Pagi itu, saya iseng berselancar di market place. Tidak ada niat untuk berbelanja. Hanya sekadar mengisi waktu karena hujan membuat suasana sendu.
Jari yang semula terus bergerak untuk menggeser layar, berhenti saat mata menangkap iklan dari makanan tradisional Kalimantan Selatan.
Cingkaruk. Seseorang menawarkan cingkaruk. Tawarannya masih diembel-embeli kata-kata olahan kampung atau buatan kampung.
Tanpa pikir panjang, langsung menghubungi penjual untuk membeli cingkaruk. Saya ingin tahu rasa dan teksturnya.
Dilihat dari foto yang disematkan, cingkaruk terlihat memiliki butiran halus. Beda sekali dengan dodol kandangan yang halus mulus.
Janji pun dibuat. Segera saya menuju rumah penjual yang berada sekitar 3 km dari rumah.
Tak banyak percakapan yang terjadi saat transaksi. Si penjual hanya mengatakan dodol cingkaruk ini buatan Marabahan. Karenanya teksturnya lebih halus dibanding buatan daerah lain.
Benar juga. Dodol ini terasa halus saat dikunyah. Memang ada sensasi butiran-butiran halus, namun tidak banyak.Â
Mengejutkannya, rasa manisnya tidak terlalu kuat dan berlebihan. Wow, ini yang saya suka. Manisnya pas.
Tidak terasa, saya sudah menikmari tiga potong cingkaruk. Entah karena suka, doyan, atau lapar. Namun yang pasti saat menikmari cingkaruk, ingatan saya membawa kenangan akan dodol krasikan yang pernah saya nikmati.
Apakah cingkaruk mengadaptasi dodol krasikan? Saya tak tahu. Meski dilihat dari sejarah memang ada keterkaitan antara Jawa dan Banjar di masa lalu.