Mohon tunggu...
ruth hutapea
ruth hutapea Mohon Tunggu... -

sederhana saja! dimulai dengan positive thinking dan mengucap syukur..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bayang Fatal

31 Agustus 2010   15:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:33 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan kecil membasahi taman asri halaman sebuah rumah sakit pagi itu. Dedaunan tampak ikut bergoyang seirama dengan jatuhnya rintik hujan. Seorang gadis berseragam putih abu-abu berjalan di koridor menatap kosong ke depan. Tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Ia berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih sejenak seperti sedang memutuskan untuk tetap melanjutkan niatnya atau tidak, lalu mengalihkan pandangannya ke papan bertuliskan nama seorang psikolog. Untuk membulatkan niatnya, ia menutup mata dan menghela nafas panjang.

“Permisi, Tante!” ucapnya setelah mengetuk pintu.

“Masuk! Rhea? Tumben kamu ke sini?” jawab wanita separuh baya itu dengan wajah terkejut yang kemudian berganti dengan senyuman tulus.

Rhea hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Ada apa kamu ke sini, Rhe?” Rhea hanya diam.

“Kamu gak sekolah?” Rhea menjawab dengan gelengan. Wanita itu mempersilahkan Rhea untuk duduk.

“Rhea, kamu ada masalah? Apa ada hubungannya dengan orang tua kamu?” tanya wanita itu lagi.

Diam menyelimuti ruangan. Pertanyaan itu membuat wajah Rhea semakin sendu.

***

Suara barang pecah terdengar tepat saat Rhea membuka pintu kamarnya. Ia terdiam mendengar keributan yang sama sekali lagi. Air matanya turun dalam diam dan rasa hausnya hilang seketika. Ia masuk kembali ke dalam kamarnya, mencoba tidur seolah tidak terjadi apa-apa.

Bayangan itu kembali muncul, kepala Rhea terasa berputar. Semua pelajaran di sekolahnya seolah berputar di kepalanya, mulai dari rumus-rumus hingga ucapan-ucapan dari gurunya kemudian berganti menjadi pertengkaran orang tuanya. Keringat mulai mengucur dari keningnya. Rhea terbangun dengan nafas berkejar-kejaran. Kepalanya terasa semakin sakit. Ia mencari obat yang diberikan tantenya tadi pagi dan meminumnya. Malam ini ia benar-benar tidak akan bisa tidur.

***

Bel sekolah berbunyi pertanda sekolah telah usai hari ini. Dengan enggan, Rhea memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Belakangan ini Rhea semakin tidak bersemangat untuk pulang ke rumah. Ia bosan dengan keadaan rumah yang membuatnya tidak nyaman.

“Rhe, kita ke toko buku yuk. Ada novel baru, lho.” Ajak Simon, teman Rhea.

“Maaf, Mon. Aku lagi gak mood kemana-mana.” Tolak Rhea.

“Trus kamu mau ke mana? Apa mau aku anterin pulang aja?” tawar Simon lagi.

“Gak usah, Mon. Thank’s! Aku bisa sendiri kok.” Rhea berjalan meninggalkan Simon yang masih kecewa karena ditolak Rhea.

Dari depan sekolahnya Rhea naik taksi ke tempat yang belakangan ini mulai rutin dikunjunginya. Taksi yang ia tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah sakit.

“Tante, semalam kepala Rhea sakit lagi. Rhea udah minum obat dari tante tapi obat itu Cuma bisa menengkan saja, bukan menyembuhkan.” Keluh Rhea.

“Memang. Kita belum punya obat untuk menyembuhkan sakit yang kamu rasakan setiap kamu tertidur karena itu bukan penyakit seperti biasanya. Untuk menyembuhkannya, hanya kamu sendiri yang bisa. Yah, dengan mengontrol pikiran kamu untuk bisa lebih tenang dan tidak terlalu memikirkan semua yang ada di sekitar kamu.”

“Tapi Rhea udah capek, Tante. Rhea udah gak tahu lagi harus gimana.”

“Kamu pasti bisa, Rhea. Apapun yang terjadi nanti, kamu harus yakin kalau semua itu adalah yang terbaik.”

Rhea menatap tantenya dengan putus asa.

***

Malam ini ada yang berbedadi rumah Rhea. Tidak ada bentakan atau suara barang pecah yang terdengar. Ia berjalan ke ruang tamu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang tamu terlihat ayahnya sedang duduk mengutak-atik laptopnya sedangkan ibunya sibuk membolak-balikkan majalahnya. Rhea merasa canggung dengan keadaan yang seperti ini, tapi ia merasa bahagia karena kemungkinan orang tuanya untuk berbaikan semakin besar. Ia akan merasakan keluarga yang utuh lagi.

“Ma, Pa? Kalian?” tanya Rhea dengan ragu.

Ayahnya menutup laptop dan ibunya meletakkan majalah yang dibacanya.

“Iya, sayang. Papa sama Mama udah capek berantem terus.” Jelas papanya, senyum mulai tersungging di wajah Rhea.

“Mama sama Papa sudah memutuskan. Kami akan menyudahi semuanya.” tambah mamanya, kening Rhea mulai berkerut.

“Maksudnya?” tanya Rhea.

“Sayang, papa dan mama memutuskan untuk pisah. Besok sidangnya dimulai. Mungkin ini jalan yang terbaik.”

“Gak! Rhea gak mau papa sama mama pisah. Rhea butuh papa dan mama. Bukan salah satunya.” Rhea berteriak melepaskan kesalnya selama ini.

“Sayang, kamu harus mengerti posisi mama dan papa.”bujuk mamanya.

“Tapi kapan kalian ngerti keadaan Rhea? Apa kalian gak pernah menganggap Rhea ada? Kalian egois!”

“RHEA!”bentak papanya.

Rhea gak perduli lagi dengan panggilan orang tuanya. Ia tetap berlari ke luar rumah. Ia berlari tanpa tahu ke mana tujuannya. Tanpa ia sadari kakinya membawanya ke sebuah rumah berbentuk kos-kosan yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sebuah mobil merah berhenti tepat di sisinya. Pengemudi mobil itu ke luar menghampiri Rhea.

“Rhea? Kamu kok bisa ada di sini?” tanya Simon.

Tanpa berbicara, Rhea memeluk simon dan tangisnya semakin menjadi. Simon mengajaknya masuk ke kosannya. Penghuni kosan yang mendengar tangisan Rhea keluar untuk melihat apa yang terjadi. Simon memberi isyarat kepada mereka melalui gerak bibir “gak apa-apa.”

Sampai di kamar, simon mendudukkan Rhea di atas tempat tidur dan memberikan segelas air putih agar Rhea bisa lebih tenang. Ia tidak memaksa Rhea untuk segera menceritakan apa yang terjadi. Ia hanya menenangkannya sampai Rhea tertidur, sedangkan ia tidur di sofa yang ada di kamarnya.

Rhea melihat dirinya sedang bermain komedi putar bersama orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia. Senyum Rhea pudar seketika berganti rumus-rumus dan semua pelajarannya, berganti lagi menjadi ucapan mama dan papanya tadi malam. Semua berputar semakin cepat. Rhea merasakan kepalanya semakin sakit. Ia terbangun dan mencari obatnya. Lalu ia teringat oabtnya tertinggal di kamar. Ia semakin panik.

Simon yang mendengar suara berisik menjadi terbangun. Ia melihat Rhea sudah terduduk di sudut tempat tidur sambil memegangi kepalanya. Simon segera memeluk Rhea dan menenangkannya. Rhea merasa sangat kesakitan. Simon memberikannya segelas air putih. Menjelang pagi, Rhea sudah mulai tenang dan bisa tidur.

Simon memandangi Rhea dengan perasaan sedih. Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis ceria yang ia sayangi selama ini.

***

Hari ini hari minggu, hari kelima Rhea menginap di kosan Simon. Ia mengajak Rhea untuk lari pagi di sekitar kompleks. Sejenak Rhea bisa melupakan apa yang terjadi dengan dirinya dan keluarganya. Ia terlihat bahagia dan lepas. Tanpa terasa mereka sudah berdiri di depan rumah Rhea bersamaan dengan sebuah mobil hitam keluar dari rumahnya, yang ia kenal sebagai mobil tantenya.

Melihat Rhea, wanita paruh baya itu keluar dan menghampirinya.

“Rhea, kamu terlihat lebih sehat.” Ujar wanita itu sambil menyentuh pipi Rhea.

Tanpa menjawab Rhea memeluk tantenya.

“Kamu ke mana saja? Orang tua kamu bingung harus mencari kamu ke mana lagi.” Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Simon.

“Tante, kenalkan. Ini teman sekolah Rhea. Selama ini Rhea tinggal di kosan Simon.”

“Simon, tante.” Mereka berjabat tangan. Ia menatap Simon seolah meneliti setiap inch tubuh Simon.

“Simon ini orang baik-baik kok, Tante. Selama ini dia yang menjaga Rhea.”

“Baguslah!” Rhea dan Simon tersenyum saling tatap.

“Rhea, kamu kenapa gak datang sidang kemarin?”

“Kalau Rhea datang, apa semuanya bisa balik kayak dulu lagi, Tante?” Tantenya hanya diam.

***

Hari ini sidang kedua perceraian orang tua Rhea. Pulang sekolah Rhea menghampiri Simon.

“Simon, kamu mau nemenin aku gak hari ini? Tanya Rhea.

“Ke mana? Ke persidangan orang tua kamu?” Rhea menggeleng.

“Ke rumah sakit.” Simon tidak bertanya lagi.

Mereka berjalan ke arah di mana mobil Simon diparkir. Sepanjang jalan, mereka hanya diam. Di depan rumah sakit, Simon menahan tangan Rhea untuk tidak turun dari mobil.

“Rhe, ada yang mau aku omongin ke kamu.”

“Kenapa, Mon?”

“Selama ini, aku.. ke kamu..”

“Aku tau, Mon. Tapi maaf, aku bener-bener gak bisa. Aku masih takut untuk berkomitmen sama seseorang sekalipun aku juga sayang sama kamu.”

“Tapi aku gak bakal nyakitin kamu, Rhe.”

“Aku tahu kamu cowok yang baik dan bertanggung jawab. Selama aku tinggal di kosan kamu, kamu sama sekali gak pernah mencuri kesempatan, Mon. Tapi justru itu, aku takut kalau aku yang bakal nyakiin kamu nanti.”

“Rhea…”

“Kita turun, yuk!” Sela Rhea.

Sepanjang koridor, Rhea menggandeng tangan Simon seolah tidak ingin melepaskannya.

“Tante!”

“Rhea, Simon. Ayo duduk!”

Simon memilih untuk duduk di sofa dan membiarkan Rhea untuk lebih leluasa menceritakan apa yang dia rasakan kepada tantenya.

“Tante, udah dua hari ini Rhea gak ngerasain sakit kepala lagi. Rhea bisa tidur dengan tenang.”

“Apa ini karena Simon?”

“Rhea gak tahu tante. Simon udah baik banget sama Rhea. Kita berdua sama-sama sadar dengan perasaan kita, tapi Rhea belum berani mengambil keputusan, tante.”

“Ya, sudah. Biar waktu yang menjawabnya nanti. Oh iya, Rhea. Kamu tadi gak datang ke persidangan orang tua kamu, ya?”

Rhea menggeleng. “Gak, Tante. Rhea gak mau.”

“Besok lusa sidang putusan perceraiannya, kamu datang kan?” Rhea diam.

“Gak tahu, Tante. Lihat besok saja.”

***

Malam ini Rhea kembali merasakan sakit di kepalanya. Semua soelah menyerangnya. Rumus-rumus, semua pelajaran, pertengkaran orang tuanya, pernyataan cinta Simon, perlakuan baik Simon, ucapan tantenya, dan ketukan palu hakim. Ia terbangun dan kepalanya semakin sakit. Ia ingin berteriak tapi keinginnanya itu terkalahkan oleh rasa sakitnya. Ia menatap Simon dengan tatapan meminta tolong, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia merogoh tasnya mencari obat yang deiberikan tantenya kemarin. Segera ia meminum 2 tablet dan mencoba menenangkan diri. Perlahan rasa sakit itu hilang dan Rhea mulai bisa tidur.

Pagi ini Rhea ragu menetukan apakah dia harus pergi atau tidak ke persidangan. Pulang sekolah, Rhea langsung ke kelas Simon.

“Mon, anterin aku yuk.”

“Ke rumah sakit?”

“Pengadilan.”

Rhea menarik Simon ke parkiran sehingga menyita perhatian teman-teman sekolahnya. Sepanjang jalan rhea terlihat gelisah. Sesekali ia memegang keningnya dan wajahnya terlihat pucat.

“Kamu gak apa-apa, Rhe?” tanya Simon khawatir.

Rhea menggeleng.

***

Suasana persidangan yang ricuh menjadi senyap ketika hakim mengetuk palu pertanda sidang akan dimulai. Tampak kedua orang tua Rhea duduk bersisian di depan hakim dan tante Rhea duduk tepat dibelakang mamanya.

Rhea semakin gelisah saat tiba di depan pengadilan negri. Ia menatap gedung itu dan simon bergantia. Simon mengangguk dan tersenyum untuk meyakinkan Rhea. Simon turun dan membukakan pintu untuk Rhea. Rhea turun dengan ragu dan menggenggam tangan Simon. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang satu-satunya sedang diapakai untuk persidangan.

Akhirnya mereka tiba di pintu ruangan itu. Genggaman Rhea melemah saat mendengar ketukan palu hakim. Pandangannya menjadi buram dan semua kembali berputar di kepala Rhea. Ia terjatuh dan kepalanya terbentur ke siku pintu. Pandangan Rhea menjadi gelap dan senyap.

***

Simon tampak sedang mendorong kursi roda di koridor rumah sakit yang biasanya ia datangi dengan Rhea. Kedua orang tua Rhea menatap kursi roda itu dengan sedih. Penyesalan tampak dari wajah mereka. Di kursi roda itu, Rhea duduk dalam diam. Tatapannya sedih dan kosong.

Dokter mendiagnosa akibat benturan dan sakit kepala yang dirasakan Rhea tiga bulan terakhir mengakibatkan ada gumpalan darah di otaknya sehingga otaknya tidak dapat berfungsi dengan baik. Ia membutuhkan terapi yang lebih intensif untuk sembuh.

Tantenya menjelaskan kepada orang tua Rhea apa yang selama ini dirasakan oleh Rhea. Rhea hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, bukan tekanan seperti yang ia rasakan selama ini.

Simon tampak mengajak Rhea berbicara di taman asri halaman rumah sakit. Kali ini hanya deru angin yang mengiringi setiap nafas Rhea yang tidak tahu sampai kapan akan bertahan seperti ini.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun