Mohon tunggu...
Utari Hidayaty
Utari Hidayaty Mohon Tunggu... -

a good personal...hehehehe..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buruk Belum Tentu Buruk

28 September 2011   16:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari ini beberapa penulis di Kompasiana sangat sering membahas tentang sebuah profesi yaitu "GURU". Seseorang  yang diguguh dan ditiruh. Meskipun muatan tulisannya lebih banyak kritiknya daripada saran untuk menyelesaikan masalah. Yang juga lebih banyak membuat para guru, termasuk saya, tersinggung, marah, jengkel dan akhirnya merenungi kritik-kritik yang mulai datang dari kalangan masyarakat yang merupakan orang tua siswa maupun wali murid yang kecewa dengan lembaga pendidikan yang umunya diisi oleh para guru.

Kalau kita renungi sejenak, tidak ada pekerjaan yang benar-benar "benar" dimata kita. Suatu profesi dikatakan benar hanya oleh para pemilik profesi tersebut. Misalnya, sekarang saya mengatakan, "Saya tidak percaya dengan polisi yang sering merazia. Mereka hanya menginginkan uang para pengguna kendaraan". Dari kata-kata saya ini, kita telah mendeskreditkan profesi seorang polisi. Padahal apabila kita seorang polisi atau kita seorang anak polisi, kita pasti membantahnya entah dengan alasan apapun. Karena kita selalu melihat sebuah profesi dengan fikiran kita dan pengalaman kita. Bisa jadi pengalaman itu hanya terjadi saat itu saja atau istilahnya kita berada di tempat dan waktu yang salah.

Padahal apa yang ada dalam fikiran kita, itulah yang akan terjadi. Kalau kita sudah menganggap buruk sebuah profesi, maka buruklah dia.

Saya seorang guru. Dalam menilai seorang siswa kita harus bersifat obyektif bukan subyektif. Jangan menilai dari siapa anak itu tapi nilailah apa yang bisa dilakukan oleh anak itu. Saya terbiasa mengajar siswa jurusan Akuntansi yang dominan wanita sehingga kelas lebih gampang diatur. Pada semester berikutnya, saya diminta mengajar kewirausahaan di kelas Pertanian yang dominan laki-laki. Berdasarkan pengalaman teman, mereka mulai menginformasikan pada saya siapa-siapa saja siswa yang butuh perhatian khusus karena "keaktifan" di luar batas. keaktifan yang mengarah ke negatif. Tapi saya berusaha untuk tidak menganggap mereka melakukan itu. Dalam hati saya, saya berpegang teguh bahwa semua anak-anak kelas Pertanian tidak "nakal". Saat mengajar pertama kali, semua diam dan Alhamdulillah memperhatikan pelajaran saya. Nama-nama yang disebutkan tadi tidak terlalu membuat kelas kacau. Setidak-tidaknya saya masih bisa mengendalikannya. Sehingga cap "nakal" bagi saya bisa ditanggulangi.

Kalau kita sudah mencapnya buruk, apapun tindakannya pasti terlihat buruk dimata kita.

Kalau melihat sebuah profesi ataupun pekerjaan, jangan dilihat setengah-setengah, tapi dilihat keseluruhannya. Semua orang pasti awalnya kesel saat dikritik, meskipun seseorang yang mempunyai prinsip "senang menerima kritikan". Kritikan itu perlu, tapi yang lebih penting lagi adalah problem solvingnya. jangan hanya mengkritik kalau tidak bisa memberi saran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun