Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Motor Paino

3 Mei 2014   01:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman saya, sebutlah namanya Paino, bukan piano. Dulu, tahun 80-an, ketika orang yang punya sepeda motor di kampung masih dalam hitungan jari, dia punya motor. Katika itu pemuda yang punya motor terbilang keren dong. Dari mana dia punya motor? Dari mana lagi kalau bukan dibelikan orang tuanya. Dari mana oorang tuanya punya duit? Dari mana lagi kalau bukan jual tanah warisan. Memang, pada masa itu orang sedang gairah-gairahnya menjual tanah meski harga yang ditawarkan PTterbilang murah.

Paino punya motor. Bahagialah hidupnya. Berkat motor itu pulalah urusan per-cewek-an bisa lancar. Walhasil, menikahlah Paino dengan Kasirah, cewek santri nan seksi kalau gak pake baju. Lengkaplah motor Paino. Selain bisa naik motor bebek, juga bisa motor-motoran dengan Kasirah.

Pagi gelap ketika sebagian besar orang-orang masih tidur, tetangganya mendengar suara sepeda motor lewat. “Tumben tu si Paino pagi-pagi begini sudah keluar,” pikir tetangganya.

Begitu matahari sudah moncorong warga sekitar dikejutkan oleh berita kehilangan motor. Motor Paino digondol maling. Paino lagi apes! Kalau motor sudah hilang, kecil harapan untuk bisa kembali. Begitu pun dengan motor Paino. Tak ada kabar beritanya hingga bertahun-tahun kemudian.

Meskipun tak ada motor bebek, tapi Paino masih suka ‘motor-motoran’ dengan Kasirah.

Rejeki memang Alloh yang mengatur, bagaimanapun caranya kemudian Paino mampu membeli motor kembali.

Keluarganya dikaruniai anak satu. Sebagai orang kecil, genaplah kebahagiaan Paino. Sebagai kepala keluarga, Paino sangat setia dan bertanggung jawab. Dia pekerja keras. Banting tulang, peras keringat. Berangkat pagi pulang petang. Istri dan anak selalu menanti di rumah.

Suatu sore, sepulang kerja. Biasanya kalau pulang kerja telah tersedia nasi dan lauk-pauk di meja makan. Namun kali ini lain. Begitu tutup saji dibuka, tak ada apa-apa kecuali secarik kertas.

Paino melongo. Pada secarik kertas itu ada tulisan istrinya. Tulisannya cuker-caker. Tapi masih bisa dibaca. “Maaf Kang, sekarang kita cerai saja. Si Robin sebenarnya bukan anak dari Akang. Ayah si Robin sebenarnya Markesot.”

“Kasirah ini tulisan Kamu?!” teriak Paino. Terjadilah ‘dukdek-dukdek’, percekcokan. Paino berusaha menahan emosi sehingga tak terjadi ledakan. Pada akhirnya Paino sadar terhadap pengakuan istrinya bahwa benar ada andil Markesot atas kelahiran anaknya.

Biang keladinya adalah Markesot yang tak lain adalah keponakannya sendiri.

Paginya, Paino datang kepada saya, meminta pendapat atas kasusnya.

Selanjutnya saya menemui Markesot di tempat pekerjaannya, pabrik pengolahan kayu. Saya minta ijin kepada pemilik pabrik untuk berbincang dengan Markesot.

“Sot, apa benar kamu meniduri istri Paino sampai jadi anak?”

“Benar.”

“Paino akan menceraikannya. Kamu mau mengawininya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Kalau saya kawini, saya khawatir dia bisa selingkuh dengan orang lain.”

Yakinlah saya bahwa Markesot memang melakukannya.

Singkat cerita, Paino jadi duda. Paino telah kehilangan ‘motor’ yang bisa kentut. Tak mudah baginya untuk mendapatkan penggantinya. Mencari jodoh tak semudah membalik telapak tangan.

Saya yang masih jomblo ketika itu jadi punya teman. Sempat pula kami berburu cewek, tapi tak berhasil.

Suatu malam, saya ikut Paino nonton film layar tancap di kampung sebelah. Maklumlah saya tidak punya motor.

Mennurut saya cerita film tak begitu seru, apalagi waktu mendekati tengah malam. Saya mengajak Paino pulang. Paino setuju. Pulanglah kami. Sampai depan rumah saya, saya turun, Paino meluncur ke arah rumahnya. Pulang. Tak ada mimpi aneh dalam tidur saya.

Paginya saya dikejutkan dengan berita bahwa motor Paino digondol maling di penontonan. “Haaaaaaah di penontonan?” saya pelanga pelongo. “Kan semalam Paino pulang sama saya, bagaimana bisa motornya hilang di penontonan?”

Duh, ternyata semalam Paino kembali ke penontonan.Haaaaah Painoooooooooo, Paino. Saya hanya bisa menghela napas. Paino pun kembali kehilangan motor. Paino apes.

Hikmah yang bisa saya renungkan atas nasib Paino bahwa harta, istri, dan anak hanya titipan. Jika Gusti Alloh menghendaki sekalipun kita sudah berusaha menjaganya dengan mudah bisa lepas dari tangan kita. Meskipun demikian kewajiban kita adalaah menjaganya dengan sebaik-baiknya. Selain itu, kita juga tidak boleh putus asa dari rahmat Alloh karena terbukti, di masa-masaa berikutnya kehidupan si Paino kembali normal.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun