Mohon tunggu...
🍀 Usi Saba 🍀
🍀 Usi Saba 🍀 Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

🎀 Menolak Tenar 🎀

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Rumah Impian Pelepas Stres

21 April 2016   14:23 Diperbarui: 21 April 2016   20:19 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berasal dari keluarga miskin akut. Udah turunan miskin, susah. Jadi, kepala kami, isi otak kami, sehari-harinya dipenuhi dengan pikiran dan taktik serta ide-ide bagaimanakah cara mengisi perut esok hari agar tidak kelaparan. Ketika bersekolah tak pernah memikirkan harus sekolah di sekolah yang bagaimana karena bisa sekolah saja sudah beruntung. Ketika makan baso di pinggir jalan, tidak memikirkan apakah tangan si abang basonya habis ngupil, habis bersihin isi telinganya, habis benerin bannya atau tidak, yang penting perut kenyang. Bisa beli baso saja sudah merupakan suatu kemewahan. 

[caption caption="Dok.pri"][/caption]Maka ketika membeli rumah pun, saya tidak memikirkan harus rumah yang bagaimana. Di benak saya tidak membayangkan rumah saya itu bentuknya harus bagaimana, halamannya harus luas atau tidak, dekatkah dengan sekolah-sekolah terbaik, haruskah berkolam renang, berair mancur, bersungai atau terbuat dari kayu, bata merah atau tanah liatkah, saya tidak membayangkan semua itu.

[caption caption="Dok.pri"]

[/caption]Dalam bayangan saya, rumah itu harus fungsional aja, kecil lebih baik karena gampang ngurusnya. Maka ketika suami mengatakan kalau rumah yang kami miliki adalah rumah impiannya, yaitu dikelilingi pohon-pohon, berlantai kayu walaupun cuma sebagian, memiliki basement, kamar mandi yang cukup, jendela-jendela yang besar, dilengkapi perapian, saya cuma bengong. Karena saya sebenarnya tidak memikirkan semua itu. Yang saya pikirkan rumah itu harus kecil, dekat ke sekolah anak saya ntar, bisa jalan kalau ke supermarket biar kalau butuh sesuatu gak usah nyetir.  Ya, maklum ibu-ibu, salah satu dunianya adalah pasar.

Bisa dikatakan rumah ini bukan rumah impian saya kalau begitu. Tapi tak bisa dipungkiri memang rumah kami nyaman, cukup luas buat seisi rumah mau lompat-lompatan, lari-larian, atau jumpalitan sekalipun. Si kecil pun kini bisa bermain di luar saat saya memasak, tanpa takut akan mengganggu halaman tetangga. Ya, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh dibatasi oleh halaman masing-masing kami yang luas.

[caption caption="Dok.pri"]

[/caption]Ketika kami, pengisi rumah berteriak-teriak pun, kecil kemungkinan tetangga kami akan mendengar kekacauan dari teriakan kami itu. Mau bernyanyi kalau lagi moodmau melengking-lengking menyanyikan lagu rock ketika sedang stres, oke-oke aja. Hawa dan udaranya pun memang lebih segar karena rumah kami dikepung pohon-pohonan. Belakang hutan kecil kami, depan hutan tetangga kami.  Mau berkebun pun bisa karena ada tempatnya.

[caption caption="Dok.pri"]

[/caption]Yang mengagetkan adalah ketika saya melihat empat kijang bermain di belakang rumah kami, di antara pohon-pohon itu. Saya sampai ternganga. Kata tetangga memang lingkungan kami biasa dilewati kijang-kijang tapi kita tak boleh menembaknya atau memburunya. Harus dibiarkan demi ekosistem atau apalah namanya. Tapi jangan bayangkan tempat kami jauh dari peradaban dunia, karena dengan 8 menit berkendara, terhampar sebuah mall walaupun kecil, pom bensin, kantor pos, farmacy, tempat kursus menari, Private Child Care yang harganya ribuan dolar per bulan, dan sebagainya. Jalanan pun mulus luar biasa. Jangan membayangkan daerah pedalaman yang jalanannya berbatu becek dengan tanah berdebu atau becek kotor kalau hujan.

Namun, segala sesuatu di dunia itu tidak ada yang gratis. Segala kelebihan dan kenyamanan itu harus dibayar dengan cicilan rumah yang lebih banyak, pajak yang lebih tinggi, biaya perawatan yang aduhai dan sebagainya. Semua itu akibat apa? Akibat Juragan  harus mendapatkan suasana yang rileks dan menenangkan pas datang ke rumah demi mengurangi beban pikirannya. Walaupun tentu saja isi dan suasana dalam rumah itulah yang lebih penting. Ini yang saya anggap penting, kehangatan di dalam rumah itu sendiri. Bukan kehangatan dari perapian atau dari api di dapur atau dari lilin dan petromak maupun lampu duduk tapi dari keakraban dan kasih sayang di dalam rumah.

Suasana nyaman ini diperlukan banget kayaknya oleh orang Amerika sini karena jangan salah, di balik keteraturan, ketertiban, dan kenyamanan kehidupan serta kemudahan birokrasi di Amerika, berkubang manusia-manusia yang disebut pekerja yang hidup dalam tekanan. Tekanan untuk melakukan pekerjaannya tepat waktu, tekanan untuk melakukan pekerjaannya dengan benar, dan tuntutan-tuntutan kerja lainnya.  Saya sebagai istri orang sini merasakan banget tingkat kestresan kerja di tempat kerja suami apalagi dia bekerja di lapangan yang menyangkut nyawa manusia. Semua harus detail dan tepat karena kalau tidak, bisa membahayakan bahkan menghilangkan nyawa orang lain.  Saya kagum dengan tanggung jawabnya pada pekerjaan, kalau pekerjaannya menuntut harus tepat waktu, maka bisa siang-malam bahkan hari libur pun masuk kerja dengan menggondol anak-istrinya.

Ketika ingat masa-masa dulu, betapa saya pikir, kami itu tidak pernah stres. Cuma kurang duit aja, masalahnya. 

Nb: artikel ini dibuat khusus untuk salah satu kompasianer yang katanya rumah saya mirip rumah impiannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun