Mohon tunggu...
Thomas Utomo
Thomas Utomo Mohon Tunggu... -

Guru di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. \r\nMenulis di Story, Potret, Suara Muhammadiyah, Annida, Radar Banyumas, Satelit Post, Nikah, Fatawa, dll.\r\nKontributor buku Creative Writing (STAIN Press, 2013) bersama Abdul Wachid BS, dkk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Persahabatan Manusia dan Kepodang Kuning

23 Februari 2015   14:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424650494879150535

Judul:Kesturi dan Kepodang Kuning

Pengarang:Afifah Afra

Penerbit:Elex Media Komputindo

Cetakan:Pertama, 2013

Tebal:vi + 314 halaman

ISBN:978-602-02-1220-3

Harga:Rp 44.800,00

Sriyani adalah seorang perempuan dusun tanpa pendidikan. Setiap hari pekerjaan perempuan yatim-piatu ini adalah memunguti daun-daun jati yang rontok kemudian menjualnya di pasar. Belum lagi usianya mencapai dua puluh tahun, ia hamil karena diperkosa mantri desa yang pernah menolongnya saat kanak-kanak. Bodohnya, Sriyani menerima begitu saja kehamilan tanpa suami itu. Dan untuk menghindari cemooh orang-orang desa serta sambil menunggu kelahiran bayinya, Sriyani memilih tinggal di tepi hutan Girijati, di sebuah gubuk sederhana.

Setelah melahirkan seorang bayi perempuan cantik yang diberi nama Kesturi, Sriyani mulai bersahabat dengan burung-burung kepodang kuning yang selalu mengunjunginya saat ia bermain demung--salah satu instrumen gamelan yang dimainkan dengan cara dipukul. Sambil menikmati suara demung dan tembang macapat yang dikidungkan Sriyani, kepodang-kepodang kuning itu bercengkerama dengan Kesturi yang ditidurkan di atas selembar kain batik. Burung-burung itu menggelitiki pipi atau perut Kesturi dengan paruh dan jari-jari mereka yang mungil. Kesturi selalu tertawa riang dibuatnya. Demikian pula Sriyani.

Persahabatan unik itu suatu ketika menarik perhatian Satrio; volunteer Green Earth--NGO khusus lingkungan yang berpusat di Jenewa, saat dia sedang mengadakan penelitian di hutan Girijati. Selanjutnya, perkenalan dengan Sriyani dan Kesturi membuat pemuda berambut panjang itu terlibat dalam harmoni persahabatan dua makhluk beda jenis. Saking terkesannya Satrio kemudian mendokumentasikan persahabatan putri Sriyani dan burung-burung kepodang kuning itu dalam video dokumenter yang diberi judul Kesturi and Yellow Oriole; Oriole Friendships with a Baby.

Pada saat yang sama, kakak Satrio yang bernama Rajendra, terlibat dalam sebuah proyek pengalihan lahan hutan Girijati menjadi destinasi wisata berstandar internasional. Tetapi, proyek bernilai trilkiunan itu dicemari praktik korupsi berantai oleh Rajendra dan para koleganya yang terdiri dari pengusaha, bupati, anggota DPRD, dan kalangan Senayan.

Proyek itu mengancam kesejahteraan rakyat dan kelestarian alam Girijati. Selain karena pembebasan tanah yang dihargai amat murah dan lahan yang rusak karena proyek dijalankan tanpa memperhatikan AMDAL, fauna-fauna langka di Girijati juga di ambang kepunahan.

Dalam hal ini, Afifah Afra dengan piawai menggunakan tokoh-tokoh imajinatifnya  itu sebagai corong perlawanan terhadap kelaliman pengelolaan lingkungan. Sriyani dan Satrio sebagai wakil manusia, sedangkan kawanan burung kepodang kuning sebagai simbol perlawanan dari kalangan fauna.

Tetapi, betapa pun gigih perlawanan terhadap korupsi dan pengelolaan alam secara ngawur dan brutal, semboyan Keuangan yang Adikuasa tetaplah berlaku. Meski pada akhirnya praktik korupsi pengalihan lahan hutan Girijati terungkap, toh para aktor intelektualnya tetap saja bebas dari jerat hukum, bahkan dapat ikut serta mencalonkan diri dalam bursa Pilkada.

Salah satu fragmen mengharukan dalam novel ini yang seolah-olah adegan slow motion film adalah saat tumbangnya pohon trembesi di hutan Girijati. Afifah menuturkan, “Suara derak pohon tumbang. Teriakan keras. Mata-mata yang melotot. Jiwa-jiwa yang tersentak. Dan pohon yang ambruk. Sriyani bergeming. Dia melihat sarang burung itu terjatuh, dan Janaka, beserta kelima anaknya terbang ke arahnya. Bibir Sriyani tersenyum. Tangannya melambai ke arah keenam burung sahabatnya itu. Batang trembesi roboh. Menimpanya.” (halaman 305).

Pada bab-bab awal, novel ini terasa membosankan karena isinya yang sudah sangat sering diutarakan pengarang lain yaitu soal kemalangan hidup yang dituturkan mendayu-dayu sehingga tampak artifial dan maksa: ayah yang meninggal karena kerusuhan politik 1998, ibu ikut meninggal karena TBC, adik-adik yang menghilang, dan kemalangan perempuan sebatang kara yang diperkosa. Hal lain yang cukup mengganjal ialah para tokoh novel ini memiliki karakter atau mungkin sifat yang sama yakni mudah jatuh cinta dengan lawan jenis yang beraut rupawan. Dan ini merupakan ciri khas novel-novel Afifah Afra sejak mulai Javasche Oranje sampai novel ini. Namun demikian, memasuki pertengahan halaman, novel yang digarap 2006-2012 ini mulai menyajikan alur cerita yang asyik karena pengarang menguraikan harmoni persahabatan antara manusia dengan burung kepodang kuning--hal yang jarang diutarakan pengarang lain.  Ada pula ketegangan-ketegangan yang lumayan seru manakala Kesturi jatuh sakit sementara hutan Girijati sudah dikepung banyak buldozer. Juga konflik antara Rajendra dan Satrio serta perebutan cinta keduanya dengan seorang dokter cantik. Pada akhirnya, novel ini merupakan jenis bacaan yang menghibur dan menyenangkan.

Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun