CERPEN -- Aku masih ingat pagi itu, saat sebuah pesan masuk ke ponselku via aplikasi WA dari Ranggong, temanku sejak kecil. Ranggong bukan sekadar teman biasa, dia adalah orang yang selalu bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang unik dan, sering kali, menggelitik. Pesan darinya kali ini berbunyi, "Ubeng, aku ingin jadi Bobby."
Seketika, aku tertawa kecil. Bobby? Bukankah itu nama kucing kesayangan Prabowo? yang selalu Fyp di tiktok? Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas cepat, "Maksudmu kucing itu? Kenapa, Ranggong? Kamu serius ingin jadi kucing?"
Ranggong menjawab hampir seketika, "Ya, aku ingin hidup seperti Bobby, kucing yang hidupnya penuh kemewahan. Hidupnya cuma makan, tidur, dan bermain. Dia dimanja, nggak perlu mikir soal kerja, uang, atau masalah hidup."
Membaca pesannya, aku jadi tertawa sendiri. Tapi di balik tawa itu, aku juga tahu Ranggong tidak sepenuhnya bercanda. Ranggong dan aku sama-sama baru lulus kuliah beberapa bulan yang lalu dan kami juga sepupu, dan kami merasakan kerasnya realitas hidup. Rasanya baru kemarin kami tertawa-tawa membicarakan mimpi-mimpi besar kami---ingin jadi orang sukses, ingin meraih kebebasan finansial, ingin membuat bangga orang tua. Tapi kenyataannya, mimpi-mimpi itu tidak mudah digapai.
Aku membalas lagi, mencoba menghiburnya, "Kamu bukannya juga dimanja keluarga, Ranggong? Hidupmu juga nggak susah-susah amat kan? Masa sampai pengin jadi kucing?"
Ranggong hanya mengirimkan emotikon tertawa, lalu membalas, "Dimanja gimana, Ubeng? Orang tua kan nggak selamanya ada, dan kita nggak bisa terus bergantung pada mereka. Pasti ada titik di mana kita harus berdiri sendiri, dan itu nggak gampang."
Membaca pesan itu, aku terdiam sejenak. Ranggong benar. Setiap hari rasanya beban hidup semakin berat, dan kadang aku juga merasa ingin hidup seperti Bobby, kucing kesayangan Prabowo yang mungkin hidupnya jauh lebih nyaman daripada kita, manusia biasa yang dipaksa menghadapi dunia yang penuh tantangan dan ketidakpastian.
Ranggong melanjutkan, "Bayangkan, Ubeng, Bobby cuma perlu duduk santai, tidur, dan makan enak. Kita ini harus banting tulang demi sesuap nasi. Dia? Nggak perlu khawatir soal masa depan, atau punya penghasilan tetap. Setiap hari, orang merawatnya, membelainya, dan memberinya makan. Kadang, aku benar-benar iri."
Aku tahu pesan-pesan Ranggong ini tidak hanya lelucon. Meski gaya bicaranya ringan, aku bisa merasakan ada kepenatan yang ia pendam dalam-dalam. Di balik candaannya tentang menjadi Bobby, aku tahu ia sedang membicarakan hal yang lebih besar: kelelahan hidup yang ia rasakan.
Setelah beberapa saat, aku membalas, "Ranggong, memang sih enak jadi Bobby, tapi kamu tahu juga kan kalau hidup bukan sekadar makan dan tidur? Ada kebahagiaan saat kita berhasil mencapai sesuatu dengan usaha kita sendiri. Kalau kita cuma jadi kucing yang dimanja, apa bedanya kita sama boneka yang cuma bergerak kalau ada yang mainkan?"
Ranggong, hanya membalas dengan pesan singkat, "Iya, Ubeng, tapi kadang manusia juga butuh rehat dari semua beban ini. Kadang, aku ingin hidup tanpa harus mikirin masa depan atau tanggung jawab. Hidup yang benar-benar bebas."
Obrolan kami akhirnya berlanjut sepanjang hari itu, dan aku tahu bahwa Ranggong sedang menghadapi masa sulit. Kami sama-sama belum mendapatkan pekerjaan tetap, dan hanya mengandalkan pekerjaan sampingan yang bayarannya tidak seberapa. Tekanan dari keluarga dan lingkungan juga semakin besar---mereka ingin melihat kami sukses dan mandiri, namun perjalanan menuju hal itu terasa jauh dan sulit.
Beberapa hari kemudian, Ranggong mengirim pesan lagi. Kali ini, isinya lebih serius. "Ubeng, kalau kamu juga merasa penat, gimana kalau kita buat daftar hal-hal yang bisa bikin kita bahagia, hal-hal kecil yang bisa kita lakukan? Mungkin itu bisa sedikit bantu kita untuk nggak terlalu terbebani."
Aku menyetujui ide itu. Kami mulai membuat daftar kecil-kecilan tentang hal-hal sederhana yang bisa membawa kebahagiaan. Mulai dari hal-hal sepele seperti menikmati kopi pagi tanpa tergesa-gesa, menonton film favorit, atau sekadar jalan-jalan di taman saat senja. Dalam daftar itu juga ada rencana untuk kembali ke alam, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ranggong menyebut ini sebagai "melepaskan beban hidup."
Seiring waktu, kami benar-benar mencoba menerapkan hal-hal yang ada dalam daftar tersebut. Kami belajar untuk lebih menghargai momen kecil, merayakan setiap pencapaian, sekecil apa pun itu. Ternyata, kebahagiaan itu memang tidak selalu datang dari hal besar; sering kali, kebahagiaan hadir dari kesederhanaan, dari momen-momen yang mungkin terlihat remeh.
Suatu hari, Ranggong mengirimiku foto dirinya sedang duduk di taman kota sambil membaca buku. Di bawah fotonya, ia menulis pesan singkat, "Ubeng, mungkin kita nggak akan pernah jadi Bobby, tapi aku sadar, kita masih bisa menikmati hidup dengan cara kita sendiri."
Pesan itu membuatku tersenyum. Ranggong sudah mulai menerima kenyataan bahwa hidup memang penuh tantangan, tapi itu bukan berarti kita harus menyerah. Dari obrolan tentang menjadi Bobby, kami justru belajar tentang pentingnya menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan, meskipun dalam kesederhanaan.
Kini, setiap kali kami merasa lelah dan mulai tertekan, kami ingatkan satu sama lain untuk kembali ke daftar kebahagiaan kecil yang sudah kami buat. Kadang, kami tetap bercanda soal "menjadi Bobby" ketika beban hidup terasa terlalu berat, tapi di balik canda itu, kami tahu bahwa kami harus menghadapi kenyataan dan terus berjuang.
Akhirnya, aku sadar bahwa bukan kemewahan atau hidup tanpa tanggung jawab yang membuat kita bahagia. Kebahagiaan sebenarnya adalah kemampuan untuk menikmati setiap momen, menerima setiap tantangan, dan tetap berusaha, meski jalannya tidak selalu mudah. Ranggong dan aku akhirnya paham, meski kami bukan Bobby, kami tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam hidup yang sederhana dan penuh makna
NB : Ini hanya fiksi, gak benar, mohon maaf dengan isinyaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H