Seorang mahasiswa psikologi semester 3 berdiri di depan kelas. Dia adalah salah satu mahasiswa yang mendapat giliran presentasi mengenai kesadaran saat itu (06/11). Seperti kelas-kelas kuliah biasanya, satu kelompok duduk di depan kelas bertugas menerangkan suatu pokok materi sesuai silabus sang dosen. Setelah selesai, mereka akan membuka pertanyaan yang kemudian mereka jawab.
kelas kali ini sedikit berbeda dari kelas mata kuliah lainnya. Pemateri tidak hanya menerangkan materi namun juga diusahakan agar membuat suatu permainan yang dapat melibatkan mahasiswa yang lain. 3 mahasiswa laki-laki dan 2 perempuan berjejer di depan kelas. Masing-masing dari mereka memiliki cirri khas tersendiri ketika presentasi. Jika mahasiswa yang pertama menerangkan divinisi kesadaran dengan cara berdiri, memberikan sedikit stimulus pada teman-temannya agar lebih memperhatikan presentasi, dan sesekali melontarkan lelucon, maka mahasiswa selanjutnya menerangkan materi dengan duduk di kursinya. Pandangannya bergantian anatara layar laptop di depannya, tampilan slide di dinding, dan deretan kursi yang diisi oleh sekitar 40 mahasiswa.
Slide materi yang dipantulkan ke dinding menampilkan deretan paragraph panjang. Jika membacanya, maka tidak mendengarkan apa yang dikatakan pemateri di depan pun tidak akan berpengaruh. Pasalnya yang diterangkan tidak jauh berbeda dari apa yang ditampilkan di slide.
Di lain waktu, kelas mata kuliah kepribadian (07/11). Sistemnya juga sama. Satu orang bertugas mempresentasikan satu pokok bahasan, teori Humanistik. Pemateri duduk di depan kelas dengan sebuah laptop di depannya, menjelaskan teori neednya maslow. Pandangannya bergantian antara layar laptop dan 19 mahasiswa di depannya, yang sebagian besar bersandar ke kursi entah mendengarkan atau tidak. Pasalnya, teori Humanistik sudah dipelajai berulang kali sejak semester 1. Di samping pemateri, sang Dosen duduk menunduk menempelkan dahinya pada ujung Ades yang isinya sudah hampir habis. Ini adalah kelas kedua yang ia ampu pagi itu.
Pemateri pertama selesai dan diganti pemateri kedua dengan penjelasan yang sama, teori neednya Maslow. total hari itu 3 pemateri dengan penjelasan serta slide yang tak jauh beda. Saat pemateri terakhir membuka pertanyaan, hanya satu mahasiswi mengacungkan tangan. Pemateri berkata, “oh, ya udah nyangka(akan bertanya)”. Mahasiswi yang mengerti maksudnya kemudian menanggapi, “meskipun banyak pertanyaan, bukan berarti pemateri yang harus menjawab semuanya. Kita,kan diskusi bareng. Jadi pertanyaan untuk dijawab bareng-bareng ”.
Sepanjang diskusi yang hanya disi oleh 5 pertanyaan dari 3 orang penanya, seorang mahasiswi di kursi pojok belakang sebelah kiri menyandarkan kepalanya ke belakang. Memangku pipi dengan tangan kanannya. Matanya sesekali terbuka memandang dinding yang menampilkan slide, sebentar lalu tertutup lagi.
Dua peristiwa di atas menggambarkan bagaimana kelas kuliah mahasiswa semester tiga. Meski tidak semuanya, namun hampir dipastikan tidak jauh beda. System perkuliahan dengan diskusi. Setiap peserta kuliah dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai jumlah materi di silabus sang dosen. Setiap pertemuan, satu kelompok maju dan mempresentasikan materinya. Ada yang hanya membuat slide, makalah, atau keduanya. Mahasiswa menjelaskan dengan cara memba`ca makalah atau slide yang ia buat. Hal itu, mengakibatkan mahasiswa yang lain hanya merasa cukup melihat slide tanpa perlu memperhatikan pemateri. Toh nanti juga bisa langsung minta slidenya.
