Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengalaman Sylvester Stallone

3 Agustus 2023   15:50 Diperbarui: 9 Agustus 2023   14:07 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan ketua RT tujuh periode, Bang Kamin, menelepon aku untuk datang ke acara hajatannya pada malam rasul, yakni malam persiapan. Khawatir pada hari H-nya aku tak dapat hadir bergegaslah aku berangkat. Kurang dari sepuluh menit tibalah. Acara hajatan resepsi pernikahan anak kelimanya sembilan puluh persen telah siap. Tenda telah terpasang, meja dan kursi juga telah tertata. Pelaminan telah selesai dikerjakan, seorang pekerjanya tengah menyempurnakan posisi lampu taman. Sejumlah pemuda berkaraoke menyanyikan lagu dangdut menjadikan suasana bertambah meriah.

Setelah bersalaman dengan Bang Kamin aku duduk di kursi yang disediakannya. “He, kenal dengan orang ini?” tanya Bang Kamin pelan. Jarinya menunjuk kepada seseorang di seberang meja.

Seketika itu pula mataku memokus. Aku langsung mengenalinya. “Wah, tamu dari jauh rupanya. Bang Darino, alias Sylvester Stallone, bintang film Amerika!” Aku menyalaminya lalu duduk.

“Ah, bisa aja ente. Kenal dengan saya?”

“Pasti kenallah, siapa yang gak kenal dengan orang terkenal.”

Di masa lalu, menurutku, tampangnya mirip Sylvester Stallone, terutama ketika mengenakan kacamata hitam.

“Siapa?” Dia bertanya kepada Bang Kamin.

Bang Kamin mencoba menjelaskan identitasku dengan menyebut nama almarhum ayahku, tapi gagal. Ternyata dia tidak hafal.

Ini kali pertama aku beraudensi dengan Bang Darino. Dia tidak mengenal aku. Pastilah. Usianya terpaut jauh, mungkin sekira lima sampai tujuh tahun. Dia seangkatan Bang Kamin dan masih keterkaitan saudara. Ini kesempatan pertama aku bisa bercakap-cakap dengan Bang Darino.

Ingatanku melesat ke masa tiga puluhan tahun lalu. Dia pemakai sepeda motor Kawasaki Merzy yang tidak banyak orang punya. Di mata kami anak-anak angon kerbau, dialah pemuda sukses yang paling keren sekelurahan, mungkin juga sekecamatan. Sekali waktu aku juga mendapati dia mengendarai mobil Jip Willis yang konon milik bosnya.

Yang membuat aku nyaris tidak percaya, kabarnya dia tidak pernah sekolah. Hal itu diakui oleh beberapa orang yang lebih tua dari aku ketika itu. Hal itu pula yang kemudian membuat si Dasim, teman kami, tidak mau sekolah walau usianya telah memasuki empat belas tahun. “Bang Darino saja tidak sekolah!” elak si Dasim ketika disuruh mendaftar sekolah. Lain halnya bagiku, jika aku tidak sekolah sulit berharap bisa seperti dia. Di antara kami, anak-anak angon kerbau, tak ada yang tahu persis pekerjaan pemuda ganteng dan keren tersebut.

“Bagaimana kabar Bang, sehat?” aku memulai percakapan.

“Alhamdulillah.”

“Anak punya berapa Bang?”

“Banyak. Enam.”

“Bini?” cetus Jodi, temanku yang duduk di sampingnya.

“Empat, tapi sekarang satu.”

“Wih, bagaimana ceritanya itu.” Aku menelisik.

“Saya kawin kontrak.”

“Wah seru nih?”

“Di mana proyek, di situ dapat istri. Pindah proyek ganti istri.”

Bang Kamin mencetus, “Sopir beko dia, kerjanya pindah-pindah.”

“Oh. Ekskavator.”

“Daripada ngontrak sendiri gak ada yang ngurusin, mending kawin. Tidur anget. Ada yang masakin, nyuci pakaian, masuk angin ada yang ngerokin, pegel-pegel ada yang mencetin.”

