Kayaknya ada sentimen tak terbantahkan antara MUI dengan film horornya Indonesia. Setelah film Suster Keramas *yang trailernya aja bikin saya pengen nyembur menyan karena yakin produsernya lagi kerasukan waktu bikin film itu*, sekarang film Hantu Puncak Datang Bulan lagi yang diboikot MUI. Saya sempet kebaca di koran, katanya LSF udah bener-bener galak waktu membabat film itu. Yeee, cuma galak doang. Sekalian aja dong ga usah dilolosin.
Film horor Indonesia itu misterius. Karena tidak pernah jelas alasan kenapa ada yang mau membuat film dengan isi cerita yang sepertinya dicomot dari tabloid misteri atau semacamnya. Kenapa ada artis yang mau main di film semacam itu juga adalah rahasia dunia yang tidak memiliki jawaban pasti. And on top of that, beberapa dari film itu ada yang mampu mencapai jumlah penonton yang relatif spektakuler. Geez... Artinya misteri terbesarnya adalah, kok banyak yang mau nonton??
Film horor kayak gini, yang paling menyeramkan malah sebenernya bukan hantu yang muncul dan bertebaran di film itu. Bagi saya, yang lebih menyeramkan adalah kualitas dari film itu sendiri. Ga usah jauh-jauh deh... apa sih yang bisa diharapkan dari film dengan judul "Hantu Puncak Datang Bulan"? Atau "Hantu Jamu Gendong"? Bahkan pemilihan judulnya saja sudah menimbulkan kengerian.
Alur cerita? Ga usah dibahas. Karena ga bisa dibahas. Memangnya ada alur ceritanya?
Di dunia perfilman Indonesia, seringkali film horor cuma merupakan metafor dari film panas. Karena para pemainnya, terutama para wanita, sepertinya selalu merasa kepanasan sampai harus selalu menggunakan busana yang jauh lebih cocok dipakai saat berlibur di pantai. Dan busana semacam inilah yang mereka pakai dalam adegan-adegan menyelidiki kuburan tua atau rumah berhantu di malam hari.
Kalau ditinjau dari genrenya nih, horor nih ya... seharusnya kan yang namanya film horor itu menimbulkan ketakutan bagi yang menonton. The weird thing is, walaupun frekuensi penampakan para hantu di film horor Indonesia seringnya berlipat-lipat kali dibandingkan frekuensi kemunculan hantu di film hantu Jepang, ketakutan yang diharapkan muncul itu ya ga nongol. Padahal lho, make up para hantunya udah lebay jaya. Tapi bukannya takut, kemunculan para hantu itu justru membuat penonton *well, at least penonton semacam saya* cuma mengernyitkan alis dan ingin menawarkan kain pel untuk membersihkan ceceran darah yang lebih mirip saos untuk makan bakso itu.
Ketakutan itu tidak muncul, karena suasana yang membuat takut itu tidak terbangun. Semenjak awal cerita, seringkali penonton sudah disuguhi dengan para tokoh yang tidak jelas karakternya, dan tiba-tiba saja para tokoh tersebut sudah terjebak dalam situasi yang tidak logis. Saat penonton sedang jungkir balik berusaha memahami siapa saja para tokoh yang ada, apa hubungan mereka satu sama lain, dan kenapa mereka tiba-tiba saja bisa terjebak di sebuah rumah tua, tau-tau para hantu udah berseliweran. Bukannya takut, penonton malah bingung, kok tiba-tiba hantunya udah pada nongol aja sih?
Padahal kalau mau dibandingkan lho ya, film horor Jepang misalnya, frekuensi kemunculannya paling ½ - 1/3 dari frekuensi munculnya suster ngesot/keramas dan kawan-kawan. Tapi karena unsur ketakutan itu sudah disusun dengan rapi sejak awal, maka efeknya pun jauh lebih dahsyat daripada efek yang mungkin timbul dari sesosok manusia bergaun putih berambut tergerai tidak jelas bersimbah cat merah yang mengesot-ngesot...
Saya tidak pernah bisa menonton film horor Indonesia sampai tamat. Karena sekuat apapun tekad saya untuk meneguhkan diri menonton film itu, biasanya langsung pupus dalam setengah jam pertama begitu melihat bahwa alur film itu sama logisnya dengan keberadaan Bikini Bottom di dasar Samudra Indonesia.
Bagi saya, yang mengerikan dari film horor Indonesia bukanlah hantu yang ditampilkan di film itu. Bayangan akan jadi apa dunia perfilman Indonesia kalau terus memproduksi film horor semacam ini menjadi hantu yang jauh lebih mengerikan daripada nama-nama hantu yang dijadikan judul film-film horor itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H