Cara mahasiswa presentasi sangat berpengaruh pada suasana kelas. Maka mahasiswa dituntut dapat menciptakan suasana yang bisa menarik perhatian pendengar. Dengan materi yang telah didapat seperti materi tentang kesadaran, emosi, attensi, dan lain-lain seharusnya mereka lebih mampu mengelola bagaimana diskusi bisa diikuti oleh segenap peserta kuliah dan berjalan menarik. Sayangnya mereka tidak sadar.
Segala materi kuliah seaakan sekadar pemahaman tanpa aplikasi. Penjelasan tentang bahwa informasi dapat disimpan dengan baik adalah informasi yang dianggap menarik, sehingga diperhatikan, dan disadari, yang didapatkan sekadar tercatat di ingatan dan buku kuliah. Tidak diaplikasiakan pada saat perkuliahan, bagaimana agar diskusi menarik, melibatkan semua peserta, dan yang paling dasar bagaimana agar peserta menyadari kehadiran pemateri di depan.
Selain ketidak sadaran serta ketidak mampuan mahasiswa mengaplikasikan pemahamannya, system diskusi yang dibentuk oleh dosen juga mempengaruhi tidak kondusifnya perkuliahan. Salah satu contohnya adalah dosen yang membuat peraturan setiap pertemuan minimal 5 orang presentasi masing-masing dengan tema yang sama. Akibatnya, setiap pemateri menjelaskan hal yang tak jauh beda. Penjelasan yang diulang-ulang cenderung membosankan. Mereka paham akan hal itu, tapi tetap tak ada yang berubah. Confusius pernah berkata (dalam Vasdev, 2010), “To know but not to do is not yet to know,” mengetahui tapi tidak melakukan sama artinya dengan tidak mengetahui. Albert Einstein seorang ilmuwan yang dinobatkan sebagai man of the century versi maajalah Time juga pernah menulis “Masalah penting yang kita hadapi tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berpikir yang sama saperti ketika kita menciptakan masalah tersebut” artinya, untuk memecahkan sebuah masalah kita membutuhkan cara berpikir yang lebih tinggi. Ironisnya dalam kasus ini, mahasiswa sendiri bahkan tidak menyadari masalahnya.
Beberapa dosen kemudian menyiasati dengan membuat peraturan mahasiswa tidak boleh membaca makalahnya saat presentasi, harus berdiri, atau memberikan permainan yang bersangkutan dengan materi yang dijelaskan. Sayangnya, tak ada yang sempurna. Diskusi kelas tetap saja hanya melibatkan beberapa mahasiswa yang sama antara kelas kuliah satu dengan yang lainnya, dan menimbulkan masalah baru.
Salah satu mata kuliah menuntut pemateri memiliki sebuah game di dalam kelas. Tentu saja game ini bermaksud agar pemateri lebih aktif dan melibatkan audien dalam mensimulasikan materi, sehingga presentasi lebih menarik dan mudah dipahami. Saat permainan berlangsung, pemateri sering memanggil teman lainnya untuk maju ke depan atau sekadar diberi pertanyaan sebagai subjek permainan. Tanpa sadar setiap kali mereka memilih subjek dengan orang yang sama. Suatu ketika mahasiswa laki-laki meminta salah satu mahasiswa (kita sebut saja A) untuk maju ke depan, A sudah beberapa kali ditunjuk sebagai subjek pada permainan-permaianan sebelumnya. Tiba-tiba sang dosen berkata,”(mahasiswa) yang lain massih banyak. Yang lain tidak apa-apa.” Alasan A sering diminta menjadi subjek permainan oleh presentator, karena A lebih focus mendengarkan dari pada yang lain, tanggap, dan daya tarik -kemampuan menarik perhatian dari audien entah karena cantik, ganteng pintar, atau bertingkah lucu-. Dengan begitu permainan mudah diperhatikan, namun di sisi lain bagi mahasiswa yang tidak pernah dilibatkan dalam permainan apalagi yang duduk di deretan paling belakang akan tenggelam. Pasalnya mereka tidak ditarik ke dalam permainan. Akhirnya pemateri dihadapkan pada dua pilihan : memilih subjek permainan yang tanggap dan menarik atau menolong temannya untuk terlibat aktif dalam kuliah.
Jadi mahasiswa psikologi bukan hanya memiliki tantangan memahami materi apa yang ia pelajari, namun juga bagaimana mereka mengaplikasikan ilmunya mulai dari hal-hal yang begitu dekat dengan keseharian. Dan semua itu membutuhkan kesadaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H