Judul:Jasmine
Pengarang:Riawani Elyta
Penerbit:Indiva Media Kreasi
Cetakan:Pertama, April 2013
Tebal:322 halaman
ISBN:978-602-8277-91-4
Peresensi:Thomas Utomo
Jasmine menampilkan sosok gadis cantik, bertubuh molek, tinggi semampai. Keelokan tubuhnya yang menggiurkan, membuat ibunya mengumpankannya pada lelaki-lelaki hidung belang. Puncaknya, sang ibu menjual Jasmine pada seorang germo, yang selanjutnya memboyong dia ke Batam, ke satu kawasan prostitusi terkenal (halaman 306-307).
Jasmine tidak pernah sukarela membiarkan para lelaki sundal menindih tubuhnya. Berulang kali dia berusaha kabur, berulang kali dia berusaha bunuh diri. Tapi usaha nekatnya itu selalu membentur dinding kesia-siaan, karena dia selalu kepergok saat hendak melakukan aksinya itu (halaman 170-171, 173, 310).
Sampai kemudian, Jasmine bertemu Dean Pramudya, mahasiswa tampan, berair muka dingin. Rupanya hubungan Jasmine-Dean tidak hanya berakhir di tempat tidur. Keduanya sama-sama saling tertarik, dan ingin mengikatkan diri dalam hubungan yang jelas (halaman 171). Beragam cara dilakukan Dean untuk bisa meloloskan pujaan hatinya dari rumah bordil. Usaha Dean menemui pintu keluar, saat dia diizinkan induk semang rumah bordil untuk mengajak Jasmine kencan di luar lingkungan prostitusi. Kompensasinya: Dean menyerahkan sejumlah banyak uang untuk aksinya tersebut (halaman 173, 311).
Dean kemudian membawa kabur Jasmine ke Jakarta. Tapi untung tidak bisa diraih, malang tidak dapat ditolak. Kaki tangan induk semang Jasmine berhasil mengendus jejak gadis muda rupawan itu. Gerombolan bandit itu menculik kemudian menyekap Jasmine sebelum memperkosanya beramai-ramai. Jasmine pun jatuh terkulai, sekarat akibat perbuatan laknat itu. Dia ditinggalkan begitu saja, tanpa diobati, tanpa jadi dibawa ke Batam (halaman 311-312).
Berangsur-angsur Jasmine dapat sembuh sendiri. Bersamaan dengan itu, sebagian ingatannya hilang akibat benturan pengalaman traumatik. Jasmine sempat menggelandang di jalanan, sebelum masuk kawasan rulli, dilanjut menghuni rumah milik yayasan yang peduli dengan penderita HIV/AIDS. Di tempat terakhir itulah, Jasmine berkenalan dengan Malika, pengurus yayasan yang beraut muka ramah, berhati emas. Lewat Malika, Jasmine belajar salat; satu ibadah yang sudah pernah dilakoninya masa anak-anak, namun berangsur ditinggalkan karena tekanan keadaan dan profesi. Jasmine merasa nyaman dengan ibadah yang dilakukannya itu. Pun demikian saat dia berdekatan dengan Malika. Tapi satu kejadian “mendesak” membuat Jasmine terpaksa kabur dari rumah yayasan. Sebelum pergi, dia sempat mencuri semua uang Malika, dengan tekad kelak bakal mengembalikannya.
Lewat komunikasi jejaring sosial Facebook, Jasmine—dengan secuil sisa ingatan—berhasil menghubungi Dean, pemuda terkasih yang mengajaknya hidup bersama (halaman 133-136). Selang waktu kemudian, keduanya kembali bertemu. Kehendak Dean untuk menyunting Jasmine kembali coba diwujudkan dengan mengajak gadis itu menempati sebuah rumah. Tapi belum lagi perjumpaan mereka mencapai bilangan sepekan, secara mendadak Dean ditangkap polisi karena terkait kasus cybercrime (halaman 192-193). Rupanya Dean sudah lama diincar polisi.
Fakta baru pun terkuak di hadapan mata Jasmine. Ternyata sejak lama pemuda terkasihnya itu menjadi dalang pembobol sistem keuangan banyak bank. Dia mengomandoi pengacauan, perusakan, sekaligus pencurian uang via internet.
Bersamaan dengan penangkapan Dean, Jasmine menyadari ada bintil-bintil merah bermata nanah yang meruyak di kedua belah kakinya. Kehadiran bintil-bintil yang tidak diundang itu, membuat tubuh Jasmine meriang dan dia sukar menapakkan kaki buat berjalan (halaman 162, 185). Belum tuntas Jasmine “menikmati” penyakit yang ternyata disebabkan HIV/AIDS, dia malah ditangkap polisi yang mencurigainya punya kaitan dengan kasus cybercrime yang dilakukan Dean, kekasihnya (halaman 203-204).
Selang waktu kemudian, gadis rupawan yang tubuhnya semakin ringkih dan kurus digerogoti penyakit itu, kembali diculik para bandit. Kali ini, pelakunya adalah orang-orang suruhan ayah Dean Pramudya. Mereka memaksa Jasmine menandatangani dokumen yang berisi pemutar-balikan fakta terkait keterlibatan Dean dalam kasus cybercrime. Konflik semakin rumit juga pelik, karena bersamaan dengan penjeblosan Dean ke balik jeruji besi, kawan-kawan “seperjuangan” Dean; ialah sesama hacker, mendadak hilang dari peredaran dan sukar dihubungi. Di tempat lain, Malika yang tidak pernah berburuk sangka terhadap Jasmine dan selalu mengharapkan kembali kedatangan gadis amnesia itu, justru tengah bergulat dengan maut, akibat HIV/AIDS yang bersarang di tubuhnya (halaman 142-143, 164-166, 258-263). Di sisi lain, hadir pula seorang perempuan paruh baya bernama Rowena yang sedang berusaha keras melajak jejak putrinya yang hilang, namun sebelum pencariannya menemui titik temu, dia justru tertembak saat hendak menolong Jasmine dari penculikan (halaman 282).
Sepintas lalu, novel ini terasa rumit karena silang-sengkarut permasalahan yang dialami para tokoh. Tiap bab sendiri menceritakan tokoh berbeda, secara bergantian—di samping plot yang melompat-lompat. Tapi bila ditelusuri secara perlahan, dibaca tanpa tergesa-gesa, pembaca akan menjumpai sebuah kelindan kisah asyik, penuh kejutan, dan keakhiran yang tidak terduga. Apalagi karena bahasa yang digunakan pengarang terasa segar. Ditambah lagi tema yang diangkat tidak biasa diungkap pengarang lain, ialah soal cybercrime dan human trafficking. Dengan kualitas itulah, sungguh patut bila novel ini diganjar sebagai Pemenang Sayembara Menulis Novel Inspiratif Indiva tahun 2010 lalu.
Ledug, 5 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H