Mohon tunggu...
Utami Ilham
Utami Ilham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

ingin menjadi orang yang arif dan bijaksana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mutiara Tak Berkilau

29 Mei 2014   05:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:00 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah tua di ujung jalan itu tampak sepi, seperti tak berpenghuni. Rumah yang hanya berdinding gedek ( anyaman bambu ) terlihat rusak. Tampak pohon mangga didepan rumahnya yang rindang, daun - daunnya yang keringberjatuhan dan berserakan kesana – kemari dihembus angin semilir. Debu – debu mengotori jendela rumahnya, terlihat menebal seperti tak ada sentuhan tangan sedikitpun.

Siang itu sangat terik, sinar matahari sangat menyengat . Membuat Ratih enggan keluar dari rumah. Namun Ratih memperhatikan dari jauh tampak seorang ibu membuka pintu rumahnya. Rumah yang selalu ia perhatikan hari – hari sebelumnya. wajahnya tampak lesu. Seperti memendam kesendihan yang mendalam Dengankain jarik yang yang melilit ditubuhnya, dan rambutnya yang sudah memutih dibiarkan terurai menjuntaihingga ke pinggang. Ibu itu menyapu halamannya yang kotor akibat debu yang terbawa oleh angin.

Ratih terperanjat, dan segera menuju rumah tua itu, yang jaraknya tak jauh dari rumahnya.. Ratih mencoba menyapanya. Kemudian ibu tadi mempersilahkan duduk. Ruang tamu itu terlihat sangat sempit. Hanya ada foto gadis seusianyamenghiasi ruang tamu. Kursi – kursi yang terbuat dari anyaman rotan itu sepertinya sudah tak layak pakai. Kondisinya sudah rusak karena banyak yangberlubang atau jebol .

Ibu tadi membawakan aku secangkir teh hangat. Kemudian ia duduk didekatku. “ “ Siapa Namamu, ndok ?. “Tanya ibu dengan lirih. Belum sempat kujawab, ibu itu memandangiku dengan penuh kerinduan. Tatapannya begitu kosong. Seolah memendam kerinduan yang telah meradang . “ Ratih, bu !. Jawabnya. “ Saya adalah tetangga Ibu. Imbuh Ratih. Ibu itu kemudian meneteskan air matanya. Ratih semakin bingung tak mengerti. “ SayaIbu Jaka atau orang biasa memanggil Emak Irah.” Ibu tadi mengenalkan diri.

Maksud kedatangan saya kemari, hanya mau bertanya. “ Rumah ini selalu tampak sepi dan siapa yang tinggal disini ?. Tanya Ratih seraya melihat beberapa foto yang ada didinding. Emak Irah menjelaskan bahwa ia hanya hidup sebatang kara dirumah ini . Kemudian Mak Irah mengambil foto yang ada didinding ruang tamu. Dan Mak Irah bercerita banyak hal, tentang Foto yang dipegangnya yang tak lain adalah putrinya sendiri.

***

Suami Mak Irahbernama Jaka. Dua tahun pernikahannya ia dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik. Mereka memberinya nama “ Melati “. Suatu nama yang indah dan cantik seperti dalam bingkai fotonya. Di usia 16 Tahun,Melati tumbuh sebagai gadis cantik dan molek. Kulitnya begitu putih seputih salju. Kecantikan Melati sungguh luar biasa. Hingga banyak para lelaki yang tergoda oleh kemolekan tubuhnya. Ayah Mawar bekerja sebagai buruh pemetik teh. Namun sepulang daribekerja, dalam perjalanannya, ayah Melati mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia. Mak Irahhanya bisa berjualan pisang goreng keliling kampung. Sedangkan uang santunan itu tak cukup untuk memenuhi kehidupan mereka berdua. Akhirnya, Melati tak bisa melanjutkan sekolah ketingkat SLTA.

Kehidupan mereka berdua semakin mengenaskan. Tak cukup uang untuk makan atau membeli lauk pauk. Saat itu Melati semakin sedih melihatkondisi ibunya semakin buruk. Kemudian timbul niat dalam diri Melati untuk bekerja . Ia meminta ijin ibunya untuk bekerja ke Jakarta.. Sang ibu menolak. Ia tak ingin kehilangan anak semata wayangnya itu melenggang pergi begitu saja.. Apapun yang terjadi Mak Irah ingin bersama dengan anaknya. Namun Melati bersih keras untuk bekerja.

Suatu malam. Bulan purnama terlihat terang . Tampak bintang – bintang dilangit menghiasinya dengan indah. Sesekali mereka mengedipkan mata mereka yang berkilau bagai intan permata. Melati yang saat itu murung . ingin sekali pergi dari rumah. Sebenarnya niat Melati begitu tulus. Ia ingin membahagiakan ibunya. Dengan uang, Melati bisa membelikan ibunya apa saja yang ia mau. Dengan uang, Melati bisa membangun rumah berdinding bata dan berlantai porselen. Harapan Melati begitu tinggi. Bayangannya begitu jauh. Melati beranjak ditempat tidurnya. Ia mengemasi pakaiannya ke dalam tas. Dan mengendap – endap perlahan – lahan. Dibukanya kelambu kamar ibunya. TerlihatIbunya tertidur pulas. Melati hanya meninggalkan sebuah pesan. “ Maafkan Melati Bu, Melati hanya ingin membahagiakan Ibu “.Sebaris kalimat, yang membuat mataibu berlinangan air mata.

Sesampai di Kota Jakarta. Berbekal ijasah SLTP. Melati bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di suatu malam. Sang majikan tergoda oleh kemolekan tubuh Melati yang indah. Melati disiksa. Diseret . Tubuhnya ditendang. Hingga nafsu sang majikannya memuncak.. Ia menindihnya. Melampiaskan nafsu bejatnya. Melati hanya bisa berontak. Namun tubuhnya terlalu lemah. Kegadisannya telah terengut. Kesucian yang ia pertahankan telah hilang. Melati telah ternoda.

Ia pergi meninggalkan rumah majikannya. Berharap mendapatkan perkerjaan yang lebih layak. Namun seseorang telah menyeretnya kembali pada dunia malam. Dunia yang tak pernah ia sentuh. Seorang mucikari telah menipunya. Hati Melati semakin menjerit.Tubuhnya semakin tercabik – cabik oleh nafsu bejat para hidung belang. Para buaya – buaya darat yang kelaparan yang mencari mangsanya. Suatu malam seorang laki – laki datang memaksanya, menindihnya, lalu ia berusaha melawan sekuat tenaga. Melati tak bisa berbuat apa – apa . Setelah selesai datang lagi satu persatu hingga seterusnya.. Semakin hari semakin banyak para hidung belang yang menikmati tubuhnya. Setiap hari, Melati harus melayani 7 hingga 8 orang para hidung belang . Satu demi satu mereka semua menikmati tubuh Melati. Dan setiap kali mereka selesai melepaskan hasratnya. Mereka melemparkan uang ke muka Melati atau menyelipkannya ke dalam Bra Melati.

Tak ada perlindungan bagi Melati. Ia hanya bisa pasrah. Tubuhnya seolah terantai oleh bajayang tak bisa dipatahkan. Para bodyguard itu menjaganya. Siang dan malam. Tak ada lubangjalan untuk bernafas. Kebebasan Melati telah tergadai.Jalan Melati sungguh gelap. Hingga ia tak bisa melihat. Dan tersandung di ujung jalan. Setiap kali Melati ingin melarikan diri. Namun sering kali mengalami kegagalan. Kepala Melati dibenturkan didinding, dipukuli, ditendang hingga memuntahkan darah. Dan bila para bodyguard itu tak puas mereka masih menyiksanya dan menedanginya dengan sepatu lars yang kuat.

***

Isak tangis Mak Irah terdengar agak keras, sehingga Ratihpun ikut larut dalam suasana haru itu. “ Mereka semua adalah binatang. “Andaikan aku punya banyak uang akan ku tebus anakku. “ Teriak Mak Irah . “ Mereka semua biadap, akan kubunuh mereka semua.” Mak Irah semakinmarah dan tidak bisa mengontrol diri. “ Tenanglah Mak Irah, nanti Mak Irah malah tambah sakit. Ucap Ratih sembari berusaha menenangkan Mak Irah. Mak Irah tertunduk lesu. Tangisannya semakin mereda. Berkali – kali Mak Irah mengusap air matanya dengan selembar kain lusuh.

Mentari kelak akan tenggelam. Mencari sinarnya dalam hatimu. Kegelapan berubah menjadi terang. Bagai rotasi bumi dalam mengitari matahari. Meski sinar itu enggan menerangi. Namun waktu tak pernah mengingkari.

Dalam keheningan malam. Terbangun dari mimpi – mimpi. Dari Surau yang jauh , terdengar suara orang melantunkan ayat – ayat Tuhan. Membuat bulu – bulu ini semakin merinding. Seakan masa itu semakin mendekati.Jauh dari pelupuk mata. Menyiratkan kegetiran. Senandung doa- doa dilantunkan. Untaian kata mutiara diucapkan. Dengan segenapkan kesucian jiwa. Sujud dan tunduk kepada yang maha kuasa. Satu demi satu air mata jatuh berlinang. Memohon segala pengampunan.

Benci dan dendam dalam dada terurai bercampur penyesalan. Tak ada lagi penyesalanatau keputus asaanMak Irah mencoba untuk bangkit. Berdiri diatas kobaran api semangat jiwa. Tak usah kau risaukan. Semua sudah ditentukan. Garis finis kehidupan sudah tercatat disana. “Dimanapun kau berada, ibu memaafkanmu Nak ! sebaris Doa Mak Irah kepada anaknya.

***

Sore itu hujan mengguyur rumahnya. Membuat gelinangan air dimana – mana.Mak Irah tampak duduk bersantai diteras depan rumah. Hatinya seakan tenang tak ada yang ia rasakan. Meski wajahnya masih menyiratkan kesedihan. Hatinya masih mengharapkan kedatangan anaknya.

Ditunggunya siang dan malam. Setiap hari, selepas adzan menggema. Ditundukkannya tubuh tua itu . menengadahkan tangan . Seiring doa ia panjatkan Dan berharap mujizat itu ada. Segudang harapan . Sebesar keinginan jiwa.

Mak Irah tetap hidup dalam kesendirian hingga ajal menjemputnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun