Kyai Nasirudin Al-Asy'ari, putra dari Nyai Hj. Maryatun dan KH. Muhamad Asy'ari, adalah seorang tokoh yang menjadi roll modelling dalam segi kemasyarakatan. Beliau merupakan pengasuh Musholla Raudlotunna'im di Jogosimo, Klirong, Kebumen, Jawa Tengah.
Beliau tidak hanya dikenal sebagai pengajar ilmu agama, tetapi juga sebagai sosok yang selalu mengedepankan nilai-nilai kerukunan. Keberadaan beliau sangat dirasakan oleh para jamaahnya, baik dalam konteks ibadah maupun dalam lini kehidupan sehari-hari.
Melalui amalan ibadah, wejangan spiritual, dan penguatan iman, Kyai Nasirudin telah menjadi cahaya yang menerangi masyarakat setempat dengan mengutamakan kerukunan antara sesama.
Teologi Kerukunan dan Pesan Kemanusiaan
Sebagai seorang Kyai yang berpegang teguh pada ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah, Kyai Nasirudin melihat bahwa Islam sejatinya mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan kerukunan. Di tengah-tengah masyarakat yang beragam, beliau menekankan pentingnya sikap terbuka dan bersahabat, apa pun latar belakang seseorang.
Baginya, keyakinan tidak boleh menjadi penghalang bagi terciptanya keharmonisan sosial. Islam, menurutnya, hadir sebagai rahmatan lil 'alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam, dan oleh karenanya, setiap muslim harus menjunjung tinggi nilai-nilai ini dalam setiap interaksi sosial.
Beliau sering menyampaikan bahwa ajaran teologis tentang Islam bukan sekadar soal ritual atau hukum-hukum syariah yang kaku, tetapi juga mengandung esensi kemanusiaan yang mendalam.
Setiap kali berkumpul, Kyai Nasirudin tidak pernah bosan mengingatkan jamaahnya bahwa kerukunan antar sesama adalah refleksi dari ketakwaan kepada Allah. Tanpa sikap rukun, ibadah tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan. Keberagaman, dalam pandangan Kyai Nasirudin, adalah bagian dari takdir Allah yang harus diterima dengan hati lapang dan semangat persatuan.
Konteks Kerukunan dalam Masyarakat Modern
Menghadapi era modern yang penuh dengan tantangan sosial, politik, dan ideologi, Kyai Nasirudin tetap tegas dalam menjaga hubungan baik dengan berbagai golongan masyarakat. Beliau menilai, sering kali perpecahan muncul bukan karena perbedaan agama, melainkan karena kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi atau miskom.