Pondok Pesantren merupakan sebuah sistem pendidikan tradisional dimana para siswanya/santrinya tinggal bersama dan belajar tentang ilmu agama di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai. Pondok pesantren biasanya memiliki asrama untuk tempat menginap para santrinya. Di Indonesia sendiri pondok pesantren masih menjadi tempat favorit bagi para orang tua untuk memberikan pendidikan bagi anaknya, dapat dilihat dari banyaknya jumlah pondok pesantren di Indonesia khususnya wilayah yang penduduknya mayoritas muslim seperti Jombang salah satunya, sudah menjadi rahasia umum apabila Jombang terkenal dengan pondok pesantrennya hingga disematkan julukan kota santri sebagai gambaran banyaknya pondok pesantren ternama di kota tersebut.
Namun julukan kota santri bukan berarti pondok pesantren di Jombang terbilang bersih dari berita miring, banyak kasus-kasus yang diberitakan di media massa terkait pondok pesantren di Jombang yang ironisnya melibatkan jajaran pengurus dan pengajar pondok pesantren, salah diantaranya kasus yang terjadi pada kamis, 7 Juli 2022 silam dilakukan penangkapan terhadap terdakwa Bechi yang merupakan anak kiai pengurus pondok pesantren shiddiqiyyah Desa Losari, Ploso, Kabupaten Jombang. Terdakwa ditangkap karena melakukan tindak asusila terhadap santriwati dibawah umur dan divonis hukuman 7 tahun penjara.
Permasalahan-permasalahan semacam ini yang perlu menjadi perhatian bagi kita dan lembaga-lembaga yang berwenang memberi aturan pada lingkungan pondok pesantren, karena pondok pesantren yang dipercaya para orang tua sebagai tempat terbaik bagi anaknya untuk mengenyam ilmu agama malah dijadikan tempat oknum-oknum tidak bermoral melakukan tindakan keji dengan tanpa adanya pengawasan dari orang tua korban. Lalu apa saja faktor yang menyebabkan kasus semacam ini bisa terjadi?
1.Adanya hierarki dan pengaruh religiusitas
Dari kasus tersebut membuktikan bahwa di lingkungan pondok pesantren sendiri terkadang terdapat hierarki yang kuat antara kiai/ustazd dengan para santri yang kemudian memunculkan rasa hormat berlebihan. Hal ini kerap kali dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya untuk memanipulasi atau mengeksploitasi santri. Tak hanya itu di beberapa kasus pelaku juga menggunakan dalil agama yang dipelintir untuk membenarkan tindakannya sehingga membuat para santri yang menjadi saksi ataupun korban takut untuk berbicara atau melapor.
2.Rendahnya pemahaman santri tentang pendidikan seksual
Dalam kurikulum pendidikan di pesantren sendiri jarang dari mereka yang mengikutsertakan pendidikan seksual, sehingga banyak dari santri yang tidak bisa mengenali atau mengkategorikan pelecehan seksual, hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk merealisasikan tindakan bejatnya. Di sisi lain minimnya pemahaman santri juga membuat mereka tidak mengerti bagaimana cara menindak pelecehan seksual dan cenderung memilih untuk diam saja.
3.Ketidakterbukaan pihak pesantren
Pesantren cenderung memiliki lingkungan yang tertutup, interaksi antara ustazd, santri, dan staf kurang diawasi secara ketat dari pihak luar. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan sebagai celah untuk para pelaku melakukan tindak pelecehan seksual. Tidak semua pesantren juga memiliki pengawasan terhadap aktivitas internal lingkungan pesantren, tanpa adanya pengawasan yang ketat akan menyebabkan pelecehan seksual bisa terjadi tanpa terdeteksi atau ditindak.
Berkaca dari kasus tersebut perlu disadari betapa pentingnya dibentuk suatu lembaga yang bertugas mengawasi aktivitas internal pondok pesantren di Indonesia, selain itu kita juga perlu mendorong pemerintah daerah untuk aktif terlibat dalam memastikan bahwa pesantren di wilayahnya beroperasi sesuai dengan standar yang ditetapkan. Termasuk soal pemberian izin operasional, pengawasan rutin, dan dukungan dalam hal peningkatan kualitas pendidikan dan infrastruktur.
Juga kita perlu membenahi mindset kita perihal bagaimana cara kita memberikan perlakuan terhadap tokoh agama, banyak dari pelaku kejahatan di pondok pesantren yang memiliki citra sosial sebagai orang yang berilmu agama tinggi sehingga berdampak adanya pengaruh psikis terhadap korban seperti takut untuk melakukan penolakan ataupun pelaporan terhadap pelaku. Hal inilah yang perlu kita benahi, bukan karena seorang pelaku kejahatan merupakan tokoh agama maka segala hal yang ia lakukan menjadi benar. Kita perlu berhenti mengkultuskan sosok dalam mendalami ilmu agama tapi lebih berfokus pada nilai-nilai agama tersebut sehingga tidak akan terjadi yang namanya kegagalan berpikir dalam beragama.