Mohon tunggu...
Usman Manor
Usman Manor Mohon Tunggu... Sejarawan - Analis Sumber Sejarah

I am not a procrastinator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasuna, Sang Singa Betina

28 Februari 2015   03:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Rasuna, karena perbuatan anda sendiri, anda akan dihukum. Saya akan mengajukan hal-hal yang meringankan. Usia anda masih muda, anda berbakat pidato, wajah anda elok, tetapi semua ini tidak akan mencegah hukuman. Pakailah waktu untuk berpikir mengenai kegagalan-kegagalan anda. Usahakan berbuat sesuatu yang baik dan janganlah kembali ke politik,” ujar Controleur Daniel Van der Meulen saat melakukan interogasi terhadap Rasuna Said di dalam sebuah sel tahanan (Rosihan Anwar, 2004 : 100). Kaum perempuan di Indonesia mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam menentukan jalannya sejarah di samping perannya sebagai ibu rumah tangga (Poesponegoro, 2010 : 398). Jika kaum lelaki memiliki “Singa Podium” seperti Ir. Soekarno, kaum wanita juga memiliki “Singa Betina” bernama Rasuna (Saydam, 2009: 213). Rasuna Said yang memiliki nama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang berjasa dalam proses nation and state building di Indonesia. Sebagai wujud penghormatan atas jasanya, nama Rasuna Said diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Rasuna Said lahir saat pemuda-pemudi sedang menggelorakan semangat kebangkitan nasional dan anti kolonialisme yang dipelopori oleh munculnya organisasi Budi Utomo. Ia lahir di Maninjau, Sumatra Barat, tanggal 15 September tahun 1910. Selang beberapa tahun setelah kelahirannya, tepatnya pada tahun 1915, Zainuddin Labai El Yunus mendirikan Sekolah Diniyah di Padang Panjang. Selain itu, muncul reformasi dibidang pendidikan dengan berdirinya Sekolah Thawalib berbasis Islam Modern yang dipelopori oleh Haji Abdul Kasim Abdullah atau Haji Rasul. Tidak hanya sampai disitu, pendidikan modern untuk perempuan juga muncul dengan berdirinya Sekolah Diniyah Putri yang dibentuk oleh adik Zainuddin Labai El Yunus, yaitu Rahmah El Yunusiah pada tahun 1923 (Sally White, 2013 : 111-113).

Situasi dan kondisi pergerakan nasional kala itu membentuk pribadi Rasuna Said muda sebagai perempuan yang religious dan anti kolonialisme. Sejak kecil ia tinggal bersama pamannya karena ayahnya telah meninggal dunia. Ia didik dan diajarkan pendidikan Islam mulai dari sekolah dasar. Setelah itu, ia pindah ke Padang Panjang dan masuk ke Sekolah Diniyah Putri. Saat belajar di Sekolah Diniyah Putri, ia mengenal Rahmah El Yunusiah, Rohana Kudus, dan Zainuddin Labai El Yunus. Perkenalan ini mulai membuka pikirannya tentang Islam dan pentingnya pendidikan. Pada tahun 1926, Padang Panjang mengalami gempa dahsyat sehingga ia harus kembali ke kampung halamannya di Maninjau. Bencana gempa tidak menyurutkan niatnya untuk tetap belajar. Ia kemudian berkenalan dengan Haji Udin Rachmany yang saat itu memimpin Sekolah Thawalib. Haji Udin Rachmany inilah yang banyak mengajarkannya mengenai politik, gerakan pembaruan Islam dan pidato (Sally White, 2013 : 104).

Rasuna Said kemudian mulai aktif berorganisasi politik dengan menjadi anggota Sarikat Rakyat yang berafiliasi dengan Partai Komunis atas ajakan dari Haji Udin Rachmany pada tahun 1926. Selain aktif dalam Sarikat Rakyat, Rasuna Said yang akrab dengan sapaan Kak Una juga aktif mengajar pelajaran kewanitaan di Sekolah Diniyah Putri. Ketika terjadi pemberontakan komunis di daerah Silungkang pada tahun 1927, Rasuna Said dan Haji Udin Rachmany disinyalir terlibat oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga Sarikat Rakyat dibubarkan. Pasca pemberontakan ini pemerintah Hindia Belanda bertindak lebih represif terhadap organisasi kepemudaan. Hal ini justru membuat Rasuna Said semakin tertantang dan membuktikannya dengan ikut serta dalam Partai Sarikat Islam pada tahun 1928. Ia dipercaya menjadi ketua cabang Maninjau. Setahun berselang ia menikah dengan Dusky Samad, seorang pengajar di Sekolah Thawalib dan aktivis politik. Namun, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama akibat kesibukan masing-masing. Dari pernikahannya ini, ia memperoleh 1 orang anak perempuan bernama Auda Zaschkya Dusky.

