“Kau mau kemana, hah?” Sapanya. Menatapku sinis.
“Aku akan keluar. Aku akan menjadi pemenang di antara kalian!”
“Hah! Kau terlalu pandai berbual! Kau tak kan jadi pemenang! Sekalipun kau berhasil keluar, keberadaanmu tak kan dianggap!”
“Memang apa salahnya? Aku akan berjuang untuk itu.” Aku balik menatapnya tajam.
“Ya sudah, terserah kau. Dasar keras kepala!”
Aku melengos. Lantas meninggalkan dia pergi. Aku tak ingin tertinggal jauh dari yang lain. Aku akan jadi pemenang. Aku yakin itu!
***
Aku menelan ludah. Tak mengerti dengan apa yang terjadi di depanku. Mereka mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Entah apa yang mereka katakan. Aku masih membisu dengan wajah datar. Kemudian, menutup telinga dengan kedua tangan yang masih belepotan tanah liat bekas membuat mobil-mobilan, hewan-hewan, dan lainnya. Dan sekarang, hasil yang kuperoleh setelah lama membuat, mereka meremuknya begitu saja dan membuangnya ke arahku. Aku meraung-raung dengan suara yang keras serta bahasa yang awut-awutan, hendak melawan. Tapi tak bisa. Mereka menahanku. Aku kalah kuat. Tiga lawan satu. Aku kalah.
Ah, lagi lagi mereka mendorongku. Aku terjungkal. Aku mengangkat kepala. Masih tiga anak laki-laki yang sama seperti kemarin. Yang di tengah gendut, hitam, dan alisnya terlihat tersambung satu sama lain. Di sebelah kanan malah sebaliknya. Dia kurus kering, hitam, tapi perutnya buncit. Dan yang terakhir, yang sebelah kiri, perawakannya pendek, rambutnya ikal. Jangan tanya nama. Aku sama sekali tidak mengenal mereka.
Aku mencoba bangkit. Si Ikal bahkan menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangannya. Aku mengerjap-ngerjap sekilas, kemudian meraih tangannya. Dan, ah! Dia melepaskan tanganku. Ya ampun, sakit sekali rasanya tubuhku, dua kali terjatuh ke tanah. Aku kembali meraung marah.
“Kalian sedang apa, hah?” Suara yang kukenal. Lantas menoleh.
“Ini buk, eh, lagi main sama Bunga, lagi buat mobil-mobilan.” Si Kurus menjawab basa-basi sambil cengengesan.
Mereka kemudian beringsut, hendak kabur.
“Bergegas pulang! Sebelum saya jewer telinga kalian satu-persatu!”
Mereka lari lontang lanting, bahkan sebelum kalimat Ibuk sempurna diucapkan. Ibuk menatapku sejenak, lantas memelukku. Aku masih meraung-raung sambil menangis. Menambah ketidakjelasan ekspresiku saat itu. Aku tidak peduli. Kemudian, ibuk menggendongku pulang. Matahari sudah hampir hilang dimakan langit di ujung barat sana. Dengan siraman lembut cahaya senja, aku bersyukur memilikinya. Ibuk, kaulah segalanya.
***
Dialah Ibuk. Satu-satunya orang tua yang aku miliki. Aku tak punya Bapak sejak lahir. Entahlah, aku juga tidak tahu ia kemana. Kami tinggal di sebuah rumah kecil di sudut perkampungan. Kami hanya memiliki satu kamar, ruang tamu tanpa kursi, kamar mandi, serta dapur yang berada di belakang rumah. Temboknya miring, hampir roboh.
Ibuk bekerja sebagai buruh tani di sawah orang. Setiap hari hanya beberapa lembar Rupiah yang ia bawa pulang. Namun, sedikit banyak telah memenuhi kebutuhan makan kami sehari-harinya. Untuk kebutuhan yang lain, aku tak banyak meminta, selain karena komunikasi yang menyulitkannku, Ibuk juga secara tidak langsung mengajarkanku untuk berhemat.
Ya! Aku kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan dengan Ibukku sendiri. Aku tak mengerti apa yang orang lain bicarakan. Bahkan, diusiaku 7 tahun ini, aku masih belum bisa bicara seperti anak-anak normal seusiaku. Aku hanya bisa bergumam tidak jelas. Entahlah. Ibuk juga tak mengerti apa penyakitku. Ibuk tak pernah memeriksakanku. Sekali lagi, terhambat masalah biaya. Aku juga tak bisa membaca ekspresi orang lain. Entah saat mereka tertawa, menangis, marah, aku sama sekali tak mengertinya.
Di balik itu semua, selalu ada Ibuk yang dengan sabarnya menyayangiku, membantuku berkomunikasi, serta menasehatiku, bahwa aku bukanlah anak aneh, lebih dari itu, “Kamu itu spesial, Nak” Itulah ucapan Ibuk yang sering kudengar, meski tak kumengerti apa maksudnya.
Suatu malam, Ibuk menemaniku di ruang tamu, sambil kumainkan plastisin warna-warni yang dibelikan Ibuk tadi siang di pasar kecamatan. Aku membentuk bunga, hewan, alat-alat dapur, dan kue warna-warni. Ah, senang sekali aku melihatnya. Tak seperti biasanya. Aku hanya bermain tanah liat di depan rumah. Yang warnanya selalu coklat. Ibuk tahu, aku selalu bersemangat meniru bentuk seperti ini. Aku menyukainya. Tiba-tiba terdengar suara ramai sekali di depan rumah. Kemudian, aku dan Ibuk keluar.
“Pergi kalian dari Kampung ini!”
“Dasar anak tak waras pembawa sial! Usir mereka!”
Banyak lagi teriakan-teriakan marah warga yang meminta kami keluar dari Kampung ini. Mereka mengusir kami. Bahkan, satu-dua warga melempari kami dengan batu. Ibuk menahan tangis sambil memelukku. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Hampir ketika salah satu warga menarik kami keluar, Pak Lurah datang. Beliau segera menenangkan warga yang telah tersulut emosinya. Pak Lurah dengan sabar menjelaskan kepada warga bahwa aku bukanlah orang yang tidak waras, hanya ada gangguan dalam diriku. Begitu Pak Lurah menjelaskannya. Akhirnya, sedikit demi sedikit warga mulai meninggalkan rumahku. Tersisa Pak Lurah dan perangkatnya yang meminta maaf soal kesalahpahaman warga tadi. Ibuk tersenyum, “Tak apa-apa, Pak Lurah.” Jawabnya lirih.
Setelah kejadian malam itu, kami masih beraktivitas seperti biasanya. Aku terus berkutat dengan tanah liat, dan Ibuk masih menjadi buruh tani harian. Tapi ada sedikit perbedaan. Kami seakan akan dikucilkan di kampung kami. Ibuk lebih sulit cari pekerjaan dari pada sebelumnya. Karena memang, buruh bukanlah pekerjaan menetap seperti PNS dan sejenisnya. Aku lebih sering diganggu oleh ketiga anak nakal itu. Mereka lebih sering mengolok-ngolokku. Dan aku, tetap tidak peduli.
10 tahun kemudian..
10 tahun berlalu, aku sudah mulai lancar berbicara serta berkomunikasi dengan orang lain. Aku juga sudah mulai bisa membaca ekspresi wajah orang lain. 10 tahun. Bukan waktu yang singkat untukku belajar. Ibuk dengan sabar, selalu melatihku untuk dapat berkomunikasi. 10 tahun adalah masa di mana aku berproses menjadi lebih dewasa dan menjadi manusia seutuhnya.
Dan tahukah kau, Kawan? Ibuk bahkan memberiku hadiah yang luar biasa pada usiaku yang ke 17 tahun ini. Roda tembikar. Benda yang sangat aku inginkan sejak usiaku 15 tahun, setelah melihat salah satu tetanggaku yang memilikinya. Kini, aku sudah bisa membuat guci, kendi, pot, tempayan, serta banyak lagi keterampilan tembikar yang kubuat sendiri. Aku selalu bangga menatap hasil tanganku sendiri itu. Meskipun lamban dalam berkomunikasi, namun mata dan tanganku lebih peka terhadap sesuatu. Dan itulah alasannya, Tuhan menciptakan manusia dengan kekurangan sekaligus kelebihan, agar manusia mensyukuri setiap tetes nikmat yang telah diberikan-Nya.
Kini, Ibuk tak perlu lagi bekerja sebagai buruh tani. Karena, hasil keterampilan tanganku membuahkan pundi-pundi Rupiah. Hal pertama yang aku ingat adalah tembok dapurku. Buru-buru aku meminta Ibuk untuk memanggil tukang bangunan untuk memperbaikinya. Khawatir tembok dapurku runtuh. Sebelum aku lupa memperbaikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H