Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rimpu, Jilbabnya Orang Bima

26 Mei 2013   18:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:59 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369565552326232539

Kalau Anda ke Bima atau Dana Mbojo di Pulau Sumbawa-NTB, terutama di pedesaan, maka Anda tidak usah heran mengapa kaum wanitanya menutup auratnya dengan dua kain. Satunya diikat di pinggang dan satunya lagi diikat di kepala, tepatnya hanya mata dan wajah saja yang dapat dilihat. Itu sebenarnya jilbabnya orang Bima dari dahulu kala. Bahkan jauh sebelum pengaruh Islam masuk di Bima, rimpu itu ada.. Menurut cerita tetua adat di beberapa desa yang saya kunjungi, rimpu ini sudah dikenakan sejak dahulu kala, bahkan sebelum Islam masuk di Indonesia dana Mbojo atau Bima khususnya.” Rimpu ini ada dua macam”, demikian seorang tua Adat bernama Abdullah yang saya temui di Sape perbatasan Timur Pulau Sumbawa yang berdekatan dengan Pulau Komodo termasyur itu. Menurut beliau, rimpu itu terbagi: . Perttama Rimpu Mpida: hanya matanya yang dapat dilihat sedang bibir dan hidung, dan leher tidak kelihatan. Yang ini identik dengan cadar sekarang ini. Kedua, Rimpu Colo , mata dan hidung kelihatan tapi leher tetap ditutup sehingga orang tidak lagi perhatikan apakah leher jenjang atau tidak. Rimpu yang kedua ini sama dengan bentuk jilbad yang dikenakan kaum wanita saat ini. Dahulu kala , kata sahabatku, rimpu ini digunakan kaum wanita tidak sekedar untuk menahan panas pada siang hari kalau pergi kerja. Tetapi juga menghindarkan diri dari gangguan kaum lelaki yang sering mengintai mangsanya. Oleh karena itu, kaum lelaki tidak sembarangan bertindak terutama dalam hal yang negatif. Kaum lelaki sangat menghormati kaum wanitanya. Iya, lanjut sahabatku yang sdh naik haji itu, perempuan itu terbentuk dari kata “empu dan per-an. Empu artinya tuan, sedangkan per-an mengandung makna hal. “Jadi, perempuan berarti, ” hal-hal yang dipertuan dalam artian harus dihormati, disayangi, dan dikasihi”.ujarnya sembari menambahkan, “Percayalah, kalau kaum wanita mengenakan rimpu, maka kaum lelaki tidak akan berbuat senonoh dengan kaum perempuan. Sahabat saya tadi, berharap agar kaum perempuan Dana Mbojo sekarang harus memahami latar belakang dari kehadiran rimpu ini. Bagaimanapun dengan berrimpu, kaum perempuan tidak akan mudah diganggu kaum lelaki. Itu pula sebabnya, ia berpesan agar kaum perempuan Dana Mbojo mempertahankan budaya rimpu ini. Ini adalah warisan leluhur warga Dana Mbnjo yang kita cintai ini. Selanjutnya, dengan derasnya pengaruh budaya luar, perlulah diantisipasi dengan cermat. Kalau tidak, maka nilai-nilai budaya yang positif dari wilayah akan hilang. “Ingat katanya lebih lanjut, menemukan kembali nilai yang hilang itu butu waktu, tenaga dan dana!” Ketika saya mengikuti pawai budaya dalam rangka HUT ke-9 Kota Bima, saya mellihat hanya sedikit yang mengenakan rimpu. Apa ini pertanda sudah ditinggalkan oleh kaum perempuan? Bisa jadi karena memang mereka sekarang sudah mengenakan jilbab. Pertanyaannya, apakah di desa – desa masih mengenakan rimpu yang merupakan warisan terindah para leluhur Dana Mbojo? Insya Allah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun