Oleh Usman D.Ganggang *)
Malam itu, tidak seperti biasanya, halaman belakang gedung tua(Gedung Arsip Nasional) yang dibangun abad ke-18 yang konon ceritanya, pernah ditinggali oleh Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk, tidak terdengar hingar bingar suara warganya. Tetapi kini, .terdengar gelak tawa, serta senyum-senyam, di sana-sini. Apa gerangan? Ternyata yang memecah keheningan gedung tua adalah himpunan penyair bersama undangan . Gedung tua ini saksi bisu deklarasi 50 penyair untuk menolak Terorisme.
Sang Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (foto Fidel Hardjo)
Di antara yang brewok. Jenggot melingkar, pakaian sesadanya, dan rambut acak itu, ada seorang penyair yang ditunggu-tunggu undangan. Tak main-main, penyair tersebut dijuluki, Presiden Penyair Indonesia. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan Sutardji Calzoum Bachri, yang awalnya dikenal sebagai “Penyair Bir”.dan punya konsep dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Nah, ketika Deputi I Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradiskalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Agus SB menguraikan panjang lebar terkait sejarah dan upaya kegiatan pencegahan terorisme, dan Ketua Daulat Bangsa, Soffia Ihsan berbicara berbagai aksi terorisme hingga bertumbuh dan bermetamorfosa dari jaringan besar sampai terwujud pada bersifat individual, secara gamblang diuraikan secara tersurat dan jelas, pada acara Pergelaran seni dan sastra, 22 September 2014 di Gedung Arsip Nasional, maka Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzum Bachri ketika disuruh berorasi, malah membaca beberapa puisi.” Disuruh untuk orasi malah baca puisi”, celetuknya, lalu menambahkan,” Orasi penyair adalah membaca puisi”, ungkapnya.
Sang Presiden Penyair sedang diwawancari penulis Fidel Hardjo.
Tetapi ketika penyair yang kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 itu, tampil di panggung, akhirnya, semua diam. Sunyi pun datang seketika dan penonton tersihir karena mantranya yang paling mujarab itu. Sutardji berujar ulang,”Orasi penyair adalah membaca puisi”.Kemudian dia mainkan harmonikanya, mengikuti alur nada puisinya, sebentar meninggi, sebentar menurun, begitu seterusnya, lalu ditutup dengan diam sejenak “Untuk apa?” tanya kita selanjutnya. Ternyata, berusaha mengatur nafas, sekaligus mengambil tone terkait puisinya yang selalu bernada tinggi itu, untuk kemudian membombardir kata-kata multi makna, sebagaimana layaknya jiwa sebuah puisi.
Penonton yang duduk melingkar di alam terbuka. malam itu, terhibur, dengan kata- kata puisitis Sang Presiden Penyair Indonesia itu. Dalam suasana santai itu juga, sungguh terasa setiap penonton berusaha menangkap pesan tersirat dari puisi Sutardji. Bagaimana tidak? Ketika Sutardji berujar,” /Apa gunanya merdeka/Kalau tak bertelur/Apa gunanya bebas/Kalau tak menetas?//. Sampai di sini undangan dan penonton, terkesima menunggu jawabannya.Tetapi kemudian, malah Sang Presiden bertanya lagi,” Wahai pemuda mana telurmu?” Tanpa menunggu dan memang tidak ada yang mau bertanya selain mencermati orasi lewat puisi ini, penonton dan undangan dibuat jengah dengan sebuah sindiran pedas berikut ini,”/Burung jika tak bertelur/Tak menetas/Sia-sia saja terbang bebas//.
Sampai di sini penonton dan undangan berusaha menangkap pesan-pesan tersirat Sang Presiden.Dan rupanya, Sang Presiden paham apa maunya undangan dan penonton, maka dia pun beri simpulannya,: / Setelah kupikir-pikir/Manusia ternyata burung berpikir/Setelah kurenung-renung/Manusia adalah/burung merenung/Setelah bertafakur/Tahulah aku/Manusia harus bertelur//. Dalam situasi diam itu, penulis terkaget-kaget ketika teman saya di samping berujar,“Haem.., telur harus menetas!”. Kawan yang tersenyum-senyam.”Iya, jangan bertelur kalau tidak mau menetas”, sambungnya.
Ketua Komunitas Sastra Indonesia (baju berwarna merah), penulis, dan Fidel Harjo
Penonton dan undangan pun, akhirnya terseret ke dalam kata-kata sang penyair yang terasa penuh lantang apalagi bunyi letupan suaranya laksana senjata api. “Jika senjata dan bom bisa menusuk dan memusnahkan tubuh yang berontak, maka kata-kata penyair bisa menusuk kalbu”demikian diungkapkan Fidel Hardjo seorang penulis lepas yang berdomisili di Jakarta Selatan. Apa yang diungkapkan Fidel, terasa klop dengan nuansa makna yang diungkapkan penyair sekaligus menjawab, harapan Ketua Lembaga Daulat Bangsa, Soffa Ihsan,” Melalu sastra melesak jiwa-jiwa kepedulian yang bermataair dari kegalauan, keperihan dan kepedihan. Ia menjadi pengembaraan kata-kata yang melampaui realitas baku, kaku, dan segala rupa verbalitas,” ujarnya.
Dan akhirnya juga Fidel Hardjo yang sedari tadi bersama penulis berujar puitis,”Jiwa yang tenang dan damai akan memancarkan ketenangan dan kedamain pula. Jika saja dunia ini dihuni oleh orang-orang yang jiwanya tenang dan damai, masih adakah kekerasan?” tanyanya merespons kata-kata bermakna dari Presiden Puisi Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal dengan hadirnya Kumpulan puisinya yang berjudul “O Amuk Kapak”. Antalogi puisi bertajuk O Amuk Kapak ini, merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. “Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern”, sambung teman penulis dari Bekasi Timur.
Selain membaca Puisi Wahai pemuda mana telurmu?, Sutardji pun membacakan lagi sajak berjudul “JEMBATAN”. Dalam sajak ini, sang penyair bertanya, seperti pada penggalan ini,…./Wajah yang diam-diam menjerit mengucap:/ tanah air kita satu /bangsa kita satu /bahasa kita satu/ bendera kita satu ! // Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan/mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah / yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ? //.
Selain Sang Presiden Puisi Indonesia, beberapa penyair juga diminta untuk membaca karyanya yang terkumpul dalam Kumpulan Puisi “Pengantin Langit”. Penyair-penyair tersebut, antara lain : Tony Soemarno (ASKOP) membacakan puisinya berjudul Puisi Pilihan; lalu Alex R.Nainggolan membacakan puisinya berjudul “Jangan “Dulu Keluar Rumah”; Tomas Harianto Sukiran dengan puisinya “Calon Pengantin’, dan beberapa penyair lainnya.
Acara ini, juga dimeriahkan oleh Kelompok Musikalisasi Puisi Oman Suwung (Kidung Suna Kalijaga dan satu puisi); Pagelaran Wayang Kulit Betawi Mekar Jaya oleh Dalang Sukarlana; dan menjelang penutupan, Pembacaan Deklarasi Puisi Menolak Terorisme dan Penandatangan Deklarasi secara simbolis. Akhirnya, Pagelaran “Sastra Menolak Terorisme”yang berlangsung di Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta Barat, Senin (29/9) malam, itu ditutup pada pukul 23.00.
‘Iya, acara diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kerja sama Lembaga Daulat Bangsa dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), ini terbilang sukses”, demikian komentar penonton saat pulang. Sementara Sang Ketua Ketua Komunitas sastra Indonesia, Bambang Widiatmoko, berkomentar,”Sastra niscaya menjadi aktualisasi dalam mewujudkan perdamaian dan seiring dengan itu, sastra bisa menjadi ‘amunisi’ untuk berperan aktif menanggulangi dan mencegah terorisme”. ***)
Jakarta, 23 September 2014
Usman D.Ganggang *) kelahiran Bambor Manggarai –NTT, kini berdomisili di Kota Kesultanan Bima.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI