan terutama salat malam, di samping banyak membaca kitab suci, berzikir, meminta saran dari orang salih, dan sering bergaul. Patah hati juga dapat disembuhkan lewat olah raga dan mengonsumsi makanan bergizi—keduanya dapat mempengaruhi hormon-hormon yang mendorong perasaan seseorang lebih rileks dan tenteram.

Di samping menguraikan kedalaman arti jatuh cinta dan patah hati, buku ini juga menampilkan kisah-kisah jatuh cinta dan patah hati yang dialami tokoh-tokoh populer seperti Cleopatra, Napoleon Bonaparte, Marilyn Monroe, Imam Syafi’i, Utsman bin Affan, dan terutama Nabi Muhammad. Dari kisah-kisah tersebut, pembaca akan dapat berkaca dan mendulang pelajaran baik daripadanya.

Bantul, 18 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun