"Beli dulu untuk kamu!" jawabku.
Saya amati wajahnya, berseri-seri, Â rupanya gayanya bernada tanya, terjawab juga.
"Untuk Abah, beli menjelang pulang kampunglah!" sambungku.
 "Jadi, beli duluan untuk saya?", jawabnya.Â
"Iyalah! Ganti dulu baju kamu itu, selagi Abah masih ada bersamamu!"
Ingat gaya angkuhmu ini, sewaktu ke Taman Mini Jakarta Timur, Juli lalu, dari Taman Mini, aku istirahat sebentar di Mall Matahari Pondok Gede, sebelum ke Waringin. Terasa kau hadir di sampingku. Â Dan sebelum ke Pondok Bambu, sempat istirahat sejenak di Waringin Universitas BSI." Iya, di sini pernah kau raih sarjana sebelum akhirnya tuntas di Universitas Mpu Tantular ", gumamku sebelum mendung dan gerimis turun.
Ujung dari mendung itu, kucoba memejamkan mata sekaligus meredam rindu yang kian membuncah. Hasilnya? Gerimis malah turun bentuk sebuah telaga munggil di tengah bebukitan.Lalu sebelahnya ada jurang lagi menganga."Mestikah aku turun bersama gerimis menuju jurang?" batinku
Ah, sebuah keputusan fatal namanya jika aku ikut rasa.Karena itu, aku berusaha membaca tanda-tanda yang telah diberikan-NYA. Pertanyaan mengganjal yang lagi menyeruak dalam kolbuku,muncul seketika." Dapatkah aku menyatukan serpihan tanda yang berserakan depanku?"
Sebuah tanya butuh jawaban panjang. Iya , itu pasti! Tapi, daripada kemudian menyesal akan datang, kusisiri sejumlah alur kehidupan ini. Tuhan telah mnenganugerahi manusia -- seperti aku dan dia ini- berupa akal dan rasa bahasa yang sekaligus mengangkat hambanya pada posisi tertinggi di antara makhluk yang berada di bawah kolong langit ini.
Sekali lagi kupejamkan mata. Iya, serpihan tanda itu di depanku, begitu banyak. Salah satunya, gaya angkuhnya dia ini. "Boleh jadi dia dengar", batinku. Dan tak seberapa lama, ngiangan di telingaku pun berdering. Lalu kusebut namanya," Kim, Abah ada di sini!" Haem...sejenak terasa, senyap labuhkan sunyi. Aku terbangun dari permenungan sekaligus menyatukan tanda, salah satu serpihan tanda yang pernah hadir di depan mataku sejak tadi, hadir.
Gaya angkuhmu sudah kubaca. Sungguh! Iya, aku paham seyakin-yakinnya, bahwa aku tak akan dapat menjadi aku apabila aku berusaha memilikimu. Apabila aku saat ini, terasa bersamamu, memang bukanlah sebuah kebetulan. "Di dunia ini tidak ada itu kebetulan", batinku. Dan jika nyata pun, kau bersamaku saat ini, boleh jadi seperti yang ada dalam sinetron," Di antara ada dan tiada". batinku lagi.