Mohon tunggu...
Thomas Utomo
Thomas Utomo Mohon Tunggu... -

Guru di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. \r\nMenulis di Story, Potret, Suara Muhammadiyah, Annida, Radar Banyumas, Satelit Post, Nikah, Fatawa, dll.\r\nKontributor buku Creative Writing (STAIN Press, 2013) bersama Abdul Wachid BS, dkk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berhenti Menyalahkan Orang lain

28 Oktober 2012   13:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 3042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13514326651104966976

Sudah menjadi sunatullah bahwa manusia biasa tidak pernah bisa luput dari kesalahan dan tidak lekang dari dosa. Sebuah kalimat populer menyebutkan, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Artinya, tidak ada manusia yang sempurna, meskipun dia berusaha berbuat secara sempurna. Hanya manusia sombonglah yang merasa dirinya sempurna, merasa dirinya paling benar, paling besar, paling superior, dan karenanya terhindar dari kesalahan.

Kaitannya dengan hal tersebut, Sakuri Dahlan, Wakil Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Banyumas pernah mengungkapkan dalam sebuah workshop di SD UMP pada 2 Juli 2012 bahwa, “Orang yang sukses adalah orang yang berpikir tentang cara. Sedangkan orang yang gagal adalah orang yang selalu menyalahkan orang lain.”

Sayangnya, jumlah orang yang selalu menyalahkan orang lain atau mencari-cari kesalahan orang lain, termasuk kesalahan yang remeh-temeh sekalipun, jauh lebih banyak daripada orang yang selalu berpikir dan bertindak mengenai cara. Ialah cara untuk memperbaiki kesalahan diri sendiri, maupun cara untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain dengan jalan menyumbangkan tenaga atau memberikan saran yang konstruktif. Bahkan ada orang-orang tertentu yang merasakan kebahagiaan tersendiri dengan mengorek-ngorek kesalahan orang lain, kemudian memamahnya sebagai daging bangkai dengan cara menggunjingkannya. Sementara orang-orang semacam itu tengah sibuk dengan kesalahan orang lain, dirinya justru abai dengan kesalahan diri sendiri yang bisa jadi jauh lebih besar.

Sebuah pepatah mengatakan, “Hisab-lah dirimu sendiri daripada meng-hisab orang lain.” Artinya, lebih baik menghitung-hitung kesalahan diri sendiri, lalu mencari jalan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, daripada menghitung-hitung kesalahan orang lain.

Nabi Muhammad pernah berpesan wanti-wanti, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tapi imannya tidak masuk ke dalam hatinya, janganlah kamu menyakiti kaum muslimin. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan mereka, karena sesungguhnya siapa pun yang suka mengumbar aurat saudaranya, maka Allah akan membuka auratnya, sekalipun dia berada di pangkuan ibunya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). Kalimat “berada di pangkuan ibunya,” oleh Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin diartikan sebagai “berada di dalam rumah atau berada di tempat yang dikira aman”.

Lebih lanjut, Syaikh Utsaimin berkomentar, “Kita tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan mencari-cari kesalahan orang lain itu sendiri merupakan suatu kesalahan.” Menurut beliau, mencari-cari kesalahan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan dalam aturan Islam.

Dalam Hilyatul Auliya, Abu Nuaim Al-Ashbahani menulis, “Apabila sampai kepadamu suatu berita tentang saudaramu yang tidak kamu sukai, maka carilah udzur untuknya semampu mungkin. Jika sekiranya kamu tidak juga mendapatkan udzur untuknya, maka katakanlah pada dirimu sendiri: Mungkin saja saudaraku punya suatu alasan yang tidak aku ketahui.”

Mengutip dari Ja’far Ash-Shadiq, Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Janganlah sekali-kali kalian mencari-cari kesalahan, karena sesungguhnya hal itu membuat hati menjadi sibuk dan mewariskan sifat kemunafikan.”

Dari penjelasan tersebut, bukan berarti tidak boleh mengoreksi kesalahan orang lain. Mengoreksi kesalahan orang lain itu bisa jadi merupakan hal yang baik, kalau memang diperlukan demi menyampaikan kebenaran. Sayangnya, manusia kerapkali dihinggapi penyakit gemar mengorek-ngorek kesalahan orang lain bukan menyampaikan kebenaran, tapi justru untuk mendapatkan pembenaran. Pembenaran bahwa dirinya yang paling unggul, dan karenanya punya alasan untuk membusungkan dada. Kalau hal ini terjadi, maka perbuatan tersebut bisa digolongkan sebagai kesombongan. Menurut Nabi, orang yang sombong adalah orang yang menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Nabi juga bersabda bahwa tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya masih terdapat kesombongan, meskipun sebesar biji sawi.

Oleh karena itu, akan lebih baik menjadi pribadi mawas diri yang selalu mengoreksi kesalahan diri sendiri daripada mengoleksi kesalahan orang lain. Insyaallah, hal tersebut lebih utama dan menyelamatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun