Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Iming-iming

17 April 2018   21:33 Diperbarui: 17 April 2018   22:10 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru beberapa ratus meter meninggalkan tempat kerja, ponselku berdering. Aku segera menepi. Sepeda motor kumatikan. Ternyata yang menelepon adalah istriku. Dengan suara tergopoh-gopoh dia mengabarkan bahwa Bang Jimat, tetangga kami mendapat hadiah langsung mobil keluaran terbaru.

Mereknya seperti yang dipakai ketua DPR dan menabrak tiang listrik beberapa waktu lalu. Mengejutkan.  Kuponnya didapati dari dalam kemasan sabun cuci. Seperti halnya istriku, akupun tidak begitu gembira mendengar kabar itu. Segera kusudahi percakapan kami dan akan dilanjutkan di rumah.

Baru saja aku mau tancap gas, tiba-tiba terdengar bunyi SMS masuk. Khawatir ada hal penting, segera kubuka. "Selamat nomor SIMcard anda resmi meraih hadiah ke-2 Rp 175 jt...." Tak kuteruskan membaca. Aku tidak percaya. Aku teringat pada ucapan selamat semacam itu yang kuterima sebelumnya.

Selamat, Anda terpilih menerima Bonus USD 50 jika mendaftar FBS hari ini. Ada lagi: Selamat ya! Kamu dapat berkesempatan memenangkan total hadiah 50 juta di ..... Aku mulai kebal terhadap hal seperti itu. Orang seenaknya saja mengirim pesan berisi iming-iming hadiah sampai ratusan juta rupiah tanpa melihat siapa yang dikiriminya.

Kuteruskan perjalanan dengan laju lebih cepat agar segera tiba di rumah. Pikiranku tertuju pada kabar keberuntungan tetangga kami. Aku berharap kabar itu tidak benar. Sesunguhnya aku terjalari perasaan iri yang tak mudah kutepiskan.

Apa pula kata ibu mertuaku nanti. Pasti dia akan mengoceh seperti yang sudah-sudah: Kerja sudah bertahun-tahun, hasilnya dapat anak doang. Lihat tuh orang-orang,beli sabun cuci saja hasilnya mobil baru.Mujur nasibnya. Dasar kalian, makan jeruk di kebun pandan, nasib buruk di kandung badan.Ibu mertuaku itu memang terlalu peduli, apa pun dikomentari, walau komentarnya seringkali tidak menyejukkan hati. Seperti kurang kerjaan saja. Beginilah repotnya tinggal di kawasan kompleks mertua indah.

Aku terus memikirkan cara agar mobil hadiah itu jatuh ke tangan kami tanpa menggunakan cara kekerasan. Biasanya terhadap pemenang dikenakan pajak. Andai dua puluh persen untuk mobil baru bukan jumlah duit yang sedikit bagi tetangga kami itu. Aku berharap Bang Jimat mau menjual mobilnya dengan harga murah. Setibanya di rumah aku disambut wajah cemberut istriku. Sebuah SMS masuk, segera kubuka: ....  

"Benar Mpok Anah dan Bang Jimat mendapat hadiah mobil?" Aku penasaran.

"Aku lihat sendiri kupon dan brosurnya asli."

"Yakin?"

"Seratus persen yakin."

"Duh, andai saja kau yang mendapatkannya..."

"Ya pasti senang-lah. Tapi sekarang kenyataannya dia yang dapat."

"Kalau begitu, nanti kita beli sabun cuci yang banyak."

Sesunguhnya aku lapar, tapi tak ada selera makan. Ketika aku mencoba memaksa diri untuk makan begitu membuka tutup saji di meja makan ternyata cuma ada nasi, tak ada lauknya. Rupanya istriku malas memasak gara-gara tetangga mendapat hadiah mobil. Sayuran yang telah dibelinya dibiarkan tergeletak begitu saja di samping kompor.

Sudah lama aku mendamba punya mobil agar bisa pergi ke mana-mana sekeluarga lewat jalan tol, selain untuk meningkatkan gengsi. Kupikir ini kesempatan baik.

"Kita bayari saja mobilnya nanti dengan harga murah, atau pajaknya kita bayar agar hadiah bisa kita ambil, sisanya kita bayar ke Mpok Anah dan Bang Jimat."

Semula istriku mengangguk setuju, tapi kemudian ragu. "Wah, tidak mungkin. Dia bisa minta bantuan kepada saudaranya yang kaya."

"Semoga saja saudara-saudaranya sedang tak punya duit!"

"Memangnya kita punya duit?"

"Bisa cari pinjaman, tapi kemana yah?"

"Bagaimana kalau kita coba urus SMS ini, siapa tahu benar." Istriku menunjukkan SMS yang masuk di HP-nya. Selamat Siti Markonah! No tlp 085213250999 trpilih bs menang 150jt yg akan dibayarkan Tgl 15/04 dr Anugerah Pelanggan Basional. Hub 08041100888 skr! CC7734. "Atau yang ini, lebih banyak lagi." Selamat Siti Markonah! Tgl lahir Anda terpilih utk bisa mendapat hadiah 399jt. Telp skrg 08041401028 Segera! Hny berlaku 24jam. Ref: 7662.

"Hah, jangan percaya!"

Rasanya tipis kemungkinan harapan kami bisa terkabul. Yang aku tahu, kedua saudara Bang Jimat pernah datang dengan mobil bagus di parkir dekat mulut gang. Artinya mereka orang berpunya. Sejujurnya kami tak rela jika tetangga kami itu benar-benar mendapat hadiah mobil baru. Sepanjang malam obrolan kami masih seputar mobil yang akan menjadi miliknya.

"Mudah-mudahan, penipuan." Aku berharap.

"Penipuan bagaimana. Suratnya asli, aku melihat sendiri ada cap perusahaan dan tanda tangan direkturnya kok."

Gendang telingaku bisa robek nanti, gara-gara bunyi klaksonnya yang sengaja dimain-mainkan sekadar pamer dan bangga-banggaan. Gara-gara dia akan mendapat hadiah mobil baru, tidurku jadi terganggu. Obrolan kami tentang mobil mahal itu hampir tak ada habisnya. Paginya, istriku meriang. Kukira, bukan saja akibat begadang, stres juga dia akibat tetangga akan mendapat hadiah mobil baru. Terlalu.

**

Setangkup kopi hitam baru tiga kali aku seruput. Satu pak biskuit bermerek Romeo dengan kemasan plastik merah tinggal beberapa keping. Sebelumnya kami juga yang memakannya. Aku makan beberapa keping dengan mencelupkannya ke kopi lebih dulu. Nikmat! Kusisakan sebagian untuk istriku. Plastik kemasan biskuit itu sekejap berpindah ke tangan istriku. Sesaat dia tergopoh-gopoh.

"Ada apa?" Aku heran.

"Baca, rezeki milyaran!" Dia memekik.

"O ya?"

"Dengarkan Mas, aku bacakan: Menangkan hadiah ratusan juta. Keluarkan biskuit dan gosok kode unik di bawah,.."

Pada bagian bawah kiri ada juga tulisan: Promo tanpa biaya. Hati-hati penipuan! Namun ternyata tempelan. Aku berhasil mencopotnya. Aku tak yakin itu bawaan dari pabrik. Siapa pun bisa menempelnya, bisa pula ditempelkan pada kemasan produk apa saja. Selanjutnya kuabaikan.

"Jangan terlalu berharap, Dik. Tapi seandainya itu benar, syukurlah." Aku tak tega mengakhiri kegembiraannya.

"Berdoa dong Mas! Semoga saja benar. Boleh dong kita jadi milyarder." Istriku sangat berharap.

"Ya, aku berdoa. Sudah dicek ke website-nya?"

"Belum. Kuota internetku habis."

"Sama."

Istriku segera ke warnet, naik sepeda motor. Hampir setengah jam dia baru kembali. Mukanya cemberut. Walhasil, gagal. Katanya, di internet muncul tulisan bahwa kode unik dan nomor ponsel tidak ditemukan.

Pada lain kesempatan sekadar untuk memastikan aku buka website-nya. Benar ada iklannya. Sepertinya cukup meyakinkan. "Siapa tahu benar!" Iklan itu seolah menggodaku. Kucari alamat perusahaannya. Kikirim permintaan klarifikasi melalui alamat email-nya, tapi tak pernah ada balasan.     

**

Pagi-pagi sebelum berangkat kerja aku menyempatkan diri membeli biskuit dengan kemasan yang sama di warung sebelah rumah Bang Jimat.  Kebetulan dia sedang menyemir sepatunya di beranda.

"Bagaimana Bang hadiahnya sudah sampai mana?"

"Lagi diurus, Mas Julid!"

"Tidak mengurus sendiri?"

"Diurus Saudara saya yang tentara."

"Oh, ada yang tentara?"

"Sepupu istri."

"Berapa pajak yang harus dibayar."

"Belum tahu."

"Rencana mau dipakai sendiri mobilnya?"

"Ya, lumayan buat pergi-pergi."

"O, gitu. Tapi di sini sempit. Dimana garasinya nanti?"

"Di simpan di rumah saudara."

Aku masih berharap mobil yang akan diperolehnya nanti bisa berpindah ke tanganku. Pikirku, kami harus berjaga-jaga dengan menyiapkan sejumlah duit untuk membayar pajak hadiah mobilnya, siapa tahu ada keajaiban. Setidaknya, aku bisa membeli mobil dengan harga separuh dari harga normal.

Sebelum sarapan biskuit, iseng, kogosok penutup kode uniknya pada stiker tempelnya. Muncullah kode unik 301A37. Aku tak tertarik dengan hadiah ratusan juta yang meragukan itu.  Mobil yang akan diperoleh Bang Jimat lebih menggiurkan. Aku akan berjuang mati-matian mencari pinjaman duit demi mendapatkan mobil bagus itu.

Hari-hari kami, siang dan malam, tak luput dari membicarakan mobil yang akan diperoleh Bang Jimat. Kata istriku, tampang seperti Bang Jimat tidak pantas punya mobil bagus. Pantasnya dia punya odong-odong. Kukira juga itu tidak berlebihan. Dia itu berurat susah. Buktinya, saudaranya orang berpunya, cuma dia yang jauh dari kata kaya.

Kata orang, dia terlalu jujur, polos. Padahal peluang untuk mengambil keuntungan selalu terbuka di tempat pekerjaannya yang terbilang tempat basah.   Tapi menurutku dia tetap sombong, mentang-mentang saudara-saudaranya kaya.  

**

Sepulang kerja aku terbelalak begitu membuka Quran duitku dua juta rupiah tidak ada. Sampai berkali-kali kubolak-balik halaman demi halaman. Tidak ada. Kutanya istriku barangkali dia mengambilnya. Ternyata tidak. Surti, anakku, juga tidak. Rencanaku duit itu akan dibelanjakan bahan bangunan untuk merenovasi dapur. 

Sengaja aku menyimpannya di Quran agar tidak dicuri tuyul. Belakangan beredar kabar bahwa warga di kampung tetangga banyak yang kehilangan duit karena dicuri makhluk yang konon menjijikan itu. "Berani-beraninya tuyul masuk ke lipatan Quran, apa tidak kepanasan?" Dalam hati aku terheran-heran.  

Anak pertamaku tampak senyum-senyum sendiri padahal dia tidak sedang bermain HP seperti biasanya. Entah apa yang menyebabkannya. Selanjutnya kuabaikan dia. Menyusul istriku tiba. Dia baru saja dari warung.

"Kabar gembira. Kabar gembira, Mas." Wajah istriku tampak ceria.

"Ada kabar apa? Mobil Bang Jimat sudah datang? Bisa kita bayari setengah harga atau tidak?"

"Bukan. Dapat mobilnya tidak jadi. Gagal, Mas. Dia tertipu. Ternyata itu penipuan, Mas. Penipuan!"

"Alhamdulillah.... Syukurlah kalau begitu. Mungkin itu juga bagian dari akibat urat susah dia."

Kami merasa senang dan puas.   

Surti yang diam sejak tadi tiba-tiba angkat bicara, "Nah semua senang, bukan? Bapak dan ibu akan lebih senang lagi, aku punya kejutan!"

"Ada kejutan apa Nak?" Istriku antusias.

"Sore ini, esok atau lusa, akan datang sebuah minibus baru warna merah marun datang dari arah selatan."

"Kok, bisa?" Aku juga penasaran.

"Kenapa tidak?! Baca,  ini SMS-nya. Aku jadi pemenang undian mobil dari sebuah bank swasta ternama. Pajaknya sudah aku bayarkan ke nomor rekening yang tertera di sini."

"Alhamdulilah!"  ucap istriku spontan memeluknya. 

"Kamu memang pembawa keberuntungan Surti." Aku terbawa arus. Tapi mendadak aku curiga. "Bayar pajaknya?"

"Dua juta, Bapak."

"Pakai duit bapak yang disimpan di Quran?"

Surti mengangguk gembira.

"Aduh!" Aku menepuk kening. "Bodoh kamu. Itu pasti penipuan!"

"Tidak mungkinlah, Bapak. Duitnya sudah dikirim kok! Pak Haji Sueb yang menelepon aku janji mobilnya akan segera dikirim."

"Bohong itu!"

"Iiiiih, Bapak tidak percaya!"

"Ampun, Buuuuuuu anakmu ini!"

Istriku malah membela. "Sabar Pak, siapa tahu mobilnya sedang dalam perjalanan."

"Dalam perjalana ke Hongkong?! Kalian ini bagaimana?!"

Aku gemas, kesal, bercampur kecewa. Sampai malam, pagi, sore lagi, dan lusa tak ada orang yang datang membawakan hadiah mobil yang dinantikan anakku. Yang datang justru adikku dari kampung mau meminjam duit lima belas juta, katanya untuk berobat istrinya yang menderita penyakit kudis.

"Penyakit kudis kok mahal amat biaya pengobatannya. Bukankah cukup dengan obat penyakit kulit yang harganya lima belas ribuan?"

"Maklumlah, dia manja sekali. Dia punya keinginan yang harus segera dipenuhi. Kalau penyakit kudisnya sembuh dia minta dibelikan sepeda motor baru. Sekarang kudisnya hampir sembuh."

"Hahhhh, Ndul, ngarang kamu! Aku tidak ada duit!"

Menyebalkan, benar-benar menyebalkan. Surti mengurung diri di kamar karena telah yakin tertipu. Adikku, si Gendul mau pulang, minta diongkosi. Genaplah cobaan hidupku. Tapi aku tidak sendiri, menyusul datang kabar bahwa sejumlah warga kampungku tertipu. Mereka tergiur iming-iming biaya murah untuk berangkat umroh. Jutaan rupiah uang mereka amblas. Masya Allah![]

Tangerang, 01/12/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun