Judul:Kesturi dan Kepodang Kuning
Pengarang:Afifah Afra
Penerbit:Elex Media Komputindo
Cetakan:Pertama, 2013
Tebal:vi + 314 halaman
ISBN:978-602-02-1220-3
Harga:Rp 44.800,00
Pada 1 Oktober 2010, Annida Online merilis Berita Penulis bertajuk Afifah Afra Lebih Sulit Bikin Nama Anak Daripada Tokoh Cerita. Dalam berita itu diinformasikan bahwa Afifah sedang menyiapkan novel bertema lingkungan. Pada paruh pertama tahun 2013, novel yang dimaksudkan berita tersebut terbit dengan judul Kesturi dan Kepodang Kuning.
Novel yang diterbitkan grup Kompas Gramedia ini, mengangkat tokoh utama bernama Sriyani; seorang gadis belia korban kerusuhan 1998. Dalam kerusuhan yang menjadi penanda berakhirnya rezim Soeharto ini, bapak Sriyani tewas terpanggang saat pertokoan daerah Solo dilalap api angkara. Takdir itu menghempaskan Sriyani ke dalam jurang kemiskinan. Dia terpaksa keluar sekolah untuk membantu ibunya berjualan daun jati. Sayangnya, pada usia 12 tahun, Sriyani kembali harus merasakan kehilangan saat ibunya dipanggil menghadap Illahi.
Beruntung dia ditolong Mantri Suseno yang kemudian mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga. Tetapi ada suatu masa saat Mantri Suseno bermata gelap sehingga memperkosa pembantu sekaligus anak asuhnya itu. Kejadian yang berulang-ulang itu selanjutnya membenturkan Sriyani pada dinding takdir yang lain: dia hamil! Sriyani kemudian keluar dari rumah Mantri Suseno dan memilih menetap di gubuk peninggalan ibunya di tepi hutan Girijati.
Pada awal-awal cerita, novel ini terasa klise karena isinya serupa dengan cerita yang sudah sering diuraikan pengarang-pengarang lain, sehingga cukup membosankan. Tapi memasuki pertengahan halaman, mulailah terasa keasyikan dan keseruannya karena pengarang menguraikan harmoni persahabatan antara manusia dengan burung kepodang kuning.
Ya. Setelah Sriyani melahirkan seorang putri mungil yang dinamainya Kesturi, dia mulai bersahabat dengan kepodang-kepodang kuning yang selalu mengunjunginya saat dia bermain demung--alat musik tradisional Jawa. Sambil menikmati suara demung yang dipukul dan tembang macapat yang dikidungkan Sriyani, kepodang-kepodang kuning itu bercengkerama dengan Kesturi yang ditidurkan ibunya di atas selembar kain jarik. Mereka mencucuk-cucuk pipi Kesturi dengan paruh atau menggelitiki perutnya dengan jari-jari kaki mereka yang mungil. Kesturi selalu tergelak senang karenanya. Sementara Sriyani terharu atas perkiraan bahwa putrinya memiliki keistimewaan yang membuatnya disukai burung-burung. Buktinya kepodang yang datang mengunjunginya semakin hari semakin banyak.
Persahabatan unik itu menjerat simpati Satrio; seorang volunteer Green Earth--NGO khusus lingkungan yang berpusat di Jenewa. Perkenalannya dengan Sriyani dan Kesturi, kemudian membuat pemuda gondrong itu turut serta dalam harmoni persahabatan dua makhluk beda jenis itu. Satrio bahkan bisa membuat beberapa video dokumenter yang di antaranya dinamakan Kesturi and Yellow Oriole; Oriole Friendships with a Baby. Video-video itu turut memuluskan jalan Satrio mendapat beasiswa kuliah di Cambridge University.
Pada saat yang sama, Rajendra; kakak Satrio, tengah terlibat dalam sebuah proyek pengalihan lahan hutan Girijati menjadi waduk, lapangan golf, dan destinasi wisata berstandar internasional. Proyek bernilai trilyunan itu sendiri dicemari praktik korupsi berjamaah oleh Rajendra dan para koleganya yang terdiri atas pengusaha, bupati, anggota DPRD, dan kalangan Senayan.
Pada akhirnya, rakyat jelata dan kelestarian alam-lah yang menjadi korban. Selain pembebasan tanah yang dihargai sangat murah dan lahan yang rusak karena pembangunan dijalankan tanpa memperhatikan AMDAL, eksistensi fauna Girijati pun di ambang kepunahan.
Di sinilah Afifah Afra dengan sangat lihai menggunakan tokoh rekaannya sebagai corong perlawanan terhadap kezaliman pengelolaan lingkungan. Sriyani dan Satrio sebagai wakil manusia, sedangkan kawanan kepodang kuning menjadi symbol penentangan kalangan fauna.
“Sayangnya”, novel ini tidak menjadi bagian dari dongeng pengantar tidur yang akhirnya selalu berujung baik dan tokohnya bahagia sentosa selamanya. Betapa pun gigihnya perlawanan terhadap praktik korupsi dan pengelolaan alam secara serampangan, secara tersirat Afifah mengingatkan bahwa semboyan Keuangan yang Adikuasa tetaplah berlaku di Indonesia. Meski praktik korupsi pengalihan lahan hutan Girijati terungkap, toh para aktor intelektualnya tetap bisa melenggang kangkung, bahkan turut dalam Pemilukada.
Salah satu fragmen mengharukan dalam novel ini yang seolah-olah adegan slow motion film adalah saat tumbangnya pohon trembesi di hutan Girijati. Afifah menuturkan, “Suara derak pohon tumbang. Teriakan keras. Mata-mata yang melotot. Jiwa-jiwa yang tersentak. Dan pohon yang ambruk. Sriyani bergeming. Dia melihat sarang burung itu terjatuh, dan Janaka, beserta kelima anaknya terbang ke arahnya. Bibir Sriyani tersenyum. Tangannya melambai ke arah keenam burung sahabatnya itu. Batang trembesi roboh. Menimpanya.” (halaman 305).
Ledug, 25 Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H