“Iya yah.”

“Saya jadi kenek, dikit-dikit belajar lama-lama bisa.”

Bang Darino menjadi tokoh sentral pada obrolan kami malam itu. Kami menjadi pendengar yang antusias menyimak kisah pengalamannya.

“Gaji mah gede kali yah?”

“Gaji saya delapan juta per hari.”

“Wow!”

“Per kubik tiga puluh lima ribu, per hari sekitar dua ratus tiga puluh kubik. Bayar karyawan dua orang sejuta, kasih istri sejuta, masuk kantong pribadi enam juta.”

Kami terperangah. Aku membayangkan, untuk mendapatkan penghasilan segitu aku harus bekerja dua bulan. Pantaslah, ketika sekali waktu dulu aku melihatnya melintas di jalan depan rumahku mengendarai Kawasaki Merzy, sepeda motor yang terbilang mahal saat itu.

“Sampai sesukses itu, itu sekolahnya sampai tingkat apa Bang?”  tanya Jodi lulusan SMP.

“Saya, SD saja gak lulus, cuma sampai kelas dua. Berhenti. Tanya tuh Kamin. Saya belajar otodidak. Semua alat berat yang dipunyai bos, saya coba pegang. Belajar, lalu bisa.

Ekskavator, buldozer, beko, silinder, forklift saya bisa. Saya selalu ingin tahu. Setelah itu dipercaya bos. Dari gaji yang terkumpul saya membeli sebuah eskavator. Alhamdulillah,”

“Terus, itu cerita istri bagaimana?” tanyaku.

“Wah saya sih, jangan dicontohlah. Tidak baik. Kawin kontrak. Proyek selesai, cerai. Semuanya enam. Istri yang sekarang, keenam. Saya gak pernah nyandung, poligami. Panjang ceritanyalah.”

“Cerita istri yang sekarang deh!”

“Nah, itu ceritanya begini. Saya kerja di proyek galian pasir. Selesai kerja ada yang datang, perempuan, namanya Widia. Dia bekerja di warung nasi. Pelayanlah. Roman mukanya sih lumayan manis. Hamil. Dia minta tolong. Tolong apa? Saya hamil. Lah, lu yang hamil minta tolong ke gua. Emang laki lu siapa? Dia bilang, itulah masalahnya. Apa masalahnya? Saya janda. Saya tanya, yang bikin lu hamil siapa? Diam dia. Siapa? Suara saya meninggi. Barulah dia jawab, tiga orang. Kaget saya, kok bisa. Coba sebutin siapa saja. Lu takut nyebutinnya, gak usah takut, ada gua. Ternyata pelakunya orang proyek juga. Sugali dan Marjaman kuli proyek, dan Darmadi kepala proyek. Kata saya, aduh, apa yang lu cari neng sampai tiga laki begitu? Dia diam saja, menunduk.”

“Terus...” cetusku.

“Gampang. Orang satu proyek jumlahnya gak lebiih dari lima puluh. Saya cari, ketemulah Sugali.  Tegas saya bicara, seperti polisi mau menangkap penjahat. Betul kamu yang bernama Sugali? Betul.  Kamu kenal dengan Widia, pelayan warung Pak Jajang. Gak Pak. Tidak mengaku dia. Kalau gak ngaku gua kepret lu. Widia hamil, kamu yang berbuat? Ketakutan dia, ngaku juga akhirnya. Iya Pak. Kamu harus bertanggung jawab,  kawini dia! Ampun Pak, saya tidak sanggup. Saya punya anak dan istri. Saya laporin polisi kamu! Ampun Pak. Dia mau cium kaki saya. Gak usah begitu, saya bilang. Kamu gak kasihan, dia hamil tanpa suami? Iya Pak maafkan saya. Sekarang begini, saya bayar kamu dua juta untuk mengawini si Widia. Sanggup? Malah terampun-ampun dia. Kalau tidak sanggup bagaimana kalau saya yang mengawini, kamu bayar kepada saya dua juta? Senang dia, katanya, begitu lebih baik pak, akan saya usahakan. Saya tegaskan, duitnya bukan buat gua, buat biaya persalinan.

“Langsung dikasih duitnya?”

“Minta waktu dia. Besoknya dibayar. Saya serahkan ke si Widia. Nah, hal serupa juga saya lakukan terhadap  Marjaman. Ternyata dia juga tidak sanggup mengawini. Keluarlah dua juta. Saya serahkan ke si Widia. Selanjutnya giliran kepala proyek, Pak Darmadi. Saya sudah kenal dia. Pengecut juga dia. Mulanya gak ngaku. Saya desak-desak, akhirnya ngaku juga. Takut dia lihat golok saya. Saya bilang, saya bayar empat juta, tapi bapak kawini dia. Minta damai dia. Kalau begitu, sini empat juta. Mau dia. Besoknya dia serahkan empat juta. Dapatlah semuanya delapan juta. Saya kasih semuanya ke si Widia. Nih delapan juta, buat biaya persalinan. Senang dia. Terima kasih Pak. Saya pantau terus kondisinya, kasihan. Kata saya, itu kandungan makin besar, berhentilah kerja. Saya ajak tinggal di kontrakan saya.Nurut dia. Tinggallah satu kontrakan dengan saya, tapi gak saya apa-apain. Beda kamar juga kok. Gak ada hasrat saya buat macam-macam. Yang saya pikirkan, saya ingin persalinannya selamat, sehat ibu dan bayinya. Alhamdulillah, pada waktunya selamat dan sehat. Selanjutnya, tiga bulan setelah bayi lahir, saya tanya, mau gak kalau saya nikahi? Dia bilang, mau Pak, alhamdulillah.”

“Jadi nikah?”

“Saya tanya, kamu ini janda, sebenarnya janda apa, cerai hidup atau cerai mati?   Kata dia, ya ditinggal begitu saja. Dua tahun lebih.  Saya gak mau nikah di bawah tangan. Ibarat motor, BPKB dan STNK-nya harus jelas. Saya minta nama dan alamat mantan suaminya. Saya cari. Dua hari baru ketemu, di kampung sana lewat rel kereta. Di teras rumah ada empat orang laki berkumpul. Saya tanya, mohon maaf siapa di antara bapak-bapak yang bernama Rastam? Satu orang ngaku. Saya bilang, bisa kita bicara empat mata, ayo cari tempat yang enak. Dia mau. Saya ajak naik di motor saya. Pas di tempat sepi berhenti. Betul yah saudara bernama Rastam? Ya. Saudara pernah punya istri bernama Widia? Betul, tapi sudah lama cerai.  Sekarang silakan tandatangani surat pernyataan ini, bahwa saudara menceraikan dia. Saya sudah mempersiapkan suratnya. Saya minta bantuuan Haji Mugeni, pegawai KUA. Dia yang membuatkan. Saya sempat tanya juga kepada Haji Mugeni soal cara supaya si Widia mendapat surat cerai dari pengadilan. Wah, kata Haji Mugeni, sulit, terlalu berliku-liku. Biayanya bisa habis sampai lima juta. Saya cuma minta dibuatkan belangko surat itu saja. Nah, si Rastam ragu-ragu. Saya bentak, mau gak saudara tanda tangan?! Keluarlah mental jawara saya, saya takut-takuti dengan golok. Gemetar dia, ketakutan. Tanda tanganlah dia. Sekarang begini, kata saya, itu istri sah saudara tidak dinafkahi selama dua tahun lebih. Sekarang saudara saya minta ganti rugi lima juta. Waduh Pak! katanya, saya tidak punya duit segitu. Terserah, mau dibayar atau mau saya laporkan ke polisi, atau saya bereskan dengan golok ini. Ketakutan dia. Pura-pura galak saya. Akhirnya saya diajak ke rumahnya. Dia minta bantuan orang tuanya. Dia minta tempo dua hari. Besoknya saya balik lagi. Dibayar lima juta.”

“Terus...”

“Saya gak ke Haji Mugeni, tapi ke Amil Marjuki, kenalan saya di Kampung Jatake. Saya kasih berkasnya, mau saya kasih uang jalan dia menolak. Seminggu saya balik lagi, jadilah akta cerai. Saya kasih saja seratus ribu. Sisa duitnya saya kasih ke si Widia. Punya cukup duitlah dia buat persalinan. Beberapa hari kemudian, melahirkan dia di klinik. Anaknya laki-laki. Sehat.”

Perbincangan kami sesaat terjeda oleh kedatangan dan kepulangan tamu. Bang Kamin pun tidak sepenuhnya menyimak cerita Bang Darino.

“Mirip siapa tu anak?”

“Gak jelas mirip siapa, bapaknya tiga. Entahlah siapa bapak aslinya.”

“Abang gak ikutan menanam sahamnya yah.” Berani sekali si Jodi bercanda.

“Tidaklah. Lagi pula saya nih walau orang bilang playboy cap kadal, gak pernah melakukan gituan di luar nikah, demi Allah. Alhamdulillah masih bisa jaga diri. Tapi keinginan ganti istri mungkin karena keadaan, termasuk keinginan mengawini si Widia. Saya tanya mau atau gak nikah dengan saya? Mau dia. Setelah selesai masa persalinan, saya nikahi dia. Nikah KUA, resmi. Yang mengurus pernikahannya juga Amil Marjuki. “

“Terus, sekarang dia tahu gak bahwa abang bukan bapak kandungnya?”

“Gak tahu dia, dia kira saya bapaknya saja. Saya juga sudah seperti anak sendiri. Sekarang anaknya sudah nikah. Begini ceritanya, dia kan sudah bekerja, sudah punya penghasilanlah. Dia punya pacar, dia bilang ke saya pengen nikah. Saya tanya, memangnya sudah punya tabungan berapa? Tiga puluh juta. Sama siapa Den? Anak bapak Marjuki orang Kampung Jatake. Siapa nama anaknya? Herlina. Saya mulai curiga, jangan-jangan amil Marjuki yang saya kenal. Begitu saya melamar, ternyata betul. Dia juga kaget. Duit tiga puluh juta yang pegang saya serahkan ke Amil Marjuki sepuluh juta. Pertimbangan saya, berapa pun duit yang diserahkan pasti habis.Pantasan saat acara resepsi mukanya kelihat cemberut. Hajatannya juga sederhana saja. Seminggu kemudian duit yang dua puluh juta saja kembalikan ke anak saya, buat biaya hidup. Jadi buat dia-dia juga. Sekarang sudah punya anak satu. Saya jadi kakek.”

“Sekarang abang masih kerja di proyek?”

“Gak. Pensiun, sejak tiga tahun lalu. Beko dijual. Sekarang nyangkut di ruko. Rukonya disewakan.”

“Enak yah, tinggal terima duit.”

“Alhamdulillah.”

Bang Kamin mencetus. “Boh dia mah, rukonya panjang. Sebulan satu M dapat kali.”

“Gaklah, gak sampe.”

“Banyak duit, gak tambah istri?” kataku.

“Tetap satu, dengan yang sekarang saya setia, lagi pula saya sudah tualah. Lebih baik memperbanyak ibadah. Siapa tahu nanti kita mati khusnul khatimah, betul gak?”

“Betul Bang.”.

Bang Darino melihat jam tangannya. “Maaf, sudah malam, saya pamit yah. Itu tadi omongan saya jangan direkam yah, jangan disebarin ke orang-orang. Gak ada yang vidioin kan? Malu saya. Yang jelek-jelek jangan ditiru yah. Ini mah saya cuma sekadar cerita pengalaman. Betul gak?”

Kami mengiyakan.

Sylvester Stallone, maksudku, Bang Darino menyalami kami satu persatu, terakhir menyalami Bang Kamin seraya menyerahkan amplop kondangan. Bang Kamin mengantarnya sampai menjalankan sepeda motornya.[]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun