“Siapakah orang terkaya di kampung kita?” cetusseorang teman ketikakami sedang berkumpul di bawah pohon mangga sambil menunggu jatuhan buahnyasuatu siang. Padahal sesungguhnya dia sudah punya jawaban yang menurutnya benar. Anak-anak lain melontarkan jawabanberagam disertai alasan.
“Babah Liem, karena sawahnya mencapai belasan hektare!”
“Haji Delit, kebun rambutannya luas.”
“Haji Jamhuri, punya toko emas di pasar kecamatan dan kebun bambu yang luasnya hampir separuh luas kampung.”
“Juragan Roban karena kerbau dagangannya banyak.”
“Ustaz Tajudin, karena setiap menjelang idul fitri menerima uang zakat fitrah dari murid-murid pengajiannya.”
Sementara itu seorang teman lainnyaris tak punya jawaban. Setalah berpikir keras barulah dia menjawab, “Banpol Sukirman. karena sering menyetop kendaraan yang lewat dan meminta uang.”
Aku menjawab paling belakang. Kupikir dia memilih kakeknya yang setiap hari Ahad dan Rabu belanja ke pasar untuk dagangan warungnya. “Wak Onjong, kakekmu!”
“Semuanya salah!” tandas empunya pertanyaan, “Jawabannya adalah Bang Hamid!”
“Lo?!” Mereka tidak terima.
Aku menantikan dia menyampaikan alasannya.