Merebaknya isu kebangkitan komunis mengingatkan saya kepada sosok Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Dia adalah sosok penting dibalik operasi penumpasan pemberontakan PKI 1965.
Konon, salah satu alasan Sarwo menerima tugas itu karena salah satu korban Gerakan 30 September 1965 adalah Jenderal Ahmad Yani, atasan sekaligus sejawatnya di Angkatan Darat. Karenanya, Sarwo menerima tugas itu dengan tegap dan siap. Ketika itu Sarwo menjabat sebagai Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Salah dua pengalaman menarik Sarwo dalam menumpas PKI di Jawa Tengah terekam dengan baik dalam Buku Perjalanan Seorang Wartawan Perang. Ada beberapa kejadian penting yang dicatat oleh wartawan senior Hendro Subroto dalam buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan itu.
Negosiasi Menghadapi Pemogokan Buruh
Pada tahun 1965, Solo merupakan kota yang menjadi basis PKI. Karenanya, kota ini menjadi salah satu sasaran RPKAD ketika melakukan pergerakan ke Jawa Tengah.
Alkisah, kedatangan Sarwo dan pasukannya itu disambut dengan pemogokan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Stasiun Solo Balapan. Pemogokan ini tidak anarkis, tetapi akibatnya kereta dari Yogyakarta, Semarang, Madiun dan tujuan lain tertahan di Solo.
Maklum kalau pemogokan ini mengganggu kepentingan publik, Sarwo pun mendatangi massa buruh yang sedang duduk-duduk di pinggir rel. Alih-alih bersikap keras, Sarwo mengajak massa buruh untuk berdialog.
“Siapa yang mau mogok, berkumpul di sebelah kiri saya,” lantang Sarwo yang berkaca mata hitam.
Hening. Tak ada seorang buruh pun yang bergerak.
“Siapa yang tidak mau mogok supaya berkumpul di sebelah kanan saya. Saya beri waktu lima menit!” teriak Sarwo lagi.
Sontak, massa buruh berbondong-bondong berkumpul di sebelah kanan Sarwo. Tak seorang buruh pun yang tegak sisi kiri Sarwo.