Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Belajar menebar kebaiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saksi Nikah

10 Mei 2021   22:12 Diperbarui: 10 Mei 2021   22:13 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu turun dari sepeda motor seketika kata-kata tak etis meluncur deras dari mulut istrinya, Munarti. Kuding kaget. Tak puas hanya bicara, diambilnya bongkot bambu lalu dilemparnya dengan kuat. Kuding spontan mengelak. Jika tidak, bisa bocos kepalanya. Menyadari istrinya sedang kalap, Kuding meningkatkan kewaspadaan.

Seketika itu pula istrinya mengacungkan golok. "Mampus, pergi!"

"Mun..." Kuding panik.

"Tidak ada kompromi. Sekarang juga kamu pergi. Jangan lagi kembali ke rumahku! Ini rumahku. Pergi kalau mau selamat!"

"Ini apa masalahnya Mun?"

"Halah, pura-pura kamu! Menyebalkan. Dasar suami tidak tahu diuntung. Pergi, golok nih!"

Kuding bergegas kabur.

Ini kali ketiga dia diusir dari rumah. Namun seberat apapun kesalahan istrinya tidak bakalan dia mengusirnya karena rumah dan lahannya milik mertuanya. Hampir tidak ada biaya yang dikeluarkan Kuding untuk membangunnya. Semula dia merasa bangga, juga ibunya, mendapat istri anak orang berada. Namun itulah salah satu konsekuensinya, dia diusir. Dia tidak begitu dihargai. Segala sesuatu harus menuruti istrinya.

"Ada apa lagi Ding? Berantem sama istrimu?"

"Biasa Mak, Munarti ngamuk."

"Dan kamu diusirnya?"

"Begitulah."

"Terserah kamu. Keputusan ada di tanganmu. Manisnya, pahitnya, kamu yang merasakan. Emakmu ini memilih sikap netral saja. Takut salah. Mau kamu pertahankan silakan, mau kamu tinggalkan terserah. Bukan rahasia kalau tabiat istrimu begitu. Mentang-mentang kamu anak orang miskin. Memang sih orang miskin harus tahu diri, tapi kalau direndahkan terus-terusan, semut juga bisa menggigit kalau diinjak."

"Kali ini cuma salah paham Mak."

"Memangnya kamu melakukan kesalahan apa?"

"Jadi saksi Mak."

"Saksi apa?"

"Saksi nikah."

"Siapa yang menikah?"

"Kang Musoleh nikah lagi."

"Maksud kamu nyandung, poligami."

"Betul."

"Nikah di bawah tangan? Kenapa harus kamu yang jadi saksi?"

"Yang lain tidak bersedia. Mungkin mereka takut dimarahi istrinya."

"Kenapa si Musoleh kawin lagi?"

"Karena  ada janda yang mau sama dia Mak."

"Kenapa tidak kamu yang nikah lagi?"

"Kok Ema bertanya begitu?"

"Becanda Ding?"

"Saya belum menikah lagi karena belum mampu Mak."

"O, jadi kalau mampu kamu akan menikah lagi?"

"Ah, becanda Mak!"

"Jangan sakiti istrimu Ding. Laki-laki harus banyak mengalah. Mungkin ada yang tidak beres dengan istrinya temanmu itu."

"Kira-kira begitulah."

"Memang bagaimana istrinya?"

"Lumayan Mak. Maksudnya, yang saya dengar, istrinya itu tidak suka menyeduhkan kopi, kecuali kalau ada tamu. Terus, kata Kang Musoleh, dalam lima tahun belakangan walaupun dalam satu rumah mereka hidup sendiri-sendiri. Tidak harmonis."

"Kenapa begitu?"

"Hanya itu yang Kang Musoleh ceritakan, tapi dari omongan seseorang bahwa Kang Musoleh pernah memergoki istrinya selingkuh."

"Itu sih Emak sudah tahu."

"Dari mana?"

"Dari ibu-ibu pengajian."

"Kok Emak malah tanya?"

"Biar kamu menjawab."

"Setelah saya jawab Emak mau tanya apa lagi?"

"Mungkin itu masalahnya sehingga si Musoleh kawin lagi. Kalau selama ini dia mempertahankan perkawinannya itu pasti karena dua anaknya masih kecil-kecil. Sekarang anaknya yang pertama lulus SMA, yang kedua naik ke kelas lima."

"Kok Emak lebih tahu?"

"Info dari ibu-ibu di pengajian."

"Itulah untungnya ikut pengajian Mak yah!"

"Lantas, apa hubungannya dengan istrimu? Istrimu tidak terima kamu jadi saksi nikah?"

"Bukan begitu Mak. Istri muda Kang Musoleh lagi galau. Karena saya jadi saksinya, maka saya pula yang dianggapnya pantas dimintai tolong."

"Tolong apa Ding?"

"Menasihati Kang Musoleh. Mereka bereteru. Katanya, Kang Musoleh galak, kasar. Saya jadi bingung, saya saja sering dinasihati Kang Musoleh, bagaimana bisa saya menasihati dia. Dia itu lebih tua, juga lebih berilmu. Pengalamannya luas. Saya ini apalah."

"Kaitannya dengan istrimu apa Ding, sehingga kamu diusirnya?"

"Ya, ada Mak."

"Coba jelaskan Ding."

"Begini Mak. Istri saya berangkat, mau ke pasar, naik motor, sendiri. Tidak lama kemudian datanglah istri muda Kang Musoleh, naik motor juga."

"Atas permintaan kamu?"

"Tidak Mak, demi Tuhan."

"Terus, panjang lebarlah dia bicara. Segala macam dibicarakan, dari masalahnya dengan Kang Musoleh sampai masalah utang negara."

"Apakah ada kemungkinan dia naksir kamu Ding?"

"Kalau itu saya tidak tahu. Tapi bukannya tidak mungkin, saya masih ganteng kok. Yang pasti saya tidak memberikan harapan apa pun. Saya hanya menghargai kedatangannya. Tidak mungkin juga saya mengusirnya, dia masih ingin terus bicara. Nah, pada akhirnya dia pamit pulang setelah puas."

"Lantas masalahnya sebenarnya apa Ding sehingga kamu diusir istrimu?"

"Sabar Mak, saya belum selesai cerita. Baru dua puluh meter istri muda Kang Musoleh meluncur  tibalah istri saya, Munarti yang paling cantik sekeluarga. Nah, dikiranya saya ada main dengan perempuan istri muda Kang Musoleh itu."

"Tapi betul kamu tidak selingkuh?"

"Demi Tuhan Mak, tidak. Saya belum punya keberani an untuk itu."

"Berarti itu tandanya dia cemburu Ding."

"Tapi saya tidak mau dicemburui dengan cara diusir Mak."

"Emak sudah pernah menasihati istrimu agar jangan ngusir-ngusir. Dia bilang iya. Tapi nyatanya kamu diusir lagi."

"Apakah saya mesti kawin lagi Mak, nyandung kayak Kang Musoleh."

"Halahhhhh Ding, kamu ngaco!"

"Bakal saksinya sudah ada. Kang Musoleh."

"Tidak cukup ada saksi, tapi harus ada duit. Duitmu receh Ding. Sudahlah mandi sana, lalu makan. Ada jengkol semur tuh. Enak."

"Baiklah."

Sesuai saran ibunya, Kuding tidak pulang semalam. Alat komunikasinya dimatikan. Kangen juga dia pada istrinya, sekaligus khawatir kalau-kalau ada laki-laki lain yang menggoda. Maklum, lima tahun berumah tangga belum juga dikaruniai anak. Istrinya di rumah sendiri.  Kuding mencoba untuk bertahan tidak pulang, rencananya sampai tiga malam.

"Ding, bangun!" teriak ibunya dari luar.

Kuding sedang tidur siang.

"Ada Munarti!"

Munarti masuk menemui Kuding. Diguncang-guncangnya badan Kuding hingga bangun.

"Mas, ayo pulang!" suaranya manja.

"Tidak." Kuding tak acuh.

"Aku takut sendirian di rumah."

"Rumahmu, bukan rumahku."

"Rumah kamu juga Mas. Aku janji, tidak akan galak lagi."

"Ah, gombal."

"Benar. Sumpah. Lagi pula kemarin aku cuma becanda. Prank mas, prank. Marah tapi bo'ong."

Begitulah istri Kuding, punya banyak cara meluluhkan hatinya. Bagi Kuding menjadi tak jelas, apakah kemarahannya betulan atau pura-pura. Namun sesungguhnya, rasa sayanglah yang mampu menghapus kemarahannya.

"Bunuh saja aku."

"Tidak, aku tidak mau jadi janda. Tadi pagi ada yang datang, perempuan, namanya Erna."

"Istri muda Kang Musoleh?"

"Betul."

"Perlu apa dia?"

"Dia perlu bantuanmu. Katanya mau cerai dari suami barunya."

"Apa urusannya dengan aku?"

"Karena kau saksi nikahnya."

"Ampun..... Masabodohlah. Aku tidak mau peduli. Aku kapok jadi saksi. Apakah seperti itu tanggung jawab saksi Mun?"

"Mungkin."

"Salahmu, kenapa mau?"

"Tadinya kupikir, kalau aku perlu saksi bisa minta bantuan Kang Musoleh."

"Apa? Jadi, kau punya keinginan menikah lagi? Aku tidak mau dimadu."

"Tadinya Mun! Sekarang tidak."

"Pokoknya aku tidak terima!"

"Itu kalau kau tidak memperbaiki akhlakmu terhadap suami."

"Aku minta maaf, serius minta maaf yang sebesar-besarnya. Dari hati yang paling dalam. Aku tidak akan mengulanginya, demi Allah."

"Allah saksinya yah!"

"Ya. Tapi mas mesti mau kerja keras dan periksa ke dokter agar kita punya keturunan yah."

"Siap."

Kuding dan istrinya berdamai. Mereka pulang berdua. Ibunya geleng-geleng kepala. "Ya, Allah karuniailah mereka keturunan."

***

 

Dua bulan berlalu. Kang Musoleh menemui Kuding di rumahnya. Di antara obrolan yang panjang Kang Musoleh menyampaikan kabar penting.

"Ding, aku telah menceraikan istriku."

"Waduh, istri yang mana?"

"Istri pertama."

"Maaf Kang, kali ini aku tidak mau jadi saksi perceraian. Berat."

"Aku sudah minta bantuan ketua RT untuk menyaksikan bahwa kami sudah berpisah. Tidak serumah lagi. Aku yang keluar. Biarlah untuk sementara anak-anak bersama ibunya."

"Kasihan mereka Kang."

"Tidak ada pilihan Ding. Kondisinya semakin tidak kondusif."

"Saya tidak bisa memberikan saran apa-apa. Pahit-manisnya hanya Akang yang merasakan. Semoga saja tidak berdampak buruk bagi anak-anak Kang."

"Akan saya usahakan."

Sepulangnya Kang Musoleh, Munarti kepo (Knowing Every Particular Object, ingin tahu. "Apa katanya Mas?"

"Rahasia laki-laki." Kuding enggan banyak bicara.

"Kedengarannya cerai."

"Istri pertamanya diceraikan."

"Kau diminta jadi saksi."

"Tidak. Sudahlah, aku ingin istirahat. Kalau istri keduanya datang, katakan bahwa aku sedang pergi jauh untuk suatu keperluan. Pulangnya tidak pasti, entah kapan."

"Kok begitu?"

"Aku malas melayani curhatannya. Sekarang kau siap-siaplah."

"Untuk apa?"

"Sore nanti kita ke dokter spesialis kandungan. Periksa, biar kita punya momongan."

"Kita? Jadi kau mau diperiksa juga Mas?"

"Aku akan ikuti saran dokter."

Munarti senang bukan main. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun