Aku tidak pernah bercita-cita jadi manusia. Kau pun begitu, termasuk dengan gaya angkuhmu itu. Entah sudah berapa tanda terkait gaya angkuhmu itu kucatat, sampai saat ini, tak dapat kuhitung lagi, termasuk surat-surat cintaku buat kamu. Aku ingat gaya angkuhmu doeloe, ketika bersama kita ke Pondok Bambu-Jakarta Timur, rumah pamanmu. Saat pulang, pamanmu sodorkan lembar ratusan ribu terikat dalam sampul, tapi kau bergaya angkuh,"Masih ada, Paman dan menolak pemberian pamanmu!"
Aku ingat saat itu, sampai-sampai pamanmu menoleh padaku dan berwajah marah, "Bagaimana cara didik anakmu hai adikku, hingga pemberianku ditolaknya. Bersyukurlah pada saat itu, teringat aku pada wejangan Pua-ku di kampung,"Nak, jika kamu memberi hadiah kepada keluarga atau orang lain, jangan sesekali langsung di atas tangannya. Nanti keluarga atau orang lain beranggapan bahwa kita orang kaya hebat. "Lalu caranya gimana?" tanyaku saat itu. "Caranya, taruh saja di saku baju atau saku celananya, pasti dia berpura tolak tapi dia jaga sakunya jangan sampai uang itu jatuh !" sambung Pua-ku
Maka setelah jumpa lagi dengan pamannya, aku berikan caranya supaya pemberian itu diterimanya meski dengan gaya angkuh, yaitu, berpura tolak tapi pegang sakunya sehingga pemberian itu tidak jatuh. "Itu pertanda bahwa dia sudah menerima walaupun melalui gaya angkuhnya itu", jelasku kepada pamannya. Lalu pamannya praktekkan sesudah itu, ujungnya lembaran ratusan ribu itu diam di sakunya. Dan saat itu, kulirik, kau pun pasang senyum
Nah, sekarang aku tiba lagi di Pondok Bambu-Jakarta Timur senja ini. Usai sholat sore ini, aku diam bersama DIAM. Sebentar bibirku berkomat-kamit. Hasilnya? Kutemukan premis indah yang pernah kita diskusikan doeloe di Pondok Waringin. Premis itu kucatat lagi di sini," You know, after a meaning, there's a breakup waiting", and "You know, there's never been a moment I haven't love you". (Anda tahu, setelah rapat, ada perpisahan menunggu. Dan Anda tahu, tidak pernah ada, saat aku belum mencintaimu).
Kutatap gambarmu yang telah usang termakan waktu. Meski terasa luka waktu, karena kutahu kau lagi berada di singgasana, aku tetap memandangnya lebih dalam lagi, dan ketika aku berdialog sendiri terkait masa mudaku, aku ingat kau berada dalam kisah itu, termasuk gaya angkuhmu itu, pernah mampir dalam hidupku. Aku memang seperti itu. Sama seperti kau, bergaya angkuh, biar dibilang dompet tebal dan tak pernah ada "kanker" (kantong kering).***)
Pondok Bambu, Jakarta Timur, 19 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H