[caption id="" align="aligncenter" width="654" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Empat Malam untuk “Malam Pertama” (1)
Menyebut “malam pertama”, sudah barang tentu perhatian kita akan tertuju pada sebuah acara yang dilaksanakan setelah kedua mempelai diakadnikahkan. Iya, semua orang tahu. Tapi untuk setiap daerah ceritanya lain. Barangkali tepatlah kalau dikaitkan dengan ungkapan”Lain lubuk lain pula ikannya. Artinya, lain daerah lain pula adat istiadatnya terutama terkait dengan acara “malam pertama” buat kedua mempelai.yang sudah diakadnikahkan.
Foto :usman d.ganggang Seperti yang akan diuraikan penulis berikut ini. Ternyata, di daerah Manggarai Barat, tempo doeloe, khususnya masyarakat di Kecamatan Komodo termasuk kecamatan pemekarannya, mengakui bahwa untuk acara “malam pertama” seusai akad nikah, dalam prakteknya, mereka tidak mengenalnya dengan hanya semalam suntuk. Bagaimana ceritanya? Ini uraiannya buat pembaca setia! Rada unik memang! Harus diakui di kawasan Kecamatan Sano Nggoang dan sekitarnya, Manggarai Barat (Mabar) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak mengenal istilah semalam untuk “malam pertama”. Mereka merasa tidak afdol kalau dilaksanakan hanya semalam. Untuk “malam pertama”, barulah komplit rasanya kalau dilakukan selama empat malam. Hasilnya, pun disaksikan oleh kaum kerabat. Rangkaian acara berikutnya juga mengasyikkan karena pada acara “mandi bersama”di depan pintu rumah, akan diketahui juga, apakah anak yang dilahirkan nantinya oleh kedua mempelai, anak laki-laki atau anak perempuan? Semuanya, diketahui oleh kaum kerabat usai membelah kelapa muda di depan rumah. Ya, aneh memang tapi itulah cerita nyatanya! Konon, di wilayah Kecamatan Sano Nggoang dan sekitarnya, sebuah kecamatan pemekaran Komodo, yang terletak di bagian barat Manggarai –Flores Provinsi NTT ini, memang sudah paham dan sudah melaksanakan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Namun demikian, harus diakui oleh segelintir masyarakat, sampai saat ini tetap dilaksanakan, karena adat masih mengental kuat di sanubari, maka perkawinan adat pun tetap berlangsung setelah melewati acara perkawinan berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Seorang ibu menenun kain adat untuk dipakai anak gadisnya saat acara pernikahan adat (foto usman d.ganggang) Salah satu yang menarik adalah acara “karong loang” yang bermakna menghantar kedua mempelai ke kamar tidur pengantin. Sebelum kedua mempelai masuk, ada yang bertugas secara khusus untuk menjaga kamar. Kedua mempelai baru masuk setelah menjawab pertanyaan dalam bentuk pepatah-petitih yang meluncur indah dari petugas dan harus dijawab secara puitis pula oleh kedua mempelai. Karena itu, sebelum prosesi “karong loang” (= hantar ke kamar) biasanya diadakan gladibersi. Usai tanya jawab, kedua mempelai tidak boleh keluar masuk kamar pengantin. Mereka harus berada di kamar tidur selama empat malam. Orang-orang lain termasuk keluar dekat pun dilarang masuk. Yang berhak masuk adalah orang-orang khusus terutama orang yang menghantar makanan buat kedua mempelai. Selama empat malam itu juga, mereka tidak boleh mandi, Selain itu, mereka tidak boleh memegang kayu mentah terutama kayu mentah yang bernanah. Kalau mau makan, minum air atau keperluan lainnya, silakan saja membunyikan benda-benda khusus, sehingga petugas penjaga kamar segera datang. Warga di kawasan ini percaya, kalau “malam pertama” hanya dilaksanakan semalam, praktis roh jahat menang. Karena itu, banyak yang merasa, kalau “malam pertama” itu menegangkan bahkan dianggap sebagai malam krisis dan malam penuh ancaman para roh jahat yang senantiasa mengintip kedua mempelai yang sedang kasmaran. Meyakini bahwa “malam pertama” itu penuh ancaman, maka tua adat yang memegang teguh amanat leluhurnya, berkewajiban untuk menjaga kelestariannya sekaligus mewartakan acara “karong loang”kepada generasi berikutnya, agar “malam pertama” harus ditambah tiga malam lagi sehingga jumlahnya menjadi “empat malam”. “Di sini, untuk istilah “malam pertama” semalam tidak dikenal. Warga kami melaksanakannya empat malam baru dianggap afdol dalam menjalankan kewajiban sebagai suami istri,”urai seorang tua adat, Bapak Abdul Tandi Batjo, mantan Kades Watu Wangka, kepada penulis ketika bertandang ke salah satu kampung di Kempo Kecamatan Sano Nggoang. Menyingkapi apakah empat malam itu dilaksanakan tanpa ancaman roh jahat, biasanya, ada orang-orang tertentu yang berusaha menyembunyikan secarik kain putih di bawah sprei, biasanya berwarna putih bersih. Peletakannya pun harus tepat yakni di tengah-tengah kasur. Dan diupayakan agar kedua mempelai tidak mengetahuinya. “Harus dirahasiakan Bung!” sambung seorang ibu setengah baya. Usai acara malam krisis itu, kedua mempelai dihantar keluar kamar dan seterusnya “mandi bersama” disaksikan oleh kedua keluarga besar serta handaitolan dan masyarakat sekitarnya. Acara ini dikenal dengan istilah “wau wae” (= turun air). Maksudnya, untuk mandi bersama kedua mempelai di depan rumah. Ketika kedua mempelai sedang mandi yang diguyur orang tertentu,maka petugas penjaga kamar beroperasi ke kamar pengantin untuk mengambil secarik kain putih yang diletakkan di bawah kasur. Penjaga kamar harus berhati-hati jangan sampai hasilnya didengar oleh kedua mempelai. Hasil dari kain putih itu diperlihatkan kepada orang tertentu.” Maksudnya, tanya penulis?” Iya, demikian tetua yang dipercayakan, “Apakah ada bekas noda berwarna merah di kain tersebut,” jelasnya sembari menambahkan “Apakah kedua mempelai melaksanakan “malam pertama”sebagai suami-istri. Ketika acara “wau wae” ini dilaksanakan, ternyata menyedot perhatian undangan. Bagaimana tidak? Ketika kedua mempelai menunggu kepastian ramalan, sampai berdag-dig-dug juga, karena sebentar lagi mereka mendengar hasil prediksi, apakah mereka mempunyai keturunan atau tidak. Kalau ada, apakah anak laki-laki atau perempuan? Dan sangat diharapkan agar keturunan yang dilahirkan nantinya adalah anak laki-laki sebagai penerus keturunan.. Iya, bagi penonton sangat mengasyikkan, tapi bagi kedua mempelai malah menegangkan. Mandinya ditonton, lagi-lagi tegang ketika kelapa muda dibelah dan ditaruh di atas kepala kedua mempelai. Keduanya hening sebentar menunggu jatuhnya kelapa yang dibelah tadi. Begitu belahan kelapa jatuh dari kepala, keluarga dan undangan pun bersorak-sorai. Sementara itu, kedua mempelai menunggu hasilnya. Kalau jatuhnya tertutup maka anak yang dilahirkan nanti adalah anak laki-laki. Sebaliknya, kalau tempurung kelapa itu jatuhnya terbuka, maka anak mereka adalah anak perempuan. Lalu, kalau salah satunya tertutup dan yang lainnya terbuka, ini pertanda bahwa anak yang dilahirkan itu berselang seling.”Perkiraaan ini, boleh percaya, boleh tidak. Tapi kenyataannya memang demikian”, urai Bapak Abdul Tandi Batjo sembari menambahkan, “Tak perlulah dinanalisis secara ilmiah karena memang tidak dapat dikaji kok!”***(Usman D.Ganggang, bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Sosbud Selengkapnya