Namanya lengkapnya Makmur Sukatma, biasa dipanggil Kimung. Waktu pertama kali masuk kelas satu di SD Inpres Kampung Angin tahun 1977 usianya hampir sembilan tahun. Karena dianggap ketuaan, Pak Hadjar, kepala sekolah merangkap guru kelas satu mengetesnya membaca, menulis dan berhitung.Â
Hasilnya dianggap bagus. Dinaikkanlah dia ke kelas dua. Selanjutnya, dengan mudah dia dapat mengikuti pelajaran. Saat kenaikan kelas dia berhasil meraih juara pertama. Dia tampil di panggung perayaan kenaikan kelas untuk menerima hadiah. Kepala desa yang menyerahkan hadiahnya yang terbungkus kertas kado bermotif batik. Isinya sejumlah buku tulis bergambar Raja Dangdut Rhoma Irama. Di kelas tiga dengan bangga dia menggunakan buku itu. Tahun-tahun selanjutnya, berturut-turut dia dinyatakan sebagai juara pertama, bahkan sampai lulus.
Ibunya sebagai paraji, dukun beranak, dan ayahnya pedagang ubrag-abrig, yakni berjualan barang-barang kelontong keliling, dipikul. Karena keterbatasan ekonomi orang tuanya,  dia tidak bisa melanjutkan ke SMP. Ketika itu di Kampung Angin  kesadaran para orang tua untuk terus menyekolahkan anaknya masih sangat rendah.Â
Hanya beberapa orang temannya yang melanjutkan sekolah ke SMP di dekat kantor kecamatan. Untuk mengisi waktu dan meringankan beban orang tuanya dia kuli menggembala kambing milik Babah Ong, warga keturunan Tionghoa yang orang tuanya tinggal di Kampung Angin sejak zaman kolonial Belanda.
Dalam usia dua empat puluh tahun dia menikah dengan gadis di kampung lain. Selanjutnya dia tinggal di lingkungan mertuanya. Dia kerap berboncengan sepeda dengan istrinya ketika berkunjung ke rumah orang tuanya. Dia tampak baik-baik saja. Bersamaan dengan itu, tersiar  kabar bahwa dia menjadi bagian dari komunitas yang disebut orang sebagai aspek alias antispeker, yakni kelompok masyarakat yang mengharamkan alat pengeras suara terutama Toa. Mereka juga mengharamkan kue cucur karena bentuknya menyerupai gong. Si Kimung tidak mau berdebat mengenai pandangannya yang dianggap sempit dan keliru. "Datang saja ke guru saya," kilahnya diplomatis.
***
Setelah lama tidak memasuki Kampung Angin, sebuah kabar mengagetkan mengenai Si Kimung beredar di kalangan warga.
"Si Kimung edan!" cetus seorang perempuan saat berkerumun membeli nasi uduk suatu pagi.
"Maksudnya?" sambut perempuan lain.
"Sakit jiwa. Gila."
"Si Kimung mana?"