Beberapa hari yang lalu, pemberitaan tentang demonstrasi besar akibat dari kematian George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) tanggal 25 mei 2020, terus menjadi kabar yang menarik yang menghiasi halaman berbagai media.Â
Demonstrasi yang terjadi di Minneapolis AS meluas ke negara bagian lainnya, bahkan di luar AS seperti di Inggris, Jerman, Kanada, Australia, dan Perancis. Tulisan ini agak sedikit out of date ketika momennya sudah berlalu, namun sebagai sebuah refleksi bagi kita semua tulisan ini sengaja disajikan.
Demonstrasi dilakukan karena solidaritas atas tindakan oknum kepolisian Minneapolis yang menyebabkan kematian George Floyd. Sebenarnya, kematian George Floyd hanyalah pemicu dari endapan pengalaman yang dirasakan oleh sebagian warga AS dalam jangka waktu yang sangat lama, khususnya warga kulit hitam.
Beberapa analis mengatakan bahwa kematian George Floyd hanyalah pemicu (trigger). Ketika diposisikan sebagai pemicu tentu ada faktor lain yang menjadi latar belakangnya. Banyak faktor yang memicu munculnya demonstrasi besar di AS, di antaranya adalah kondisi ekonomi yang kurang baik dan iklim politik AS yang sebentar lagi akan melaksanakan pemilihan umum serta perlakuan terhadap warga kulit hitam.
Namun kalau dicermati, fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang melatarbelakangi kasus kematian George Floyd hanyalah fenomena permukaan yang tampak oleh penglihatan kita sebagai pembaca. Ibarat sebuah langkah kaki, ada faktor jejak (trace) non-fisik yang menggerakkan kaki, lalu kaki akan meninggalkan bekas telapak kaki.
Jejak (trace) yang menjadi fenomena serangkaian demonstrasi atas kematian George Floyd adalah rasa keadilan, dan ini adalah jejak non-fisik yang menghiasi kesadaran sebagian warga AS. Kematian dan demonstrasi tidak akan pernah muncul ketika keadilan ditegakkan. Keadilan di sini terletak pada pengakuan akan eksistensi warga kulit hitam dan perlakuan atas mereka.
Eksistensi warga kulit hitam di AS merupakan sisa dari adanya perbudakan di AS pada abad ke-16 atau tepatnya tahun 1506 di Florida. Meskipun pada tahun 1865 perbudakan resmi dihapuskan, akan tetapi kesadaran tentang liyan (the other) masih menjadi sesuatu yang mahal. Akar kesadaran ini adalah warna kulit yang dijadikan sebuah politik identitas oleh kelompok dominan bagi warna kulit lainnya.
Dalam mengantarkan buku klasiknya Lothrop Stoddard, The Rising Tide of Color Against White World-Supremacy (1920), Madison Grant memberikan penggambaran bagaimana kulit putih sedemikian "berkuasa" atas kulit berwarna.Â
Supremasi warna kulit menjadi bagian dari identitas kelompok dominan. Grant menggambarkan, "Democratic ideals among an homogeneous population of Nordic blood, as in England or America, is one thing, but it is quite another for the white man to share his blood with, or intrust his ideals to, brown, yellow, black, or red men."
Meskipun demikian Grant mengakhiri penggambarannya dengan sebuah ungkapan bahwa supremasi warna kulit putih merupakan sebuah tindakan bunuh diri yang korbannya adalah warga kulit putih sendiri. "This is suicide pure and simple, and the first victim of this amazing folly will be the white man himself.", tulis Grant.
Kita dapat mengerti sekarang bahwa ketika George Floyd yang berkulit hitam dan diperlakukan secara tidak adil itu karena adanya kesadaran akan identitas yang berbeda tentang liyan. Ketika terjadi perlakuan-perlakuan secara tidak adil terhadap liyan oleh warga kulit putih, maka muncul perlawanan balik dengan mengangkat isu rasial.Â