Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) melalui program Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) sampai saat ini masih menimbulkan reaksi yang beragam dari beberapa lemen masyarakat. Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Pulau Bintan Ramli Hamid, misalnya, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah terkait sistem jaminan kesehatan nasional (SJKN) melalui BPJS dinilainya sebagai bentuk lepas tanggung jawab negara dalam menjamin kesehatan masyarakat. Hal ini karena pemerintah Indonesia telah melimpahkan pembiayaan pengobatan kepada rakyat dengan pungutan iuran (premi).
Lebih lanjut dikatakannya, semua anggota masyarakat harus dijamin pengobatan kesehatannya oleh negara. Solusi untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat tersebut harus dilakukan dengan cara mengganti sistem kapitalis sekuler, dengan sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sistem khilafah ini akan mengelola sumber daya alam milik umat, dan hasilnya akan dijadikan kas negara, lalu diperuntukkan untuk kemaslahatan umat seluruhnya, tidak hanya dalam hal kesehatan, namun juga meliputi masalah pendidikan, kesejahteraan hidup, termasuk dibidang ekonomi.
Senada denganhal tersebut di atas, praktisi kesehatan dari RSUD Soedarso Pontianak, Doni Purwanto, dalam talkshow Halqah Islam dan Peradaban (HIP) HTI Kalimantan Barat (Kalbar) pada tanggal 03 Maret 2014 di Masjid Al-Muhtadin Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak mengatakan bahwa sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN), meskipun namanya “jaminan” bukanlah sistem kesehatan yang dibiayai negara sehingga rakyat dapat menikmati haknya secara gratis. “SJKN itu gratisnya di mana? Jika kita tidak bayar malah akan dikenai sanksi”.
Sementara itu, mahasiswa Fakultas Kedokteran Untan, Leo Rinaldi mengatakan bahwa sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) diterapkan dengan menggunakan prinsip asuransi. Dalam sistem ini masyarakat diharuskan membayar premi yang telah ditentukan sebelumnya. Bagi peserta SJKN yang mendapat layanan kesehatan maupun tidak tetap harus membayar iuran per bulannya kepada Bahkan Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS). Namun demikian, di sisi lain BPJS yang kini ditunjuk sebagai pelaksana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ternyata harus berlepas tangan ketika biayanya di luar tanggungan. Jadi SJKN itu sebenarnya hanyalah layanan kesehatan prabayar dengan kualitas tergantung premi yang sudah dibayarkan. SJSN ini seharusnya dibayar oleh pemerintah, bukan sebaliknya yaitu malah dibebankan kepada rakyat.
Humas HTI Sulsel, Dirwan Abdul Jalil, di Makassar mengatakan bahwa kisruh program dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) berpangkal dari UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sejatinya merupakan pemaksaan negara kepada rakyatnya untuk mengikuti asuransi berkedok jaminan sosial. Hal ini sebenarnya tidak lebih dari bentuk asuransi yang berkedok jaminan sosial. Premi (iuran berkala) dalam SJKN ditarik paksa dari rakyat oleh lembaga independen yang bernama Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Kelak dana seluruh masyarakat akan dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah.
Menurut Dirwan, dalam persoalan ini telah terjadi kesalahan paradigma. Di antaranya pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat seperti pemenuhan jaminan hari tua maupun kesehatan. Negara hanya membayarkan premi rakyat yang terkategori miskin. Parahnya, bagi yang tidak membayar premi atau bagi mereka yang miskin namun tidak terdaftar sebagai kalangan miskin berdasarkan kategori miskin menurut negara, jaminan tersebut tidak di berikan. Dirwan juga menyebutkan beberapa pasal ‘maut’ dalam UU SJSN No. 40 Tahun 2004 yang semakin memperjelas kedzaliman penguasa kepada rakyat, diantaranya pasal 1 ayat 3, pasal 3, 4, 17, 22, 24, 26, dan pasal 47.
Tentang kedzaliman ini dikupas juga oleh aktivis Muhammadiyah provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel),Ustadz Sudirman yangmengatakan bahwa dirinya baru mengetahui upaya muslihat yang bercokol di balik kebijakan tentang SJKN BPJS. Lahirnya kebijakan SJSN BPJS itu sangat disayangkan, sebab terbukti telah menzalimi rakyat. Menurutnya, landasan awal sistem ini adalah landasan yang batil atau dzalim. Batilnya karena kita start dengan akad yang salah. Kalau saya hanya punya uang 10 ribu lantas pengobatan saya menghabiskan 10 juta, tentu akan ada pihak yang dirugikan.
Dalam kaitan ini, mubaligh Makassar Ustadz Ridwan mengatakan bahwa faktor utama terjadinya kezaliman rakyat melalui SJSN ini disebabkan oleh penguasa yang berkiblat pada kapitalisme. Roh kapitalisme itu tidak lain adalah profit. Jika hanya profit yang diutamakan maka muncullah SJSN.
Banyaknya reaksi terhadap SJKN BPJS tersebut tentu saja merupakan dinamika dalam kehidupan demokrasi di negara kita.Reaksi tersebut merupakan bagian dari aspirasi masyarakat, untuk kemudian nantinya dijadikan sebagai bahan evaluasi, demi penyempurnaan sistem dan programnya.
Sebenarnya berbagai program dalam SJKN BPJS ini sudah cukup baik, dan diharapkan dapat memberikan jaminan hidup yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia. SJKN BPJS tiada lain adalah salah satu kebijakan pemerintah yang benar-benar akan berupaya memberikan manfaat kepada masyarakat dalam bidang kesehatan.
Terkait adanya kekurangan-kekurangan, tentu saja tidak perlu diperdebatkan, karena hal itu merupakan bagian dari proses dan sifat relatif dalam kebijakan atau undang-undang (UU) yang dibuat manusia. Memperdebatkan SJKN BPJS dapat memperlambat dan menggangu kinerja BPJS selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H