Seacara harfiah laju pertumbuhan ekonomi suatu Negara berimplikasi terhadap kondisi peluang pekerjaan di suatu Negara. Dalam hal ini Indonesia baru memiliki pertumbuhan ekonomi sebanyak 6 persen – era Jokowi – JK angka laju pertumbuhan masih ada di sekitar besara 5,8 persen. Padahal idealnya, laju pertumuhan ekonomi Indonesia berada di angka 12-15 persen. Angka 5,8 – 6 persen tentunya belum terlampau ideal dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia, khususnya angkatan kerja produktif. Kepala BNP2TKI dalam orinetasi CPNS 2014 menyebutkan Indonesia memiliki 1,8 juta angkatan kerja, jika 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 250 ribu orang, artinya 6 persen hanya baru menyerap 1,5 juta orang dan saat itu Indonesia memiliki potensi menciptakan 1,3 juta pengangguran. Inilah tugas Negara seperti platform Nawa Cita Jokowi – JK yaitu “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara. Salah satu alternatif adalah migrasi penduduk (transmigrasi / migrasi ke luar negeri).
Migrasi ke luar negeri erat kaitannya dengan TKI. Dalam UU No. 39 tahun 2004 TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Telaah kritis dari definisi TKI tersebut adalah :
1.Memenuhi syarat bekerja di Luar Negeri (pasal 35 & pasal 51)
2.Hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu
3.Menerima upah
Jelaslah bahwa UU tersebut mencoba untuk melindungi TKI baik mulai dari pra, massa, dan purna penempatan. Negara wajib hadir dengan menjalankan penuh penempatan & perlindungan TKI sesuai dengan amanat UU No. 39 tahun 2004.
TKI: Sexy Dulu, Kini, & Nanti
Isu TKI masih menjadi isu sexy baik (dulu, kini, dan nanti) – Lihat saja bagaimana Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri gencar melakukan sidak dibeberapa lokasi penampungan TKI. Dikarena memang isu ini melibatkan kedaulatan Negara dan menyangkut hak asasi warga Negara. Beberapa kali Negara kita melakukan tindakan menyangkut perlindungan TKI, baik dari ratfikasi perjanjian dengan Negara tujuan penempatan maupun moratorium pengiriman TKI informal di beberapa Negara yang masih sedikit melindungi tenaga kerja.
Kasus terakhir TKI kita Zaenab dan Karni) di Arab Saudi tentunya sangat melukai perasaan kita di dalam negeri. Tanpa kabar pemberitaan sebelumnya salah satu TKI kita di eksekusi (qisos) oleh pengadilan Arab Saudi. Secara harfiah qishash (kisas) berarti pembalasan setimpal: utang nyawa dibayar nyawa; mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dibayar luka yang sama (Q: Al Maidah [5]: 45). Padahal hukum qisos hadir sebagai anti-tesis budaya jahiliyah bahwa “pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan”. Jika dilihat memang Arab Saudi adalah salah satu dari beberapa Negara yang sangat sedikit membicarakan tentang perlindungan TKI. Maka pemerintah memberlakukan moratorium pengiriman TKI kepada Negara tersebut.
Ironisnya kejadian kemarin bukan menjadi kasus terakhir. Dalam pernyataan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid menyebutkan masih ada TKI lain yang menunggu eksekusi hukuman mati dibeberapa waktu kedepan.
Kompetensi; Kunci Logis TKI Berkualitas
Mempersiapkan TKI yang berkualitas adalah kunci logis kesejahteraan TKI kita di luar negeri. Penyelesaian preventif paling mudah (namun perlu perjuangan) adalah dengan meningkatkan standart kompentensi dari pola pendidikan di Indonesia. Hal ini perlu diperhatikan sebagai jawaban dari perkembagan zaman dan pola pergaulan Internasional yang makin lama makin terbuka, isu MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) adalah contoh konkrit dalam beberapa tahun ke depan. Pertannyaan nya sudah kah kita, mempersiapkan tantangan pasar kerja luar negeri. Jika meniliki kesiapan beberapa Negara lain, Filipina contohnya, tentu kita telah tertinggal jauh.
Output pendidikan kita belum dapat menjawab tantangan dari kebutuhan permintaan pasar kerja di luar negeri. Arah pendidikan kita kurang relevan terhadap kebutuhan pasar kerja, khususnya luar negeri, karena lebih mengedepankan pendidikan akademis dari pada pendidikan keterampilan atau lazim disebut pendidikan vokasional. Kritik nya adalah terdapat jenjang terlalu jauh (gap) antara outpun sumber daya Indonesia dengan kebutuhan pasar kerja. Maka dengan susah payah nantinya berbagai instansi pendidikan, balai latihan, balai sertifikasi, dibuat untuk mendekatkan jarak tersebut. Harmonisasi pun dilakukan.
Istilah tertinggal atau terlambat memang merupakan fakta yang wajib kita terima. Namun tidak ada kata terlambat untuk menyadarinya. Dalam film Tjokroaminoto: Belajar Dari Guru Bangsa digambarkan pendidikan & keterampilan merupakan hal yang sangat diperdebatkan sebagai bahasan dalam kongres. Maka sedari dulu para pendahulu bangsa sudah menyadari bahwa pendidikan adalah kunci dalam menyiapkan sumber daya berkompetensi yang dalam era sekarang wajib dinaikan kelas nya dalam menghadapi persaiangan kedepan.
Maka peristiwa TKI Zaenab, Karni, dan TKI bermasalah lainnya dapat diminilisir dapat dengan telah tersiapkannya manusia Indonesia yang berkomptensi. Happy Jumat day.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H