Pada tahun 1930, Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Bersama dengan Rasimah Ismail dan Ratna Sari, ia menjadi propagandis perempuan yang mengkampanyekan modernisasi pendidikan, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, reformasi pergerakan Islam, serta kemerdekaan Indonesia. Dalam setiap kesempatan, terutama saat mengajar di Sekolah Diniyah Putri, ia menanamkan pentingnya politik dalam upaya keluar dari belenggu penjajah. Saat Rasuna pindah ke Padang pada tahun 1931, ia berkenalan dengan pemimpin PERMI, yaitu Muchtar Loethfi. Pasca diasingkannya Muchtar Loethfi ke Bogen Digul, kepemimpinan PERMI diambil alih oleh Rasuna Said. Sejak tahun 1931, bersama dengan Muhammadiyah, PERMI mulai diawasi dengan ketat. Bahkan Gubenur G. F. E. Gonggrijp menyurati Gubernur Jenderal De Graeff yang menyatakan bahwa PERMI dan Muhammadiyah tidak loyal dan bersikap anti-Barat (Ahmad Syafii Maarif, 2009 : 114).

Sikap represif pemerintah Hindia Belanda seakan tidak digubris oleh Rasuna Said. Ia terus memberikan pidato-pidato dan kampanye anti penjajahan seperti halnya yang ia lakukan pada tahun 1932 dalam kongres perempuan PERMI di Padang Panjang. Ia menyampaikan pidato dengan judul “Langkah-langkah menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia”. Sikapnya yang sangat anti pada pemerintah Hindia Belanda ini membuatnya harus merasakan dinginnya ruangan sel tahanan di Semarang selama 15 bulan. Setelah di bebaskan, ia tetap memegang teguh prinsipnya yang anti pada penjajahan. Ia banyak menulis artikel dalam jurnal “Raya”. Karena control pemerintah yang ketat, ia terpaksa pindah ke Medan. Perjuangannya tetap berlanjut dengan menulis pada jurnal “Menara Putri” yang mengangkat isu seputar Islam dan Wanita.

Pasca berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang yang mulai berkuasa di Nusantara, Rasuna kembali ke Padang. Ia direkrut oleh Chatib Sulaiman untuk menjadi pemimpin dalam Giyu Gun bagian wanita dengan nama Hahanokai bersama dengan sahabat lamanya, Rahmah El Yunusiah dan Ratna Sari. Ia pun kemudian menikah lagi dengan Bariun AS. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Rasuna tetap aktif dalam kegiatan politik. Pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1947, ia menjadi pemimpin Front Pertahanan Nasional Wanita atas permintaan Bung Hatta yang saat itu mengunjungi Bukittinggi. Selain itu, sejak tahun 1946, ia bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka bersama dengan Bariun AS, suaminya, dan Chatib Sulaiman (Sally White, 2013: 115).

Setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda dan memiliki bentuk negara Serikat, Rasuna menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Ia memiliki kedekatan dengan Soekarno (Ahmad Syafii Maarif, 2009 : 114). Dalam beberapa kesempatan Soekarno sering menanyakan pendapat Rasuna mengenai kebijakan politik. Beberapa tokoh politik yang berasal dari Sumatra saat itu mayoritas bergabung dengan Partai Masyumi, namun Rasuna tidak mengikuti jejak para tokoh-tokoh tersebut. Saat situasi Sumatra mulai tidak kondusif dengan munculnya isu pemberontakan yang akan dilakukan oleh Kolonel Achmad Husein, ia menemui Achmad Husein dan memberikan nasihat untuk membatalkan rencana tersebut. Ia pun memberikan pandangan untuk tetap setia pada Republik.

Kiprahnya dalam bidang politik tidak berakhir sampai di situ. Rasuna kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pada masa Demokrasi Terpimpin, yaitu tahun 1959 hingga akhir hayatnya. Rasuna menghembuskan nafas yang terakhir pada 2 November 1965. Sepanjang hayatnya, Rasuna memegang teguh sikap progresif, revolusioner, non-kooperatif, dan pantang menyerah (Jajat Burhanuddin, 2002 : 94). Sikap-sikap tersebut yang dewasa ini jarang ditemui dari dalam diri seorang politikus. Baginya, kemerdekaan terbagi dalam tiga unsur penting, yaitu keislaman, kebangsaan, dan kewanitaan. Kemerdekaan tidak hanya sebatas pada terbebas dari belenggu penjajah, namun kemerdekaan memberikan makna yang lebih luas; Merdeka itu Terdidik, Tersadar dan Tercerahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun