Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyingkap Tradisi Lisan Masyarakat Kempo Manggarai Barat –NTT(3)

22 Juli 2014   03:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:38 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Usman D.Ganggang*)


Keterangan gambar:" Teruslah gali sastra lisan di daerah, di sana ada kearifan lokal yang penuh makna", ujar Mas Bambang Sudjamiko, Ketua Komunitas Sastra Indonesia,ketika menerima penulis di Gedung Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jln Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta, baru-baru ini. (usman d.ganggang)

1.

Pendahuluan

Tertarik dengan cerita ase (adik) Vinsen Surma di Facebook, sore tadi, tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung, ...." ome wase ngiru si latung one uma rana ko uma lokang, puung tenang kempe ga ( kalau jagung sudah mulai berbunga, baik di kebun baru maupun di kebun lama, sudah pasti warganya berusaha memasang jerat jenis ‘kempe’(= jaringan yang terbuat dari sebuah benda biasanyabambu dianyam dan di atasnya tersimpan batu, lalu dipasang di sebuahlubang yang biasa dimasuki binatang pemakan jagung seperti landak, babi, atau binatang lainnya).

Suar latang’r kempe soo: te ca na, kempe tau karet kode ce nuku tako latung laing mata paker yat peang mai puar..."( Ada dua kegunaan dari jaringan ‘kempe’ ini ,pertama jaringan ‘kempe’ untuk menangkap kera misalnya yang sering berusaha mencuri jagung dekat pagar samping hutan). Saya terenyuh, andai ase (=adik) Vinsen tidak menceritakan, saya secara pribadi sudah lupa urutan pertumbuhan dan perkembangan latung, seperti ala olo kat e "wase ngiru", dan seterusnya sampai "tako le anak koe" jaong de ase Tuang Maju. Atau istilah tenang "Kempe", hehe... tara baen le ase Vinsen go ngina tenang kempe rutung awo Nua Rutung laing koen na.

Mengapa saya lupa, karena ini diceritakan secara turun - temurun saja,bukan didokumentasikan dalam buku. Iya bukan tidak mungkin, ketika orang tidak lagi tanam jagung di kemudian hari, orang pasti lupa istilah ‘latung’(= jagung) "wase ngiru "agu istilah "tako le anak koe"(jagung berbunga atau istilah jagung sudah mulai dicuri anak kecil). Begitu juga "tenang Kempe" (jaringan ‘kempe’) misalnya tenang kempe rutung, kempe motang, landing toe kempe ndaot da,(jaringan ‘kempe landak’ jaringan kempe babi, bukan ‘kempe rusa), sebab “aku ho'o danong laing koe, cama - cama agu pua mo "napat"( dulu waktu saya kecil bersama ayah pergi ‘napat’ (mengejar rusa). iya... ini lagi, istilah "napat", pasti generasi sekarang tidak tahu istilah "napat" itu.

Dari cerita ase Vinsen di atas, ada tradisi lisannya, seperti bagaimana proses terjadinya jagung dan padi. Diceritakan bahwa padi itu, untuk masyarakat Kempo justru terbalik dengan orang Jawa. Kalau Jawa, padi itu, Dewi (wanita) sedangkan masyarakat Kempo, justru lelaki sedangkan jagung itu perempuan. Cerita lengkapnya akan dibaca saja pada Buku Cerita Rakyat NTT karya Usman D.Ganggang, hahaha... ngu na ka, benggat emtaung ngasang de ru. Hehehe.... daripada dibenggat oleh kakartana, Usman mesa e ding ga( = haha…, selalu saja sebut nama sendiri, iya daripada diveritakan pihak lain, Usman akan hilang sebentarditelan jin).

14059488141846805330
14059488141846805330


Keterangan gambar: Penulis menerima sumbangan buku "Sastra Lisan" dari Bu DR.Mujizah, di Kantor Kementrian Pendidkan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jl. Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta. Terimaksih Bu Mujizah. (Usman D.Ganggang)

Harus diakui bahwa masyarakat Kempo yang bagian integral Manggarai Raya itu , memiliki pelbagai macam cara untuk mewariskan masa lalunya. Apa pun alasannya, masa lalu itu memiliki nilai yang tiada taranya, berupa adat istiadat dan sejarah, Dan untuk dipahami generasi masa kini, perlu diadakan proses pemibiasaan dalam penuturannya, sehingga dapat dipahami maknanya sekaligus diaplikasikan dalam keseharian

Pada masa lalu, manusia belum mengenal media tulisan seperti sekarang ini, maka proses pewarisan kebudayaan satu - satunya jalan dengan menggunakan alat ujar seperti penuturan dari mulut ke mulut dan dilakukan secara turun - temurun. Proses pembiasaan seperti itu dikatakan Siany L dalam Buku Anthropologi (2007: 1530), adalah mewariskan budaya kepada generasi berikutnya yang dilakukan secara lisan disebut tradisi lisan.

Apa itu tradisi lisan? Menurut Jan Vansina, tradisi lisan (oral tradition) adalah oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more. Kalau diterjemahkan, maka tradisi lisan adalah kesaksian yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Di dalam tradisi lisan, terdapat banyak nilai dan di masyarakat Kempo yang bagian integral Manggarai Raya pun memilikinya. Sekedar contoh dapat ditulis di sini seperti : unsur kejadian sejarah, nilai - nilai moral, nilai - nilai keagamaan, adat istiadat, cerita - cerita khayalan, peribahasa, humor, nyanyian, serta mantra -mantra yang hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakatnya.

14059494131441030341
14059494131441030341


Ket.Gambar: " Tidak selamanya tanam kurma, dapat dimakan sendiri! Teruslah tanam agar orang lain dapat memakannya!" pesan Mas Jono, sebelum acara berbuka puasa di Jl.Daksinapati Rawamangun Jakarta, baru-baru ini. (usman d.ganggang)

Khusus mantra, seperti seorang dukun membacakan mantranya pada upacara pembukaan kebun baru di 'lodok" (= pusak kebun) atau mantera dalam menyembuhkan si sakit di masyarakat Kempo, kini nyaris tenggelam bersama lumpur di musim hujan. Pasalnya, kalau masih ada yang membacakan mantra, dianggap kafir. Begitu juga dengan bercerita tentang legenda sebuah gunung, , katakan Golo Tantong( = gunung Tantong di Kempo), dikatakan bikin habis waktu. Padahal di dalam tradisi lisan itu terkandung nilai yang tinggi seperti nilai berdoa untuk menyembuhkan si sakit atau nilai proses peminangan dalam cerita Golo Tantong di Dopo ‘mukang’ 9= anak kampong) dari ‘Be’ o(= kampong induk) dari Rekas.

Nah, sekarang kita sudah berada di dunia tulisan yang serba canggih, adakah kita memiliki rasa untuk membukukan tradisi lisan yang ada di Kempo? Ataukah kita masih memanfaatkan mulut untuk memproses tradisi lisan tersebut? Tentu kita tidak mau , dan karena itu, selain kita bersastra lisan di FB (Facebook) lewat Group ini,(baca : Kompasiana ini) mari kita memahami tradisi lisan yang mengandung banyak nilai.

Terkait dengan info sastra lisan dari Timur ini, Bu Mujizah bangga, karena itu, teruslah kita gali sastra lisan di Indonesia. "Sastra mengandung banyak nilai",ujari Da Bu Mujizah didukung Bu Maini, usai acara buka puasa bersama di Danaksita  Rawangun, Jakarta.***(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun