“Ku ingat selalu cerita itu, Romansa Senja di Margonda. Oo Nona, Oo Nona, Nona Lisa” (Romansa Senja di Margonda-The Bobrocks)
Sore itu langit tampak mendung. Jalanan pun mulai dibasahi oleh rintik-rintik hujan yang mulai turun. Di ujung jalan, samar-samar terlihat tulisan “Selamat Datang di Depok”. Setiap hari jalanan tersebut selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Di sepanjang jalan, baik di sisi kanan atau sisi kiri, terdapat kantor pusat pemerintahan, terminal bus, rumah sakit, berbagai kampus perguruan tinggi, sekolah, kantor Polres, dan bangunan komersial seperti mall, apartemen, showroom, hingga restoran. Beberapa orang terlihat sedang menyeberang jalan di daerah yang dikenal dengan sebutan “Kober”. Tak jauh dari Kober, terdapat sepasang remaja yang sedang berjalan sambil bersenda gurau seakan tidak peduli dengan hiruk pikuk kendaraan yang saling mendahului. Begitulah suasana sore hari di Margonda, sebuah jalan utama yang membelah kota Depok.
Suasana sore hari di jalan Margonda ini menginspirasi sebuah band kampus bernama The Bobrocks untuk membuat lirik lagu dengan latar tempat di Margonda. Band yang terdiri dari Mohamad Yoga Ramadhan, Airlangga Noor, Muhammad Ari Saptahadi, Adi Ahdiat, dan Rengga Sanjaya Nuriman sepakat menggunakan kata Margonda sebagai judul lagu, yaitu “Romansa Senja di Margonda”. Agaknya Margonda memiliki daya tarik tersendiri bagi band yang terbentuk pada 12 Februari dengan personil yang seluruhnya merupakan alumni dari FIB UI ini. Oleh sebab itu, patut untuk diketahui asal-usul Margonda yang kini menjadi nama jalan utama di Depok.
Menelisik asal-usul Margonda memiliki arti kembali pada masa Revolusi Kemerdekaan pasca Proklamasi tahun 1945. Margonda merupakan nama seorang pemuda yang gugur di dalam sebuah pertempuran melawan pasukan NICA (Nederlands-Indische Civil Administration) di daerah Kalibata, Pancoran Mas, Depok pada tanggal 16 November 1945. Tanggal tersebut bertepatan dengan serangan kilat dari seluruh penjuru mata angin yang dilancarkan oleh lascar-laskar untuk membebaskan kota Depok dari pendudukan NICA. Dalam pertempuran tersebut, Margonda tewas tertembak di bagian dada saat hendak melempar granat ke arah musuh (Wenri Wanhar, 2011: 118-119). Semasa hidupnya, Margonda memiliki sahabat dekat, yaitu Ibrahim Adjie dan TB Muslihat. Ibrahim Adjie selamat dalam pertempuran dan terakhir menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, sedangkan TB Muslihat mengalami nasib yang sama dengan Margonda. Untuk mengenang jasa TB Muslihat, pemerintah kota Bogor membangun patung di pelataran taman kopi, dekat stasiun Bogor, dan mengabadikan namanya sebagai nama jalan di Bogor.
Rekam jejak Margonda yang memiliki nama kelahiran Margana ini dimulai saat ia menjadi palajar analis kimia di Balai Penyelidikan Kimia atau Analysten Cursus milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan oleh Indonesiche Chemische Vereniging. Lembaga ini terlertak di Bogor. Setelah itu, pada tahun 1940, Margonda mengikuti pelatihan penerbangan di Luchtvaart Afdeeling, Departemen Penerbangan Belanda. Namun, pelatihan penerbangan ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Pada saat Jepang menduduki Nusantara, Margonda tidak terlihat sepak terjangnya.
Kiprah Margonda mulai terlihat ketika Jepang menyerah pada Sekutu pada tahun 1945. Margonda mulai aktif dalam gerakan kepemudaan berbentuk laskar-laskar. Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan Depok, seperti Ibrahim Adjie, TB Muslihat, dan Tole Iskandar mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. PerpecahanAMRI karena anggotanya banyak yang bergabung dengan BKR, Pesindo, KRISS dan kelompok kecil sejenis lainnya membuat AMRI di bawah pimpinan Margonda memiliki usia yang relatif singkat.
Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, wilayah Depok merupakan sebuah Gemeente yang memiliki pemerintahan sendiri sejak tanggal 28 Juni tahun 1714. Wilayah Depok awalnya merupakan sebuah tanah partikelir milik Cornelis Chastelein. Tanah ini kemudian diserahkan pada 12 orang budak dari Cornelis Chastelein. Mereka kemudian mengurus wilayah Depok dan memiliki gaya hidup layaknya orang Eropa dengan menggunakan bahasa Belanda dalam pergaulan sehari-hari. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan Belanda-Depok. Hal ini kemudian justru membawa malapeta bagi kaum Belanda-Depok karena pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1945 mereka dianggap oleh masyarakat pribumi dan lascar-laskar rakyat sebagai kelompok yang tidak pro-republik dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga bermuara pada peristiwa yang dikenal dengan Gedoran Depok pada tanggal 11 Oktober tahun 1945.
Mengetahui peristiwa ini, NICA segera mengambil tindakan dengan menyerang dan menduduki Depok serta membebaskan kaum Belanda-Depok. Memasuki bulan November, seluruh pemuda mengadakan konsolidasi dan menyusun kekuatan untuk kembali merebut Depok dari pendudukan NICA. Pada tanggal 16 November 1945, mereka mengadakan serangan kilat dari segala penjuru mata angin. Dalam serangan kilat ini, Margonda turut serta. Saat pertempuran di wilayah Kalibata, Pancoran Mas inilah Margonda gugur dengan luka dibagian dada. Kalibata di kawasan Pancoran Mas, Depok menjadi saksi bisu gugurnya Margonda.
Hingga akhir hayat, Margonda belum merasakan kemerdekaan negara dan bangsanya. Saat ini, jasad Margonda telah tenang di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor. Nama dan fotonya masih menghiasi dinding Museum Perjuangan Bogor hingga kini. Meskipun Margonda lahir di Bogor dan semasa hidupnya lebih banyak menghabiskan waktunya di Bogor, namun perjuangannya untuk Depok sangat layak untuk dihormati. Hal ini yang membuat namanya diabadikan sebagai nama jalan utama di Depok agar namanya tetap disebut, diingat, dan dikenang, khususnya bagi para pemuda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H