Ivan
“Varny, gak mungkin kita kayak gini terus”.
“Tapi Van, orangtua kita pasti ngerti kok. Please Van, beri aku waktu untuk meyakinkan mereka”.
“Ni, Aku ngerti, aku juga takut kehilangan kamu. Tapi gak mungkin kita hanya berhubungan seperti ini. Kamu tidak pernah bertemu denganku, begitu pula aku. Mana mungkin orangtua kita bisa menerima hal seperti ini”.
“Aku sayang kamu. Aku yakin, ini adalah hal terindah yang pernah kumiliki”, ucapmu lirih. Aku jadi tidak tega memutuskan hubungan dunia maya kita. “Kan aku sudah pernah bilang ma kamu Van, kalau kamu tidak bisa datang, aku yang datang ke tempat mu. Kita bisa bertemu. Beres kan?” kamu meyakinkanku seperti biasa.
“Varny sayang, ini bukan soal bertemu atau tidak. Orangtuamu jelas-jelas tak menerimaku, lagipula kita berdua tau, kalau kamu dijodohkan”.
“Aku bisa nolak kok”.
“Varny, kalau kamu menikah, aku yang sakit”, aku menghela nafas. Varny terdiam menunggu kelanjutan kalimatku. “Varny, aku tidak bisa melihatmu menikah dengan orang lain. Kalau kita tidak berkomunikasi lagi, mungkin ini akan membuat segalanya mudah. Kamu tidak mau kan melihatku sakit?”
Kita terdiam. Isak tangis lirih yang tertahan mulai terdengar diujung sana. Aku jadi sedih. Maafkan aku varny. Kita masih menikamati kebisuan. Hanya suara isak tangismu yang lirih terdengar. Tiba-tiba kau menghela nafas, sesuatu yang sangat ku benci, seolah-olah ada beban berat yang harus segera terlepas.
“Bye Van”. Dan klik.... telpon tertutup. Tidak sempat aku berkata-kata lagi. Semuanya berakhir.
Maafkan aku Varny. Aku mencintaimu, tapi aku menemukan gadis yang tepat di sini. Meskipun kita tidak pernah jumpa, dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal sosokmu. Dua tahun suaramu selalu menemaniku, setiap hari. Sebagaiamanapun kamu mengubah suaramu, aku pasti mengenalmu, sampai hela nafasmupun aku mengenalinya.
Kenapa aku memilih gadis itu Varny? Karena aku melihat sosokmu di dalamnya. Penampilannya (kulihat dari foto-foto yang kamu kirim), gaya bicaranya, perhatiannya, manjanya, marahnya, bagaimana dia membuatku kesal, semuanya Varny. Dia replikamu. Itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Mungkin dengan tidak berkomunikasi lagi, akan membuatnya lebih mudah. Lebih mudah aku melupakanmu. Kamu juga lebih mudah memilih sosok yang istimewa bagimu. Riyan, laki-laki yang dijodohkan denganmu, saya rasa cukup baik. Dari cerita-certiamu, sepertinya dia not bad lah. Kamu harus mencoba menjalaninya. Karena aku sangat merasa bersalah bila kamu tidak menikah. Aku tidak mau kamu terpuruk hanya mengharapkanku, cinta dunia mayamu.
Varny
Aku sudah berusaha sejauh ini untuk meyakinkan kedua orangtuaku. Tapi kenapa justru kamu ingin memutuskan hubungan? Atau kamu telah menemukan sosok penggantiku?
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Kita sudah berjalan sejauh ini. Kita sudah membuat perencanaan bila kelak kita akan menikah. Aku mengenal sosokmu di sebuah situs jejaring sosial. Kamu sosok yang unik menurutku. Setelah mengenalmu, ternyata kamu begitu perhatian padaku. Kamu mulai bercerita tentang hidupmu, tentang keluargamu. Aku mengenalmu seolah-olah pernah bertemu, padahal hanya melalui layar 12” dan ponsel kita bisa bercengkrama. Peribahasa “jauh di mata dekat di hati” sangat cocok untuk kita berdua.
Dan sekarang, kamu memutuskan ku hanya dengan alasan “ini akan membuat segalanya mudah”. Mungkin, bisa jadi. Tapi aku mencintaimu lebih dari segalanya. Karenamu, cowok di dunia ini ku kalikan nol. Termasuk orang yang ingin dijodohkan dengan ku, Riyan.
Maafkan aku Van. Aku tahu kamu tidak suka melihatku menangis, tapi untuk saat ini ijinkan aku menangis. Mungkin untuk waktu yang lama.
3 bulan kemudian . . .
Bersambung . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H