Mohon tunggu...
Eka Hendra Jatnika
Eka Hendra Jatnika Mohon Tunggu... Guru - Ust. Edu

Penulis, Trainer, Konsultan WA 085767136799

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Seri ke-6] Nabi Syits: Pembukti Janji Ilahi

28 Februari 2017   07:51 Diperbarui: 28 Februari 2017   07:53 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Ma’idah/5: 54).

Kematian Habil adalah kehilangan besar. Anak sekaligus kader pelanjut Nabi Adam a.s. ini harus meninggal di tangan kakaknya sendiri. Padahal Habil muda tumbuh sesuai harapan. Sikap qana’ah menjadikannya pribadi yang memegang teguh wahyu agar amalnya tidak keluar dari ibadah.

Berbeda dengan Habil. Perangai Qabil cenderung menunjukkan pribadi yang ingin menang sendiri. Pola fikirnya terfokus pada keuntungan yang bisa ia dapatkan. Maka ia tampil menjadi pribadi oportunis. Wahyu yang ditanamkan pun hanya diambil sebagian, dalil-dali yang ia anggap akan menguntungkan.

Berbekal 10 suhuf yang telah Allah firmankan, Nabi Adam tetap istiqamah menjalankan tugas risalahnya. Belajar dari “tragedi buah khuldi”, hari-harinya diisi dengan kewaspadaan agar tidak terjerembab ke lubang yang sama. Hanya satu semangat yang muncul dalam dirinya, yaitu semangat untuk menegakkan kekuasaan Allah dalam diri dan sosialnya.

Malangnya, sebagian keturunannya belum sekuat yang diharapkan. Di saat mereka berhadapan dengan budaya masyarakat Qabil, mereka lupa dengan wahyu. Semua iklan-iklan kemaksiatan mereka terima dengan mudah. “Pakaian takwa” nya pun mereka tanggalkan. Pola fikir dan orientasinya terus bergeser. Akhirnya mereka menjadi bagian para pengejar kenikmatan sesaat. Masya Allah.

Dalam kondisi demikian, Allah berkehendak menghadirkan generasi yang akan menjawab tantangan zaman. Generasi yang takjub hanya terhadap wahyu dan tegas terhadap kebathilan, serta mengisi hari-harinya dengan program perjuangan. Ibunda Hawa melahirkan seorang anak yang kelak dikenal dengan nama Syits yang berarti pemberian/hadiah.

Syits sangat patuh kepada ayahnya. Ia melaksanakan segala perintah Nabi Adam a.s. apapun itu. Ia mendapatkan tempaan fisik dan mental karena di hadapannya sudah membentang amanah besar. Yaitu membentengi (saudara-saudaranya yang belum terbawa arus) dan menyadarkan (mereka yang sudah bercampur dengan sistem hidup masyarakat Qabil yang menawarkan kenikmatan semu).

Perjuangan Syits tidaklah ringan. Bekal 10 suhuf yang ditanamkan Nabi Adam a.s. ternyata tidaklah cukup untuk menjawab dinamika di lapangan. Jeratan tipu-daya masyarakat Qabil sudah tertancap kuat. Ia pun harus sabar dan bijak untuk mengurai benang keimanan yang sudah bercampur baur hingga kusut. Perkara yang betul-betul sulit untuk dijawab hanya dengan logika. Syits di hadapkan pada kondisi yang harus ia jawab dengan sempurna, jangan ada kesalahan.

Syits sadar bahwa Allah lah ash-shamad, yaitu Dzat yang kepada-Nya seluruh makhluk bergantung. Ia sadar bahwa kesulitan yang ia hadapi adalah kuasa dan kehendak-Nya. Maka ia pasrahkan masalah tersebut kepada-Nya. Ia hadirkan seluruh problematika dan usaha yang dilakukan dalam doa-do’anya. Begitulah terus menerus. Sampai akhirnya tiba Allah memberikan solusinya. Allah berkehendak mengangkat Syits menjadi salah satu Nabi-Nya.

Allah mengaruniakan 50 suhuf kepadanya. Genap bermodal 60 suhuf inilah Nabi Syits mengurai dan menjauhkan kebathilan dari masyarakatnya. Ia dengan telaten membacakan wahyu agar menjadi pelajaran dan penyuci jiwa mereka. Semakin lama semakin banyak yang kembali tersadarkan. Bani Adam pun bisa diselamatkan. Akhirnya mereka kembali kompak memegang teguh wahyu dan berlomba menjadi insan yang mulia. Nabi Syits tampil menjadi janji yang terbukti, “bahwa akan lahir pengganti terbaik yang akan menjadi para ksatria pembela -Nya”. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun