Mohon tunggu...
Utami Ilham
Utami Ilham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

ingin menjadi orang yang arif dan bijaksana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kejahatan Pemilu

26 April 2014   20:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sesuai dengan Tahapan KPU untuk Pemilu Legislative 2014. tanggal 19 – 21April adalah Tahapan Rekapitulasi di tingkat KPU Kabupaten. Tiga malam telah kuselesaikan tugas saya sebagai Sekretariat KPU Kabupaten , untuk membantu persiapan rekapitulasi di tingkat Kabupaten. Sebelumnya, seminggu lebih saya dan Sekretariat KPU Kabupaten lainnya serta tenaga outsourching melakukan Pemindaian (scaning) Model C dan Lampirannya,sebagaimana tujuan dari KPU RI agar data tidak berubah mulai dari TPS hingga ke KPU RIdan sekaligus untuk proses transparansi data terhadap publik.

Sebagai Sekretariat KPU Kabupaten, memang saya menyadari bahwa tidak mudahdan gampang untuk memberikan kesadaran politik terhadap masyarakat ,bagi masyarakat yang telah mengalami apatisme terhadap proses pemiludengan berbagai alasannya baik ideologi,tokoh pemimpin,hasil pemilu, atau karena ketidak tahuan masyarakat. Saya bisa memahami dan memaklumialasan-alasan tersebut.Saya mencoba menggali informasi perihal tersebut yang menurut saya sangat penting. Penting karena, Pemilih (rakyat) merupakan instrumen Pemilu. Dan, penting karena pemilih (rakyat) yang mewujudkan demokrasi yaitu kedaulatan ada ditangan rakyat dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sebanyak 30 responden dari masyarakat ( daerah saya tinggal ) secara acak kuberi pertanyaan, “ kenapa orang bisa apatis terhadap Pemilu ?. Dari sekian Responden sebagai Informan, hasil yang didapat adalah 25 orang, menjawab karena tokoh pemimpin yangdidambakan atau yang dipilih tidak bisa memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupannya pasca terpilihnya.

“Ya, dari dulu sampai sekarang kami disuruh ikut pemilu untuk memilih pemimpin, tapi ketika sudah terpilih, kamisudah nggak dianggap lagi.Disisi lain tidak ada perubahan bagi kehidupan kami, dari dulu kami sudah miskin,sekarangmalah tambah miskin. Bagaimana tidak, la wong sekarang harga sembakonaik semua, BBM juga naik. “ kata salah satu responden dengan logat bahasa madura. ( sudah ditranslate )

Selanjutnya 5 (lima) Responden menjawab proses pemilu yangdianggap tidak jurdil. Berikut salah satu penuturan dari Responden, “ Banyak sekali, kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara baik di PPK, PPS dan KPPS, jadi percuma nyoblos kalau suara kami di curangi”. Proses Pemilu yang tidak jurdil bisa membuat rakyat geram. Dan inilah, bagian dari kejahatan pemilu.

Kejahatan Pemilu sebagaimana telah ditulis oleh Saldi Isra Jum`at lalu (25/4) di Media Kompas, salah satunya adalah Proses Kampanye yang disinyalirawal dari kejahatan Pemilu sebelum tahapan pemungutan suara berlangsung.

Menurut Rogers dan story(1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptalan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”

Kampanye yang sebetulnya merupakan bentuk tindakan komunikasi yang bertujuan mengubah pola pikir, prilaku termasuk di dalamnya adalah membangun kesadaran politik , tak pelak sekarang ini kampanye hanya dijadikan alat sebagai mendongkrak suara dengan berbagai cara yang didalamnya terdapat sejumlah kejahatan terutama tindakan bully yang dilakukan oleh sejumlah oknum atautimses kepada calon pemilih (masyarakat) agar bisa meraup suara sebesar-besarnya. Salah satu contoh tindakan Bully yang telah dilakukan dimasyarakat petani (daerah saya tinggal) seperti tidak diberi air untuk mengairi sawah, karena petugas ulu – ulu (pembagi air sawah) merupakan timses salah satu calon peserta pemilu. Ada lagi tindakan bully, yang mengatasnamakan sosok kyai, seorang kyai mengancam tidak akan memberikan pelajaran mengaji di musolla apabila dia ( masyarakat setempat ) tidak memilih calon yang digadang-gadang.

Kejahatan Pemilu pada saat kampanye, membentuk stigmatisasi bagi masyarakat, bahwa pemilu sekarang tak lebih dari ajang kompetisi para calon untuk mendapatkan kursi empuk yang bernilai mahal.

Vote buying, praktik membeli suara, adalah salah satu jenis kecurangan yang sering disebut dalam kejahatan pemilu. Calon berupaya mempengaruhi pemilih dengan segala macam cara, yang paling sering adalah dengan memberikan sejumlah uang, sehingga terjadi apa yang sering disebut dengan istilah politik uang (money politics). Di Indonesia, Money politic dipraktekkan hampir semua parpol dan kandidat. Rasanya hampir tidak ada parpol yang tidak melakukan praktik money politics. Walapun UU Pemilu telah melarang dan mengancam pelakunya, praktik seperti ini bertambah subur, terlebih bila hari pemungutan suara (polling day) tinggal hitungan jari.

Yang lebih miris lagi. Initerdapat di salah satu Kabupaten , hampir tidak ada kampaye terbuka. Hal ini dikarenakan sekarang ini sudah tidak musim lagi kampanye terbuka. Kampanye terbuka dianggapkampanye yang tidak efektifdan efisien, boros dan tidak tepat sasaran.

“ Kampanye yang paling tepat adalah menggunakan uang per kepala ( per orang )”. Kata salah satu timses parpol.

Menurutnya , “ Money politic merupakan bentuk kampanye yang paling pas, karena lebih tepat sasaran dan tinggal hitung uang per orang , beres.

Jadi, kampanye yang seharusnya menjadi media komunikasi bagi calon peserta pemilu kepada pemilih untuk membangun kesadaran politik, malah berubah menjadi mesin politik pendongkrak suara bagi kalangan elit politiktanpa melihat makna dan hakikat dari kampanye itu sendiri.

Selanjutnya , bentuk kejahatan lain adalah bagaimana para peserta pemilu bermanuver mempengaruhipara penyelenggara pemilu ( PPK, PPS dan KPPS ) untuk bisa menggelembungkan suara, atau dengan cara memindahkan suara parpol ke suara calon peserta pemilu sesuaidengan pesanan. Pasalnya, banyak para calon pemimpin yang berani mengambil resiko dengan bermanuver menawarkan sejumlah uang mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah kepada PPK, PPS dan KPPS untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin dengan cara melakukan kecurangan pada saat rekapitulasi penghitungan suara. Seperti, kejadian baru-baru ini, di Kabupaten Pasuruan oleh salah satu Calegdengan membayar sejumlahuang kepada 13 PPK, merupakan salah satu contoh bentuk kejahatan Pemilu.Ada salah satu calon anggota DPD yang sempat mengaku , kalau dia didatangi oleh PPK dirumahnya untuk bernegoisasi jual beli suara , namun dia tidak mau karena ingin bersih dalam pesta demokrasi pemilu. Namun, dia akhirnya gagal karena tidakmenggunakan money politic. Pesta Demokrasi yang di anggap sebagai pesta yang sakral bagi rakyat Indonesia, tercoreng oleh ulah para petugas penyelenggara PPK, PPS dan KPPSyang tidak bertanggung jawab denganmembuka lapak dagang jual beli suara sebelum pemungutan suara berlangsung. Pesta Demokrasi bakacara BAZARbagi para pelaku kejahatan pemilu. Dimana mereka bisa meraup sejumlah uang yangsangatbesar dalam waktu singkat bagi para petugas PPK, PPS dan KPPS yang melakukan kejahatan dan bagi peserta pemilu yang melakukan kejahatan bisa mendapatkan suara sesuai yang diinginkannya.

Hakikat Demokrasi di Indonesia sudah tidak sempurna. Kedaulatan ditangan rakyat tergantikan dengan Kedaulatan ditangan uang yang berkuasa (sang calon). Pemilihseharusnya menjadiInstrumen pemilu,kinimenjadi budak para sang calon untuk mendapat kursi empuk yang sudah dibeli dengan harga sangat mahal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun