Mohon tunggu...
Utami Putri
Utami Putri Mohon Tunggu... Wiraswasta - To be a writer, Insyaaaallah.

menyukai mendengarkan, mengamati dan tentunya.. belajar menulis..:)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Fragmen Kedua: Tentang Perjumpaan (2)

24 Mei 2011   23:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kalian sudah saling kenal?”

Rangga bertanya saat istrinya, Lastri dan sahabatnya, Hanung, ternyata telah saling mengetahui namanya masing-masing.

“Ehm,,, Rangga. Kita teman satu kelas di SMA dulu..” Hanung menjawab dengan singkat.

“Kau beruntung memiliki istri seperti Lastri. Dia primadona di sekolah kami..” lanjut Hanung sambil tertawa dan sedikit menggoda Rangga.

Rangga tersenyum lebar mendengar perkataan Hanung. Sedangkan, di sampingnya, Lastri hanya tersenyum simpul. Tak mampu menyembunyikan rasa malunya atas pujian yang dilontarkan Hanung.

“Hanung... kapan kau akan kembali ke pulau Lombok?..” tanya Rangga.

“Rencanaku,, akan pulang setelah hari ke-5 berada di sini.. pun, aku akan bertemu dengan beberapa rekan bisnisku dan juga mengunjungi adik ayahku di Setiabudi.. aku akan tinggal bersamanya selama berada di Bandung..” jawab Hanung.

“Jika kau mau, kapan-kapan kau bisa menginap di rumahku ini...” ajak Rangga.

“Terima kasih, Rangga,, akan aku pertimbangkan tawaranmu itu...” sahut Hanung. Sejurus kemudian, pandangan matanya kembali melirik Lastri yang berada di sisi Rangga. Sangat dekat.

**

Hanung semakin matang dan berwibawa, begitu kesimpulan Lastri. Sangat menegaskan kharismanya, sebagai pemimpin sekaligus pemilik sebuah hotel cukup mewah yang dibangunnya di sekitar kawasan pantai Lombok.

Sejak perjumpaannya dengan Hanung dua hari yang lalu, memulihkan kembali ingatan Lastri pada masa SMA dulu.

“Hanung.. kau akan berangkat kuliah ke luar negeri?”

“Impian terbesarku adalah dapat menginjakkan kaki ini di Inggris. Ku ingin mengenal lebih jauh negara tempat Shakespeare menuangkan ide cemerlangnya. Walaupun, aku tidak akan mengambil sastra di sana. Tapi bisnis dan manajemen, sesuai harapan papa..”

“Lalu, engkau akan meninggalkanku begitu saja disini?”..

“Hubungan ini dapat selalu terjalin walau kita terpisah jauh, bukan?”

Lastri terdiam. Dia berusaha menahan bulir air matanya jatuh terjerembab di kulit pipinya yang halus.

“Apa.. apa kau tidak khawatir jika tiba-tiba kekasihmu ini dipikat oleh pria lain..?“

“Ah,.. jalan di depan masih membentang lebar.. usia kita masih muda.. tidakkah kau ingin meraih semua impianmu??.. aku yakin kau bisa bersikap dewasa menerima pilihanku ini.. dan.. sejujurnya, aku ingin kau selalu ada... menungguku..”

“Hanung,,, keyakinanku terhadapmu bisa saja goyah.. aku tak ingin merasakan sakitnya menahan kecemburuan dan kerinduan pada lelaki seperti dirimu... kau tahu itu..”

“Aku bisa merasakannya,, tapi pahamilah,, aku telah merencanakan segalanya secara matang sedari dulu... janganlah kau menuruti perasaanmu.. ku ingin kau selalu menungguku.. berjanjilah..”

“Aku tidak bisa, Hanung.. Hubungan ini terlalu riskan.. Kita akhiri saja sampai disini.. dan tolong jangan kau hubungi aku lagi..”

Itu semua adalah penggalan kisah masa lalunya. Tak pernah terjadi kontak, semenjak Lastri memutuskan hubungannya dengan Hanung. Di awal kepergian Hanung, memang agak membuat Lastri depresi. Namun berangsur sembuh, sejalan dengan kesibukannya dalam aktivitas perkuliahan dan pertemuannya dengan banyak teman baru di kampus. Termasuk, Roy.

Memori Lastri masih menyimpan dengan jelas, bingkisan romantis yang senantiasa Hanung berikan kepadanya dahulu, semasa mereka masih berhubungan. Tak terhitung banyaknya buku, coklat dan bunga Anggrek yang pernah Hanung berikan kepadanya. Hal yang amat Lastri senangi. Pula, Hanung seringkali bersikap jahil dan konyol terhadapnya. Humoris. Pernah suatu kali, Lastri dibuat pingsan saat Hanung meletakkan kepiting merah tak bernyawa, yang amat ia takuti, di dalam tas sekolahnya. Saat mengingat semua masa lalunya itu, tawa Lastri berderai dengan sendirinya.

**

Di bangku bebatuan yang terletak di taman asri belakang rumahnya, Lastri membaca sebuah majalah wanita selepas menyelesaikan makan siangnya. Semilir angin, kolam jernih berisi ikan hias, dan pelbagai rupa anggrek yang berwarna-warni menemani waktu senggangnya. Menyegarkan. Sedikit mengalihkan konsentrasinya yang belakangan tercampur aduk akibat sapaan balik Roy yang tak kunjung menyambanginya.

Pandangan Lastri tengah menyorot sebuah kolom rubrik berisi kisah klasik tentang seorang istri kesepian yang mencoba berlari mencari keramaian di dalam pelukan mantan kekasihnya yang telah menikah pula. Lastri agak bergidik. Apa ia bersalah?, batin Lastri tiba-tiba mempertanyakan karena dia pun merasa telah melakukan hal yang hampir sama. Tenang.. tak apa..Lastri berusaha menghibur diri dengan membenarkan segala perbuatannya. Entah itu jawaban benar dari suara hati terdalamnya atau ulah nafsu kelirunya semata. Pikiran Lastri buram. Dia tak ingin ambil pusing.

Lastri lalu terkejut ketika telepon genggam Lastri, yang tergeletak di meja taman, bergetar dan berbunyi cukup keras. Layarnya menampilkan nomor kontak yang tak pernah Lastri ketahui sebelumnya. Roy??. Lastri kembali teringat, sesaat sebelum kedatangan Hanung tiga hari yang lalu, dia telah mengirim pesan pada Roy, melaluiemail, yang berisi nomor kontak barunya. Agar memudahkan Roy untuk dapat menghubunginya sesegera mungkin.

“Halo.. “ sapa Lastri terlebih dahulu.

“Lastri... “jawab suara berat pria di seberang sana. Agak samar. Lastri cukup sulit menerka orang yang memiliki suara itu.

“Roy..??”

“Apa kau benar-benar melupakanku??..”

“Roy,, kau kah itu?”

”Aku Hanung...”

Lastri terkejut. Hampir saja, telepon yang digenggamnya terjatuh ke lantai alam yang hijau dengan rerumputan segar.

“Ha.. Hanung... maaf,,, kukira dari teman lamaku.. darimana kau dapatkan nomorku?“

“Aku memperolehnya dari Rangga, suamimu..”

“Benarkah??..”

“Ah,, Lastri... kami adalah sahabat sekaligus saudara terdekat sejak dulu.. tak pernah ada prasangka buruk di antara kami.. lagipula, kau teman satu kelasku dulu,,, tentu saja, Rangga sama sekali tak keberatan memberikan nomormu padaku.. Apakah sebaliknya, kau keberatan?..”

“tidak.. Hanung,, umm,, sama sekali tidak.. aku tidak keberatan... aku hanya sedikit terkejut.. ternyata hubunganmu dengan Rangga sangat dekat sekali... sama sekali tak kusangka sebelumnya..”

“Ah, Diendra... maaf,, Lastri... Apa aku salah jika menghubungimu??.. hanya sekedar menanyakan kabarmu setelah perjumpaan kita beberapa hari yang lalu,,, ”

Lastri terkesima. Ternyata, Hanung masih mengingat nama kesayangannya dulu, dibuat oleh Lastri sendiri. Diendra, asal kata dari Dendrobium, anggrek favorit Lastri.

“Hanung.. jika kau hanya ingin mengetahui kabarku, kau bisa menanyakan langsung pada Rangga..”

“Diendra... maaf.. kau tidak keberatan jika aku memanggilmu dengan nama itu bukan?.. sejujurnya, aku lebih senang menanyakan langsung kepadamu.. suaramu lebih indah ketimbang suara Rangga..” canda Hanung sembari tertawa.

Gugup. Rasa itu menyerang Lastri tiba-tiba. Tawa renyah Hanung membuat suasana berbeda di taman belakang rumahnya. Sangat kentara sejuknya. Cukup aneh. Lastri berupaya menguasai diri.

“hmm,, kau boleh memanggilku dengan sebutan apapun, Hanung... Kabarku baik-baik saja..”

“Baiklah, Diendra.. aku akan tetap menggunakan kata itu.. semenjak aku kehilangan kontak denganmu,, aku tak pernah berubah.. maksudku... kau tak pernah berubah, walau sudah menyandang status Nyonya Rangga... tetap cantik seperti anggrek-anggrekmu itu... ehm.. apakah kau tidak lupa untuk menyiram anggrekmu itu? kau akan menangis dibuatnya jika anak-anakmu itu layu...” goda Hanung kembali menampilkan sisi humorisnya..

Rona wajah Lastri dibuat memerah oleh ucapan Hanung.

“usah kau tunjukkan wajah merah kepitingmu, Diend....” lanjut Hanung.

Lastri menahan tawanya. Baru kali ini, dia menemukan kembali perbincangan yang cukup menggelikan. Pikirannya kembali menembus jarum jam yang berputar mundur.

“Kau selalu begitu, Hanung.. tidak berubah..”

“Maafkan aku, Diendra.. tak ada maksudku untuk merayumu..”

“Ya.. aku masih tetap menjadi seorang primadona, Hanung.. kau tak akan pernah menyangkalnya..” Lastri tak kalah ingin membalas candaan Hanung.

Hanung terdiam sementara di seberang sana.

“Benar.. kau tidak salah, Diend.. aku selalu mengakuinya..”

Lastri merasakan Hanung tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, tiba-tiba Hanung berusaha mengalihkan semuanya.

“Diend,,, sebenarnya, aku ingin memberitahumu.. Rangga mengajakku untuk menginap di rumah kalian, besok. Sehari sebelum aku bertolak kembali ke Lombok.. apa kau ingin aku menolak undangan Rangga itu untukmu?”

Lastri terkesiap dan berpikir sejenak.

“Hmm,, kau boleh menyambut ajakan Rangga jika kau ingin,, Aku sama sekali tidak keberatan..”

“Baik.. aku akan tiba di rumahmu besok sore.. maukah aku membawakanmu bunga Anggrek Dendrobium kesayanganmu??..”

Sejenak, kuntum bunga hati Lastri menjadi mekar setelah menjadi layu belakangan ini. Cukup haru Lastri dibuatnya. Seorang pria seperti Hanung, tahu benar bagaimana cara memperlakukan seorang wanita sepertinya. Sedikit perhatian berlebih terhadap hal yang ia sukai. Sangat jauh lebih besar dari sebuah kata cukup, untuk membuatnya merasa dihargai. Pikiran Lastri pun segera melayang pada Rangga. Dia amat menyayangkan sikap suaminya yang tak pernah tertarik dan bertanya tentang koleksi anggrek miliknya. Bunga yang amat Lastri sayangi.

“dengan senang hati, jika tidak merepotkanmu..” jawab Lastri dengan senyum tersungging.

**

Suasana hening dan kaku menyergap ruang tamu yang tengah didiami oleh Hanung dan Lastri. Mereka duduk terpisah. Lastri berdiam di sofa kulit yang menghadap ke arah pintu depan rumahnya sembari sesekali memainkan telepon genggamnya. Sementara, di sofa kulit lainnya yang menghadap ke ruang keluarga, Hanung tak berkedip memandang tingkah Lastri. Rangga baru saja pergi meninggalkan mereka beberapa menit yang lalu, setelah anak buahnya menginformasikan kabar tak sedap mengenai masalah yang muncul di perusahaannya secara tiba-tiba. Rangga harus segera menyelesaikannya saat itu juga. Rangga agak sedikit menyesal karena tak bisa menemani Hanung, yang baru saja tiba di rumahnya. Namun, Rangga berjanji akan segera kembali setelah urusan kantornya selesai. Dia meminta Lastri untuk menemani Hanung.

Mobil Rangga telah melaju kencang. Rupa murung Lastri setelah kepergian Rangga, mampu Hanung tatap dengan jelas di kejauhan jarak sofa yang memisahkan mereka. Hanung mencoba mencairkan suasana dan membuka suara.

“Lastri.. semestinya kau berkenalan dulu dengan anggrek yang baru aku bawa tadi..”

Lastri tertawa kecil dengan lelucon ringan Hanung tanpa memandangnya.

Sepi kembali tertata. Hanung sedikit berpikir keras. Sebetulnya dia berniat untuk bercakap banyak dengan Lastri, sejak masih berada di rumah pamannya tadi. Hanung bimbang dan agak takut dengan kalimat yang akan dilontarkannya pada Lastri. Akan tetapi, niatnya sudah bulat. Akhirnya, kepingan-kepingan keberanian itu mulai Hanung kumpulkan jadi satu. Di saat yang cukup tepat, Hanung kembali membuka suara.

“Diend,, kau bahagia dengan pernikahanmu?”

Pandangan Lastri yang sedari tadi tak jelas mengarah kemana, akhirnya berpaling dan terfokus pada wajah Hanung yang tampak sedikit merasa bersalah. Lastri agak terkejut dengan pertanyaan Hanung.

“Tentu saja, Hanung.. Aku bahagia..” Lastri berusaha menutupi. Seakan tidak terjadi apa-apa.

“Kau berbohong.. Aku tahu.. Rangga sering berada di dalam kantornya hingga larut..”

“Hanung.. kau salah menilai..”

“Diend.. jangan mengelak.. aku tahu persis semua tentangmu... betapa hausnya kau, akan sebuah kasih sayang.. kau takkan pernah mampu bertahan jika harus diduakan dengan keadaan.. seperti.. seperti.. yang terjadi saat terakhir kali kita bertemu..” sanggah Rangga. Tajam.

Dada Lastri mendadak sesak. Kaca air buram mulai menutupi bola mata Lastri. Lidah Lastri kelu. Hanung, sifatmu masih sama seperti dulu, sangat perhatian,, ucap Lastri dalam hati.

Hanung menghirup napas dalam-dalam dan kembali mengeluarkan suaranya. Agak berat.

“Diend.. aku ingin berterus terang kepadamu..”

Sunyi. Lastri tetap bungkam. Hanung melanjutkan kalimatnya.

“Dahulu, kau tak pernah menanyakan persetujuanku untuk mengakhiri hubungan kita.. kau tahu, Diend?, aku masih mengharapkanmu.. aku berusaha mencari informasi keberadaanmu setelah pulang dari Inggris.. hingga ternyata aku baru mengetahui jika kau telah dimiliki oleh Rangga, suamimu sekaligus sahabatku...”

Lastri kaget dengan pengakuan yang dilontarkan Hanung.

“Hanung... me..mengapa kau berkata seperti itu,,?” tanya Lastri terbata-bata.

“Diend... hingga saat ini, rasa dalam dadaku ini kepadamu, tak pernah berubah.. tetap sama.. kau harus tahu,, kau telah berhasil membuat pikiranku selalu terganggu selama berada di Inggris..” Hanung tersenyum getir.

Lastri agak terkejut dibuatnya.

“Ah, Hanung.. aku.. aku memutuskannya karena.. karena aku tidak meyakini bahwa sepenggal kata kesetiaan dapat mengiringi setiap inci jarak di antara kita..” terang Lastri. Gugup.

“Dan ternyata... kesetiaan itu masih aku jaga baik-baik...” simpul Hanung. Lembut dan menusuk.

Jantung Lastri berpacu lebih kencang. Dadanya semakin sesak. Entah mengapa, tiba-tiba Lastri mulai didera dengan rasa kasihan yang teramat sangat, atas nasib dirinya, Rangga, dan juga Hanung.

“ah,, sudahlah,,” lanjut Hanung dengan nada sesal.

Sepi. Lastri kembali bungkam serupa patung yang terpahat kesedihan. Sejurus kemudian, Hanung mendatangi sofa Lastri. Dia duduk di samping Lastri dan memandang lekat bola mata Lastri, yang ternyata sudah semakin tergenang oleh air bening.

“Karena Rangga... kau pasti sedang sakit sekarang ini, Diend.. Aku tahu persis..“ ucap Hanung sambil mengusap sebulir air bening yang mulai jatuh di pipi Lastri.

Wajah Lastri semakin memerah. Perlahan, tangisnya mulai pecah. Aliran deras sungai bening hangat telah terbentuk di sepanjang tanah pipinya.

“Ah, Diendra.. kau memang selalu membutuhkan naungan mentari hangat.. serupa anggrek-anggrekmu itu..” bisik Hanung dengan lembut dan penuh rasa iba.

Tangan kanan Hanung menarik pundak Lastri ke dalam pelukannya, sementara tangan lainnya ia lingkarkan ke pinggang Lastri. Hanung memeluk Lastri. Sangat erat dan hangat. Untuk pertama kalinya, Lastri merasakan semua beban yang dipikulnya terjatuh hingga membuat dadanya ringan. Sungguh nyaman.

**

Cukup lama, Lastri menangis dalam pelukan Hanung. Namun, tiba-tiba Lastri dikejutkan oleh bunyi pesan yang masuk di telepon genggamnya. Perlahan, Lastri mencoba melepaskan diri dari Hanung sembari menyeka air mata di pipinya.

Dia mulai menekan beberapa tombol di telepon genggamnya. Sejurus kemudian, wajahnya dibalut oleh ekspresi yang tercampur aduk.

Lastri.. Akhirnya, aku bisa menghubungimu kembali.. -Roy

================================================

Kolaborasi dengan Empuss Miaww..

Sebelumnya:

Fragmen Pertama : Tentang Diriku

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun