Mohon tunggu...
Uswatun Khasanah
Uswatun Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Refleksi Kritis Terhadap Marxisme dalam Konteks Modern

14 Desember 2024   23:51 Diperbarui: 14 Desember 2024   23:49 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Marxisme adalah sebuah teori sosial, politik, dan ekonomi yang berfokus pada evaluasi struktur kapitalis dan pembagian kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada abat ke-19. Salah satu tujuan utama Marxisme adalah mewujudkan masyarakat tanpa kelas di mana semua orang memiliki akses ke alat produksi. Dalam masyarakat komunis ideal, semua orang akan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, dan eksploitasi manusia akan berakhir. Marxisme menjanjikan masa depan yang lebih adil dan setara di mana kebutuhan manusia diutamakan.

Meskipun Marxisme awalnya dibangun sebagai kritik terhadap kapitalisme, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemikiran Marx masih relevan dalam menghadapi masalah modern. Relevansi Marxisme dalam konteks sosial dan ekonomi modern menjadi bahan perdebatan yang menarik, terutama di tengah dominasi sistem kapitalis global. Gagasan tentang surplus value dan eksploitasi pekerja dapat digunakan untuk memeriksa kondisi kerja yang tidak adil dan upah yang tidak sebanding dengan produktivitas pekerja di era globalisasi, di mana perbedaan ekonomi antara kelas borjuis dan proletar semakin lebar. Namun, ada yang berpendapat bahwa karena sistem kapitalis berhasil menumbuhkan ekonomi di banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Cina, Marxisme semakin tidak relevan. Selain itu, ada beberapa negara yang melarang Marxisme, yang semakin membatasi perkembangan ideologi ini di seluruh dunia.

Hubungan antara nilai komoditas dan tenaga kerja dalam sistem kapitalis adalah pusat teori nilai kerja Karl Marx. Marx berpendapat bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Dalam konteks ini, dia berargumen bahwa semua komoditas memiliki nilai yang berasal dari kerja manusia yang terlibat dalam proses produksinya. Menurut teori ini, dua barang dengan jumlah waktu kerja yang sama akan diperdagangkan dengan harga yang sama. Marx memperkenalkan konsep nilai lebih (surplus value), yang merupakan selisih antara nilai produk yang dihasilkan oleh pekerja dan upah yang dibayarkan kepada mereka. Surplus value ini menjadi sumber keuntungan bagi kapitalis dan menunjukkan bagaimana sistem kapitalis berfungsi melalui eksploitasi pekerja. Marx menganggap bahwa pekerja tidak hanya menjual tenaga kerja mereka tetapi juga terisolasi dari hasil kerja mereka, sehingga mereka tidak menerima kompensasi yang sebanding dengan kontribusi mereka. Marx mengkritik situasi di mana karyawan diisolasi dari sistem kapitalis. Karena mereka tidak memiliki kontrol atas proses produksi dan hasilnya, pekerja terisolasi dari hasil kerja mereka yang menyebabkan makna kerja menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, teori nilai kerja Marx tidak hanya menjelaskan bagaimana nilai ditentukan dalam ekonomi kapitalis, tetapi juga kritis struktur sosial dan hubungan kekuasaan.

Konsep nilai masih relevan dalam ekonomi digital. Di era modern, banyak karyawan, termasuk pengguna media sosial dan konten kreator, berkontribusi pada produksi nilai tanpa menerima kompensasi yang sebanding. Sebagai contoh, pengguna media sosial sering menghasilkan konten yang meningkatkan nilai platform, tetapi mereka tidak mendapatkan porsi yang seimbang dari keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan teknologi. Ini menunjukkan eksploitasi yang disebutkan oleh Marx, di mana pekerja tidak menerima kompensasi yang sesuai dengan nilai yang mereka ciptakan. Teori nilai kerja juga menunjukkan relevansi untuk industri jasa. Banyak pekerjaan di industri ini, seperti layanan pelanggan atau kreatif, membutuhkan tenaga kerja yang intensif. Prinsip dasar bahwa nilai ditentukan oleh kerja tetap berlaku, meskipun nilai layanan seringkali ditentukan oleh permintaan pasar daripada jumlah kerja yang diinvestasikan. Pekerja di sektor jasa sering dipaksa untuk menjadi lebih produktif tanpa mendapatkan upah yang lebih baik, yang membuat mereka teralienasi dari hasil kerja mereka.

Di antara berbagai faktor yang menyebabkan kritik terhadap penerapan teori nilai kerja Karl Marx di era globalisasi adalah berbagai aspek yang menunjukkan bahwa ide-ide Marx tidak selaras atau tidak sesuai dengan dunia saat ini. Di era modern nilai tidak selalu diwakili oleh jumlah tenaga kerja, sebaliknya, faktor pasar seperti penawaran dan permintaan memengaruhi nilai. Banyak kritik mengatakan bahwa harga pasar sering kali tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari barang, yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial dan eksploitasi pekerja. Marx berpendapat bahwa karena mereka tidak memiliki kontrol atas produk yang mereka produksi, pekerja diisolasi dan dieksploitasi dalam sistem kapitalisme. Meskipun kapasitas produksi meningkat di era globalisasi, banyak pekerja tetap berada dalam kondisi kerja yang buruk dan mendapatkan upah yang rendah. Seringkali, sistem kerja modern menghasilkan jenis baru dari isolasi di mana pekerja hanyalah alat bagi mesin produksi tanpa merasa terhubung dengan pekerjaan mereka.

Marx membagi masyarakat menjadi dua kelas yaitu borjuis dan proletariat. Pemilik modal dan alat produksi adalah bagian dari klas borjuis. Mereka memiliki akses ke sumber daya ekonomi dan memiliki kemampuan untuk mengontrol proses distribusi dan produksi barang dan jasa. Borjuis bertindak sebagai penguasa dalam sistem kapitalis dengan mengeksploitasi tenaga kerja kaum pekerja untuk menghasilkan keuntungan yang paling besar. Marx berpendapat bahwa kepemilikan alat produksi adalah dasar kekuasaan politik dan ekonomi borjuis, yang memungkinkan mereka untuk mendominasi kelas pekerja. Sedangkan kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjual tenaga kerja mereka untuk bertahan hidup dikenal sebagai proletariat. Marx menyatakan bahwa karena proletariat tidak memiliki kontrol atas hasil kerja mereka, yang diambil oleh borjuis sebagai nilai lebih, proletariat mengalami alienasi.

Marx berpendapat bahwa pertentangan kelas menentukan sejarah manusia dan menciptakan dinamika perubahan sosial. Dalam konteks ini, pertentangan kelas dianggap sebagai faktor utama yang mendorong perubahan sejarah. Marx berpendapat bahwa revolusi proletariat akan terjadi sebagai tanggapan terhadap eksploitasi terus-menerus, yang akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas. Pembagian kelas ini tetap relevan di era globalisasi, meskipun strukturnya menjadi lebih kompleks dengan munculnya kelas menengah dan berbagai jenis pekerjaan. Namun, dasar-dasar konflik antara pemilik modal dan pekerja masih relevan, terutama dalam konteks ketidaksetaraan ekonomi yang semakin meningkat.

Banyak akademis dan teoritis telah mengkritik perspektif Marx tentang perjuangan kelas. Menurutnya, semua pertentangan sosial disebabkan oleh pertentangan kelas, yang merupakan kritik utamanya. Sebagai contoh, Dahrendorf menegaskan bahwa teori kelas hanya berguna untuk menganalisis perubahan struktur sosial pada bagian tertentu, bukan pada seluruh masyarakat. Selain itu, Marx hanya melihat perubahan dari sudut endogen, yaitu perubahan yang digerakkan oleh struktur sosial. Mereka tidak mempertimbangkan faktor eksogen yang dapat mempengaruhi dinamika sosial, sehingga analisis Marx menjadi kurang menyeluruh di hadapan kompleksitas perubahan sosial modern. Bahkan, ide sintesis Marx yaitu masyarakat tanpa kelas tidak sepenuhnya realistis di era modern. Schumpeter, menganggap ide sintesis Marx sebagai belenggu baru bagi sosiologi karena tidak dapat menjawab semua variabel sosial yang kompleks dalam masyarakat industrialisasi tinggi.

Salah satu pilar utama karya Karl Marx adalah gagasan revolusi proletariat, yang menekankan pentingnya perjuangan kelas sebagai penggerak perubahan sosial. Marx berpendapat bahwa ketegangan antara dua kelas utama, borjuis atau kelas pemilik modal, dan proletariat yang merupakan kelas pekerja. Revolusi proletariat dicetuskan sebagai langkah yang diperlukan untuk mengakhiri penindasan dan mencapai masyarakat tanpa kelas (komunisme). Menurut Karl Marx, ide revolusi proletariat adalah tanggapan terhadap ketidakadilan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Diharapkan bahwa proletariat dapat menggulingkan sistem kekuasaan yang ada dan mendirikan masyarakat sosialis yang lebih setara melalui perjuangan kelas dan kesadaran kolektif. Banyak interpretasi dan aplikasi teori Marx telah muncul di seluruh dunia. Namun, ide-ide Marx masih relevan dalam diskusi tentang keadilan sosial dan perubahan struktural dalam masyarakat modern.

Selama bertahun-tahun, gerakan sosial modern telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat, mempengaruhi kebijakan, dan mendorong perubahan budaya. Gerakan sosial dapat mengubah masyarakat secara besar-besaran jika dilakukan dengan dukungan politik dan finansial, kepemimpinan yang efektif, citra yang positif, taktik yang diterima secara sosial, dan tujuan yang diterima secara sosial. Selain itu, perkembangan teknologi yang terjadi di era digital telah memungkinkan gerakan sosial untuk memobilisasi massa dan memengaruhi opini publik. Meskipun Marxisme memberikan kontribusi penting untuk pemahaman tentang perubahan sosial dan konflik kelas, kritik terhadap perspektif Marxisme mengenai metode perubahan sosial mencakup beberapa elemen yang mempertanyakan kredibilitas dan keberhasilan metode Marx dalam memahami dan mendorong perubahan dalam masyarakat. Namun, kritik terhadap pandangannya menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih inklusif dan beragam diperlukan untuk menganalisis dinamika sosial modern.

Banyak konsep dasar Marx, seperti konflik kelas dan alienasi pekerja, masih dapat dilihat dalam struktur sosial dan ekonomi modern di era kapitalisme global saat ini. Marx menemukan bahwa sistem kapitalis menciptakan ketidakadilan ekonomi dan mengalienasi individu dari hasil kerja mereka, yang keduanya semakin jelas di masyarakat yang didominasi oleh otomatisasi dan teknologi. Namun, kritik terhadap Marxisme terus meningkat. Dalam konteks ini, teori kritis yang muncul setelah Marx berusaha untuk memperluas pemahamannya dengan memasukkan elemen lain yang mempengaruhi ketidaksetaraan sosial. Teori ini menekankan pentingnya emansipasi manusia dari berbagai jenis dominasi, termasuk ideologi yang menghalangi perubahan sosial. Oleh karena itu, berpikir kritis tentang Marxisme di era kontemporer menunjukkan bahwa meskipun banyak konsep Marx masih relevan dan menawarkan perspektif tentang ketidakadilan struktural, pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan untuk memahami kompleksitas dinamika sosial modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun