Berkumpul bersama keluarga belum lengkap tanpa adanya kue atau camilan. Sajian ini bisa tersedia dengan cara membeli atau membuat sendiri. Pilihan terakhir menjadi pilihan karena bisa dinikmati dalam jumlah banyak.
Akhir pekan, ketika sekolah libur dan pekerjaan berkurang, menjadi pilihan paling asyik untuk berkumpul. Acara ini bisa diadakan bersama teman-teman maupun keluarga. Tentu saja saat berkumpul banyak hal yang dapat dibicarakan, baik soal kegiatan di sekolah atau lingkungan pekerjaan maupun lingkungan tempat tinggal.
Nah, kalau saat ini topik yang tengah "hit" di keluarga besar saya adalah tujuhbelasan. Bulan perayaan yang akan datang itu biasanya berlangsung meriah. Di komplek perumahan akan digelar sejumlah lomba untuk anak-anak hingga dewasa. Kebetulan anak dan keponakan yang berusia remaja ikut terlibat menjadi panitia. Seru juga mendengar cerita mereka soal "susah payahnya" mengatur perlombaan untuk anak-anak.
Sebelum jauh berbincang, tentu saja saya sudah menyiapkan camilan atau jajanan. Biasanya saya menggoreng tempe atau bakwan, tetapi untuk kali ini beda. Atas nama keinginan untuk mengetes kembali kemampuan membuat bolu, maka saya membuat bolu kukus cokelat.
Terakhir kali saya membuat bolu sekitar 6 bulan lalu. Setelah itu kesibukan membuat saya tidak sempat membuatnya. Tetapi kali ini kok kangen banget makan bolu dengan teh pahit. Maka sejak pagi-pagi saya sudah sibuk menakar bahan yang akan digunakan untuk membuat bolu kukus cokelat.
Terigu, gula pasir, telur, minyak goreng, dan bubuk cokelat sudah ditakar sesuai resep. Peralatan yang akan dipakai juga sudah siap. Mikser, spatula, mangkuk aduk, loyang, sendok takar, dan dandang sudah siap.
Satu persatu bahan diolah. Telur, gula pasir, emulsifier, diaduk hingga mengental. Baru setelah itu bahan kering masuk dan diaduk dengan spatula. Terakhir masuklah minyak goreng yang bertugas membuat kue tidak seret saat ditelan.Â
Adonan yang sudah tercampur rata akan dikukus hingga matang selama 40 menit. Meski alarm sudah memberitahukan kalau kue sudah matang, saya tetap menerapkan tes tusuk untuk memastikan kue matang sempurna.
Bolu kukus cokelat yang masih hangat pun tersaji di atas piring. Diletakkan di atas meja yang berada di antara saya dan keluarga. Cerita-cerita pun mengalir. Tawa pun terdengar ketika mengetahui betapa serunya mengatur anak-anak kecil berlomba. Para remaja yang menjadi panitia harus sabar memberi pengarahan dan mencatat nama pemenang.Â
Sebagai pendengar, saya dan kakak tidak memberi perintah soal apa yang harus dilakukan menghadapi anak-anak kecil. Kami hanya memberi dukungan dan memberikan semangat agar para remaja tidak marah. Menjadi panitia tujuhbelasan membuat para remaja belajar mengatur emosi dan ego. Cerita terus mengalir hingga setengah loyang bolu kukus cokelat tandas. Bolu kukus cokelat tidak pernah gagal menghangatkan pertemuan keluarga.Â