Saya berasal dari keluarga miskin akut. Udah turunan miskin, susah. Jadi, kepala kami, isi otak kami, sehari-harinya dipenuhi dengan pikiran dan taktik serta ide-ide bagaimanakah cara mengisi perut esok hari agar tidak kelaparan. Ketika bersekolah tak pernah memikirkan harus sekolah di sekolah yang bagaimana karena bisa sekolah saja sudah beruntung. Ketika makan baso di pinggir jalan, tidak memikirkan apakah tangan si abang basonya habis ngupil, habis bersihin isi telinganya, habis benerin bannya atau tidak, yang penting perut kenyang. Bisa beli baso saja sudah merupakan suatu kemewahan.
[caption caption="Dok.pri"][/caption]Maka ketika membeli rumah pun, saya tidak memikirkan harus rumah yang bagaimana. Di benak saya tidak membayangkan rumah saya itu bentuknya harus bagaimana, halamannya harus luas atau tidak, dekatkah dengan sekolah-sekolah terbaik, haruskah berkolam renang, berair mancur, bersungai atau terbuat dari kayu, bata merah atau tanah liatkah, saya tidak membayangkan semua itu.
[caption caption="Dok.pri"]
Bisa dikatakan rumah ini bukan rumah impian saya kalau begitu. Tapi tak bisa dipungkiri memang rumah kami nyaman, cukup luas buat seisi rumah mau lompat-lompatan, lari-larian, atau jumpalitan sekalipun. Si kecil pun kini bisa bermain di luar saat saya memasak, tanpa takut akan mengganggu halaman tetangga. Ya, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh dibatasi oleh halaman masing-masing kami yang luas.
[caption caption="Dok.pri"]
[caption caption="Dok.pri"]
Namun, segala sesuatu di dunia itu tidak ada yang gratis. Segala kelebihan dan kenyamanan itu harus dibayar dengan cicilan rumah yang lebih banyak, pajak yang lebih tinggi, biaya perawatan yang aduhai dan sebagainya. Semua itu akibat apa? Akibat Juragan harus mendapatkan suasana yang rileks dan menenangkan pas datang ke rumah demi mengurangi beban pikirannya. Walaupun tentu saja isi dan suasana dalam rumah itulah yang lebih penting. Ini yang saya anggap penting, kehangatan di dalam rumah itu sendiri. Bukan kehangatan dari perapian atau dari api di dapur atau dari lilin dan petromak maupun lampu duduk tapi dari keakraban dan kasih sayang di dalam rumah.
Suasana nyaman ini diperlukan banget kayaknya oleh orang Amerika sini karena jangan salah, di balik keteraturan, ketertiban, dan kenyamanan kehidupan serta kemudahan birokrasi di Amerika, berkubang manusia-manusia yang disebut pekerja yang hidup dalam tekanan. Tekanan untuk melakukan pekerjaannya tepat waktu, tekanan untuk melakukan pekerjaannya dengan benar, dan tuntutan-tuntutan kerja lainnya. Saya sebagai istri orang sini merasakan banget tingkat kestresan kerja di tempat kerja suami apalagi dia bekerja di lapangan yang menyangkut nyawa manusia. Semua harus detail dan tepat karena kalau tidak, bisa membahayakan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Saya kagum dengan tanggung jawabnya pada pekerjaan, kalau pekerjaannya menuntut harus tepat waktu, maka bisa siang-malam bahkan hari libur pun masuk kerja dengan menggondol anak-istrinya.
Ketika ingat masa-masa dulu, betapa saya pikir, kami itu tidak pernah stres. Cuma kurang duit aja, masalahnya.
Nb: artikel ini dibuat khusus untuk salah satu kompasianer yang katanya rumah saya mirip rumah impiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H